Hakim Jadi Objek Kriminalisasi UU Pemilu
Berita

Hakim Jadi Objek Kriminalisasi UU Pemilu

Hakim harus menunjukkan independensi. Meskipun punya hak pilih, hakim tetap tak boleh terjun langsung dalam kampanye.

Mys/Ali
Bacaan 2 Menit
Hakim Jadi Objek Kriminalisasi UU Pemilu
Hukumonline

Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah tampaknya berusaha mewanti-wanti agar kalangan hakim konstitusi tak menunjukkan keberpihakan dalam pesta demokrasi 2009 mendatang. Maklum, jika timbul sengketa mengenai pemilihan kelak, yang menjadi wasit adalah para hakim konstitusi. Kalau sejak awal hakim konstitusi sudah terlibat langsung, independensi dan objektivitasnya dalam memutus sengketa pemilu patut dipertanyakan.

 

Untuk mengantisipasi itulah DPR dan Pemerintah merumuskan ancaman kriminalisasi atau sanksi pidana kepada para hakim konstitusi yang ikut-ikutan sebagai pelaksana kampanye pemilihan presiden. Larangan serupa berlaku untuk pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD (Pasal 272 UU No. 10 Tahun 2008).

 

Dalam RUU tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang sudah disetujui menjadi UU, ancaman kriminalisasi itu dirumuskan secara tegas dalam pasal 217. Jika terbukti ikut sebagai pelaksana kampanye, hakim konstitusi bisa dikenakan hukuman enam sampai 24 bulan penjara, atau denda maksimal 50 juta rupiah. Sanksi pidana itu bukan hanya berlaku kepada hakim konstitusi dan hakim agung, tetapi juga terhadap semua hakim pada badan peradilan.

 

Sebaliknya, UU Pilpres memperboleh pejabat negara lain yang berstatus anggota partai politik untuk melaksanakan kampanye. Kalaupun pejabat negara bersangkutan bukan anggota partai politik, ia baru bisa ikut kampanye setelah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Cuma, khusus hakim, pimpinan dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, pimpinan Bank Indonesia, dan pejabat BUMN/BUMD tetap dilarang ikut sebagai pelaksana kampanye. Bila melanggar rambu tersebut, sanksi pidana siap mengancam.

 

Persiapan pengadilan

Terlepas dari ancaman sanksi pidana terhadap mereka, kalangan hakim malah tengah mempersiapkan diri. Para Ketua Pengadilan Tinggi dan para hakim dikumpulkan. Setelah itu, hakim agung dari Jakarta disebar ke daerah dalam rangka mempersiapkan institusi pengadilan. Hakim agung akan ke daerah-daerah untuk menindaklanjuti hasil Rakernas, terutama persiapan pemilu, ujar Juru Bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, Senin (03/11).

 

Mahkamah Agung berkepentingan menyiapkan hakim-hakim yang akan menangani perkara terkait pemilu. Meskipun sengketa hasil pemilu diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi, tetap ada kemungkinan perkara terkait pemilu dibawa ke peradilan umum. Misalnya, dakwaan penggunaan ijazah palsu ketika mencalonkan diri sebagai anggota Dewan. Perkara yang menjadi kewenangan peradilan umum berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 adalah pelanggaran pidana pemilu.

 

Menjelang Pemilu 2004 silam, Mahkamah Agung juga sempat mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2003 tentang Perkara Perdata yang berkaitan dengan pemilu, dan SEMA No. 5 Tahun 2003 tentang Gugatan yang Berkaitan dengan Partai Politik.

 

Mahkamah Agung, kata Djoko, sudah membuat edaran ditujukan kepada para pimpinan badan peradilan di daerah untuk mempersiapkan dan menunjuk hakim yang akan menangani perkara pidana terkait pemilu. Hakim yang boleh menangani perkara minimal sudah tiga tahun bekerja sebagai hakim. Umumnya dipersiapkan empat orang hakim. Khusus pengadilan kelas 1 A jumlah hakimnya kemungkinan lebih banyak.

Tags: