Hakim MK Harus Bergelar Doktor
Berita

Hakim MK Harus Bergelar Doktor

Frasa ‘dan magister’ dalam UU Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim MK harus bergelar Doktor. Foto: Sgp
Hakim MK harus bergelar Doktor. Foto: Sgp

Jika hanya bergelar magister hukum, lupakan keinginan Anda menjadi hakim konstitusi. Ke depan, hanya orang yang bergelar doktorlah yang berhak menjadi hakim konstitusi. Doktor ilmu hukum sudah jelas memenuhi syarat, sedangkan doktor bidang lain diperbolehkan sepanjang basis pendidikan strata satu adalah sarjana hukum.

Peluang bagi orang yang hanya bergelar sarjana hukum atau magister hukum itu tertutup setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf b dan h UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Mahkamah membatalkan frasa “dan magister” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU MK. Ini artinya syarat untuk diangkat menjadi calon hakim MK harus bergelar doktor dengan dasar  sarjana hukum.

“Mengabulkan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di Gedung MK Jakarta, Kamis (13/9).

Mahkamah menyatakan syarat yang ditetapkan  pembentuk Undang-Undang berkaitan dengan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh calon hakim konstitusi sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik (public office). Hal ini merupakan cara pembentuk Undang-Undang untuk melihat kemampuan seorang calon dengan standar yang dapat  diukur (feasible).

“Ukuran jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang merupakan  syarat yang bebas dari kepentingan, obyektif dan tidak diskriminatif,” kata Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Mahkamah menilai faktanya ada beberapa program pascasarjana (di luar negeri) yang langsung menerima program pendidikan doktor tanpa melalui program magister.  Hingga kini masih banyak lulusan program doktor di masa lalu yang tidak melalui program magister. “Berdasarkan fakta itu ketentuan adanya persyaratan “berijazah magister” akan melanggar hak-hak konstitusional para penyandang gelar doktor yang tidak mempunyai ijazah magister”.

Karena itu, untuk mengatasi masalah jenjang pendidikan sebagai syarat menjadi hakim konstitusi dan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi hukum yang ingin menjadi hakim konstitusi, menurut Mahkamah frasa “dan magister” sebagai syarat hakim konstitusi harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Aturan itu dinilai Mahkamah  berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah tidak sependapat dengan para Pemohon bahwa salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi haruslah berijazah doktor dan magister dalam ilmu hukum. Menurut Mahkamah yang lebih rasional adalah penghapusan frasa “dan magister” saja. Sebab, hal yang paling utama adalah seorang calon hakim konstitusi haruslah sarjana (Strata-1) yang berlatar belakang hukum dan memiliki pengalaman dalam  bidang hukum sebagaimana disyaratkan dalam UU MK. Menurut pendapat Mahkamah, pasal 15 ayat (2) huruf b UU No. 8 Tahun 2011 sepanjang frasa “dan magister” bertentangan dengan UUD 1945.

Salah seorang pemohon Bambang Supriyanto mengapresiasi putusan MK. “Saya melihat putusan ini sangat cerdas, karena pasal itu sebelumnya mengatur syarat mendaftar menjadi calon hakim konstitusi itu harus berijazah S-1 hukum dan S-2 dan S-3-nya tidak harus dari bidang hukum, tetapi kami minta ketiga jenjang pendidikan itu harus linier,” kata Bambang. 

Namun, kata Bambang, ternyata MK melakukan perubahan sedikit dengan mensyaratkan calon hakim MK harus doktor ilmu hukum. Sebab, jika mengabulkan permohonan ini akan menutup kesempatan bagi doktor lulusan luar negeri yang tidak melalui menempuh program magister.

“Kan ada lulusan luar negeri yang tidak punya ijazah magister, tetapi mereka langsung menempuh program doktoral setelah lulus program sarjana hukum. Jadi, putusan ini sangat cerdas,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, permohonan ini  diajukan Bambang Supriyanto, Max Boli Sabon, Eddie Doloksaribu, Ari Lazuardi Pratama, Muhammad Anshori, dan Andriko Sugianto Otang.

Pasal 15 ayat (2) huruf b menyatakan untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi diantaranya harus memenuhi syarat berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Sementara Pasal 15 ayat (2) huruf h menyebutkan pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.

Menurut pemohon syarat hakim konstitusi seperti tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) huruf bdan htidak dapat menjamin untuk mendapatkan hakim konstitusi yang berkualitas dan handal. Syarat berijazah doktor dan magister dengan dasar pendidikan sarjana hukum serta pernah menjadi pejabat negara. Ini artinya calon hakim konstitusi tidak harus magister dan doktor ilmu hukum dan bisa jadi pejabat negara yang tak ada kaitannya dengan MK.a

Tags: