Hakim Agung Nonkarier Tetap Dibutuhkan Asalkan…
Utama

Hakim Agung Nonkarier Tetap Dibutuhkan Asalkan…

Bagi MA, hakim agung nonkarier harus memiliki keahlian tertentu sesuai putusan MK. Namun, KY mengklaim miliki pengetahuan cukup untuk menjaring kebutuhan CHA dari jalur nonkarier.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Para narasumber dalam seminar bertajuk “Eksistensi Jalur Nonkarier (Profesional) dalam Rekrutmen Calon Hakim Agung” di Gedung KY Jakarta, Senin (27/8). Foto: AID
Para narasumber dalam seminar bertajuk “Eksistensi Jalur Nonkarier (Profesional) dalam Rekrutmen Calon Hakim Agung” di Gedung KY Jakarta, Senin (27/8). Foto: AID

Beberapa waktu lalu, Komisi Yudisial (KY) telah membuka seleksi penerimaan calon hakim agung (CHA) Tahun 2018 menindaklanjuti permintaan Mahkamah Agung (MA) guna memenuhi kebutuhan hakim agung sesuai surat Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial tertanggal 20 Juli 2018.   

 

Dalam surat itu, MA membutuhkan 8 orang hakim agung yang berasal dari hakim karier, kecuali hakim agung bidang pajak. Rinciannya, 1 orang untuk kamar pidana, 1 orang untuk kamar agama, 2 orang untuk kamar militer, 3 orang untuk kamar perdata, dan 1 orang untuk kamar tata usaha negara khususnya yang memiliki keahlian hukum perpajakan.

 

Sontak, kebijakan MA atas kebutuhan hakim agung hanya dari jalur karier ini seolah hendak menghapus keberadaan hakim agung nonkarier yang selama ini sudah eksis di MA. Namun, tudingan ini dibantah MA yang menyatakan keberadaan hakim agung nonkarier tetap diperlukan sepanjang dibutuhkan dengan keahlian tertentu. Baca Juga: KY Buka Pendaftaran Seleksi CHA 2018

 

MA berpatokan pada putusan MK No. 53/PUU-XIV/2016 terkait pengujian Pasal 7 huruf b butir 3 dan Pasal 7 huruf a angka 6 UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat terkait syarat pendidikan dan pengalaman CHA. Khususnya, CHA nonkarier harus memiliki syarat pendidikan doktor dan magister bidang hukum tertentu termasuk pendidikan sarjana hukum atau sarjana lain.

 

MA masih membutuhkan hakim agung nonkarier, namun jika dibutuhkan. Nantinya, Ketua MA yang mengusulkan permintaan CHA nonkarier ke KY kalau dibutuhkan,” kata Juru Bicara MA Suhadi saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Eksistensi Jalur Non Karier (Profesional) dalam Rekrutmen Calon Hakim Agung” di Gedung KY Jakarta, Senin (27/8/2018).  

 

Selain Suhadi, hadir pembicara lain yakni Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Aidul Fitriciada Azhari; Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan; Mantan Hakim Konsttusi Hamdan Zoelva; dan akademisi University Charles Darwin Australia Danial Kelly.

 

Suhadi melanjutkan kehadiran CHA nonkarier diharapkan dapat meningkatkan mutu dan memberikan bobot pada setiap putusan MA. Hanya saja, dia meminta hakim agung nonkarier yang dihasilkan dalam rekrutmen harus memiliki keahlian bidang tertentu, sehingga dapat menutupi kekurangan hakim agung karier. Misalnya, memiliki keahlian bidang perpajakan, perbankan, hukum tata negara, pencucian uang, dan lain-lainnya.

 

Terlebih, kata dia, MA sudah cukup lama telah menerapkan sistem kamar dalam penanganan perkara dimana setiap hakim agung di masing-masing kamar hanya bisa mengadili dan memutus perkara sesuai keahliannya saja. Selain itu, komposisi dan ketepatan (keahlian tertentu) tugas para hakim agung berdampak penyelesaian penumpukan perkara bidang konsentrasi hukum tertentu.

 

“Nah, sekarang ini kan tidak. Saya melihat ada hakim agung nonkarier biasa-biasa saja,” kritiknya. Baca Juga: MK ‘Rombak’ Syarat Pendidikan dan Pengalaman CHA

 

Meski begitu, Suhadi menegaskan MA tidak memiliki sikap antipasi terhadap keberadaan hakim agung nonkarier. Sebab, faktanya memang MA tidak pernah memisahkan atau membedakan perlakuan antara hakim agung dari nonkarier dan karier dalam struktur organisasi.

