Hakim itu Adalah Hakim
Bahasa Hukum:

Hakim itu Adalah Hakim

Hakim ad hoc tidak dianggap sebagai hakim, tetapi mereka wajib tunduk pada kode etik hakim. Lantas, siapa sih yang disebut hakim?

Mys
Bacaan 2 Menit
Hakim itu Adalah Hakim
Hukumonline

Fungsi harmonisasi peraturan perundang-undangan seyogianya bisa menghindari terjadinya tumpang tindih, perbedaan tafsir, atau perbedaan istilah dan definisi yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan. Suatu kata dan makna kata tersebut sangat menentukan pemahaman orang terhadap maksud pembuat undang-undang.

 

Adakalanya, suatu kata dipakai dalam makna khusus sehingga tidak bisa diterapkan untuk bidang lain. Misalkan, kata ‘retensi’ yang dikenal dalam dunia advokat mungkin berbeda konteksnya dengan kata serupa dalam bidang keterbukaan informasi (UU No. 14 Tahun 2008).

 

Kalau kata tertentu dipakai untuk lingkungan yang sama, tetapi bisa diartikan berbeda, mungkin akan membuat orang awam bingung. Bisa jadi maksud pembuat undang-undang adalah makna berdasarkan konsep leksikal atau makna kontekstual.

 

Marilah kita ambil contoh kata ‘hakim’ yang selama ini dikenal di dunia peradilan. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka memberi tiga definisi hakim, yaitu (i) orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah); (2) pengadilan; atau (3) juri penilai.

 

Kamus Hukum karya JCT Simorangkir, Rudy T Prasetya, dan J.T. Prasetyo secara sederhana mengartikan hakim sebagai petugas pengadilan yang mengadili perkara. Dalam bahasa Belanda disebut rechter, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai judge. “Judge”, menurut Bangalore Principle of Judicial Conduct (2002), adalah “any person exercising judicial power, however designed”.

 

Sekarang mari kita bandingkan dengan definisi hakim yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan terbaru. Pada 29 September lalu, Rapat Paripurna DPR menyetujui paket RUU bidang peradilan. Termasuk di dalamnya RUU Peradilan Agama, RUU Peradilan Umum, RUU Peradilan Tata Usaha Negara, dan RUU Kekuasaan Kehakiman. Paket RUU dibahas anggota DPR secara maraton selama tiga hari di sebuah hotel berbintang di Jakarta.

 

RUU Peradilan Umum mengartikan hakim hanya meliputi “hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi”. Selain kata ‘hakim’ tersebut, RUU Peradilan Umum mengenal kata ‘hakim ad hoc’, dan mengartikannya sebagai hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.

 

Definisi serupa tentang hakim ad hoc bisa ditemukan pada RUU PTUN dan RUU Peradilan Agama. Definisi dengan kalimat berbeda bisa kita temukan pada RUU Pengadilan Tipikor. Hakim ad hoc secara khusus dalam RUU ini diartikan sebagai seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam UU ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

 

Pola pendefinisian yang sama tentang hakim diikuti pula RUU PTUN dan RUU Peradilan Agama. Yang disebut hakim dalam konteks RUU ini hanya hakim pada peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Lalu, apakah hakim agung tidak termasuk hakim? Apakah hakim agung tidak tunduk pula pada RUU PTUN, RUU Peradilan Agama, dan RUU Peradilan Umum?

 

Rumusan yang memasukkan hakim agung ke dalam definisi ‘hakim’ bisa kita temukan pada RUU Kekuasaan Kehakiman. Di sini, hakim adalah “hakim pada Mahkamah Agung, dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”. RUU ini juga mempertegas sebutan hakim agung dan hakim konstitusi.

 

RUU bidang peradilan tidak mengenal pembedaan hakim karir dan non-karir. Yang dikenal adalah hakim karir dan hakim ad hoc. Pola ini juga dianut dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.  Di PHI, hakim ad hoc diangkat atas usul serikat buruh dan organisasi pengusaha. Sebaliknya, di Pengadilan Tipikor, hakim ad hoc tidak diusulkan oleh para pegiat gerakan anti korupsi dengan kelompok koruptor.

 

“Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc,” begitulah rumusan pasal 78 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004. Di pengadilan ini, hakim ad hocnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

 

Carut marut istilah hakim dan definisinya muncul setelah 31 orang hakim agung mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Ihwal perdebatannya adalah mengenai kata ‘hakim’ yang terdapat dalam Pasal 24 B UUD 1945. Kata serupa pada undang-undang turunannya turut menuai masalah. Dalam putusannya pada Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi menyempitkan arti hakim dalam UU Komisi Yudisial tersebut hanya hakim tingkat pertama dan banding. Dengan kata lain, hakim agung tidak termasuk dalam lingkup definisi hakim dalam UU Komisi Yudisial.

 

Tetapi genusnya, hakim agung ya tetap seorang hakim. Kalaupun tidak masuk lingkup kata hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004, konteksnya adalah dalam rangka pengawasan. Hakim itu adalah hakim. Mungkin perlu dikutip bagian pertimbangan Mahkamah Konstitusi berikut:

 

“Akan menjadi ganjil untuk menafsirkan bahwa hakim agung tidak masuk dalam kategori hakim dan karena posisinya yang berada di puncak hierarki peradilan lalu menjadi tidak tunduk pada pengawasan. Bagaimanapun, tafsiran secara tekstual, kontekstual, teleologis, dan kategoris dilakukan, hakim agung adalah hakim”.

 

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusinya mempertimbangkan: “Faktanya, hakim agung sendiri merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan bahwa hakim agung adalah hakim tidak perlu dipersoalkan”.

 

Tags:

Berita Terkait