Hakim MK Ingatkan Saksi Prabowo Akan Ancaman Keterangan Palsu
Sengketa Pilpres 2019:

Hakim MK Ingatkan Saksi Prabowo Akan Ancaman Keterangan Palsu

Mahkamah menegaskan tidak ada seorang pun yang boleh merasa tertekan dalam memberikan keterangan di sidang-sidang MK.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di ruang sidang MK. Foto: RES
Suasana sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di ruang sidang MK. Foto: RES

Sidang ketiga sengketa hasil Pilpres 2019 dengan agenda pembuktian digelar. Seperti telah disepakati sidang sebelumnya, Majelis memberi kesempatan pihak Pemohon menghadirkan 15 saksi dan ahli dalam persidangan yakni 15 saksi fakta dan 2 ahli. Mereka adalah Agus M. Maksum, Idham, Hermansyah, Listiani, Nur Latifah, Rahmadsyah, Fakhrida, Tri Susanti, Dimas Yehamura, Beti Kristiani, Tri Hartanto, Risda Mardiana, Haris Azhar, Said Didu, Hairul Anas. Dan, dua ahli yakni Jaswar Koto dan Soegianto Sulistiono.

 

Saksi pertama yang didengar keterangannya adalah Agus Muhammad Maksum yang merupakan anggota tim pemenangan pasangan capres-cawapres nomor urut 02 yang bertugas meneliti Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu 2019. Saat Hakim Konstitusi Aswanto menanyakan ada tidaknya ancaman atau tekanan terhadap Agus.

 

Agus mengaku pernah mendapat ada ancaman berupa pembunuhan yang terjadi pada bulan April 2019. Saat ditanya Aswanto, apakah ancaman itu terjadi saat hendak memberi keterangan di MK, Agus mengaku tidak ada. Namun, saat ditanya pihak mana yang mengancam pembunuhan itu, Agus enggan menyebutkan pihak mana saja yang mengancam.

 

Saat Aswanto bertanya siapa yang mengetahui ada ancaman itu, "Siapa saja yang tahu Anda diancam?" tanya Hakim Aswanto di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (19/2/2019). "Saya tidak bisa menyebutkan, tetapi salah satunya Hashim Djojohadikusumo," jawab Agus dalam persidangan. (Baca Juga: Permintaan Perlindungan Saksi Bentuk ‘Politik Teror’ Kubu Prabowo-Sandi)

 

Mendengar jawaban itu, Aswanto mengingatkan ancaman pidana terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu. Aswanto meminta agar saksi (Agus) berterus terang dalam memberi kesaksian yang sebenarnya agar terhindar dari ancaman memberi keterangan palsu.

 

"Saya ingatkan Pak Agus bisa menerangkan apa yang Anda ketahui, mengalami, mendengar dengan sebenar-benarnya. Kalau memberi keterangan tidak sebenarnya, Mahkamah bisa keliru ambil keputusan. Kalau Anda berikan keterangan tidak sebenarnya bisa kena Pasal 242 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 7 tahun penjara. Ini juga berlaku untuk saksi-saksi lain," ujar Aswanto mengingatkan.

 

Pasal 242 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Barangsiapa dalam hal-hal yang menurut undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang khusus untuk itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”

 

Mengingat saksi enggan mengungkap pihak pengancam, Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Wijayanto mengusulkan jalan tengahnya dengan menulis nama-nama orang yang mengancam saksi melalui tulisan. Namun, Aswanto menegaskan tidak ada seorang pun yang boleh merasa tertekan dalam memberikan keterangan di sidang-sidang MK.

 

Sebelumnya, usai sidang mendengarkan pembacaan jawaban Termohon, keterangan Pihak Terkait dan Bawaslu sempat terjadi perdebatan terkait polemik permintaan perlindungan saksi yang diajukan pihak Pemohon dalam permohonannya. Pemohon sendiri sudah berkonsultasi dengan LPSK. Namun, kewenangan LPSK terbatas pada perlindungan saksi atau korban dalam perkara pidana.

 

Karena itu, Pemohon meminta kepada MK untuk bisa menjamin keamanan dan keselamatan para saksi atau ahli yang diajukan dalam persidangan sengketa hasil pilpres ini. Sebab, Pemohon mengaku ada beberapa saksi yang mengalami ancaman atau tekanan dari pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, MK hanya bisa menjamin para saksi atau ahli saat memberi keterangan dalam persidangan.        

 

Seperti diketahui, dalam keterangan Pihak Terkait disebutkan semua dalil permohonan Prabowo-Sandi tentang dugaan pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif (TSM) bersifat asumtif semata tanpa didukung bukti-bukti valid. Sebab, bangunan narasi tudingan beragam kecurangan diulang-ulang terus menerus tanpa menunjukkan dalil yang kuat.

 

"Dalil-dalil Pemohon merupakan asumsi tidak disertai bukti-bukti yang sah dan tidak dapat terukur secara pasti bagaimana dan sebesar apa dampaknya terhadap perolehan suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)," ujar Yusril saat memaparkan tanggapan/keterangan Pihak Terkait di ruang sidang MK, Selasa (18/6/2019). (Baca juga: Tim Hukum Jokowi-Ma’ruf Sebut Semua Dalil ‘Gugatan’ Prabowo Asumtif)

 

Senada, Kuasa Hukum KPU Ali Nurdin menyebutkan semua dalil Pemohon yang menyatakan beban pembuktian tidak hanya dibebankan kepada Pemohon, tetapi juga dibebankan kepada Mahkamah adalah dalil yang tidak berdasar. Sebab, ada prinsip universal yakni siapa yang mendalilkan, maka dialah yang harus membuktikan. Prinsip hukum ini disebut Actori Incumbit Onus Probandi.

 

Dalam konteks sengketa ini, Pemohon menuduh berbagai jenis pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh Pihak Terkait dan/atau kecurangan yang dilakukan Termohon. Karena itu, Pemohon yang mendalilkan kecurangan sudah seharusnya Pemohon pula yang membuktikan tuduhan itu.

Tags:

Berita Terkait