 

Tidak ada sistem yang sempurna

Mantan Ketua MA Bagir Manan mengatakan awal mulanya adanya hakim agung nonkarier sebagai penyeimbang kemampuan hakim karier di MA dalam memutus perkara. Hal ini terbukti bertahan hingga saat ini bahwa hakim agung nonkarier sebagai penyeimbang hakim agung karier. Meski mengandung persoalan, sistem rekrutmen CHA yang sudah dipilih seharusnya dijalankan dengan baik.

 

“Tidak ada sistem yang sempurna, namun jika hal itu sudah kita pilih dan harus dijalankan selagi sistem tersebut kita sendiri yang buat. Sekali lagi yang paling penting sistem rekrutmen CHA ini dilaksanakan dengan proses yang baik dan berkomitmen,” kata Bagir dalam kesempatan yang sama.

 

Meski begitu, ia mengusulkan jumlah hakim agung nonkarier di MA dibatasi maksimal sepertiga sebagai penyeimbang dari keseluruhan jumlah hakim agung yang ada. “Jadi, janganlah terus menerus memperdebatkan posisi (status) hakim agung nonkarier dan karier,” pintanya. (Baca Juga: Sejak Berdiri, KY ‘Produksi’ 58 Hakim Agung)

 

Senada, Hamdan Zoelva menilai keberadaan hakim agung nonkarier sangat diperlukan. Sebab, berdasarkan pengalamannya saat duduk di Komisi III DPR, keilmuan CHA karier hanya tegak lurus sesuai hukum karena sudah puluhan tahun sebagai hakim di pengadilan. Sementara, ketika mewawancarai CHA nonkarier, wawasan dan pandangannya bisa begitu luas dan kaya.

 

“Saya rasa dalam sebuah putusan dibutuhkan pemikiran yang luas dan kaya. Jadi, (tetap) diperlukan hakim agung nonkarier di MA. Saya tidak bisa membayangkan jika semua hakim agung hanya hakim karier saja,” kata Hamdan.

 

Bahkan, Hamdan mengusulkan dalam satu majelis hakim agung (3 hakim agung) terdapat satu hakim agung nonkarier agar bisa mengakomodir rasa keadilan masyarakat. “(Tinggal) Yang perlu diperbaiki ialah proses rekrutmennya saja yang harus dikurangi dari sisi politiknya dan harus bisa menjamin lahirnya hakim agung yang benar-benar berkualitas yang dilakukan secara demokratis dan tidak melanggar prinsip check and balance.”

 

Sementara Aidul Fitriciada Azhari mengingatkan sistem rekrutmen calon hakim agung yang mengambil dari kalangan profesional seperti yang dianut dalam sistem hukum comman law, seperti di Amerika. Karenanya, untuk kondisi saat ini rekrutmen hakim agung dari jalur nonkarier tetap dibutuhkan.

 

Baginya, yang terpenting sistem rekrutmen harus menjamin tegaknya prinsip independensi kekuasaan kehakiman, menghormati prinsip demokrasi, menjaga prinsip check and balances agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan pada satu organ negara. Selanjutnya, rekrutmen harus menjamin terpilihnya hakim agung yang berintegritas dan memiliki kecakapan yang mumpuni menjadi hakim agung (berkualitas).

 

Namun begitu, sebagai lembaga penyeleksi CHA, KY juga memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan hakim agung dari jalur nonkarier. Baginya, KY diberi kewenangan atributif oleh konstitusi untuk lebih aktif (jemput bola) mengusulkan dan menginventarisir tokoh dan ahli hukum yang pantas diusulkan sebagai hakim agung dari jalur nonkarier.   

 

“KY secara spesifik dibentuk untuk memburu dan menentukan tokoh yang pantas untuk menjadi calon hakim agung. Berbeda dengan kebutuhan CHA karier yang menitikberatkan pada rekam jejak.”

 

Lepas dari CHA karier ataupun nonkarier ini, Bagir Manan mengusulkan agar CHA jangan disuruh melamar menjadi hakim agung, tetapi harus dilamar (dicari) dalam proses rekrutmen CHA ini. “Seorang calon hakim agung rasanya tidak etis jika melamar menjadi hakim agung. Untuk itu, KY yang harus berperan aktif dan menjemput bola mencari CHA yang berkualitas di bidangnya masing-masing,” harapnya.

 

Menanggapi masukan ini, Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan KY akan terus mendorong perguruan tinggi, pengadilan tinggi, masyarakat sipil agar merekomendasikan orang-orang terbaik dapat dicalonkan sebagai CHA. “Sebenarnya hal ini pernah dilakukan MA dalam seleksi CHA sebelumnya, namun praktiknya belum berjalan dengan baik (optimal),” katanya.

Tags:

Berita Terkait