Hakim Agung Identifikasi RKUHP Ancam Kebebasan Berekspresi
Berita

Hakim Agung Identifikasi RKUHP Ancam Kebebasan Berekspresi

Pembatasan kebebasan berekspresi melanggar HAM.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Identifikasi RKUHP Ancam Kebebasan Berekspresi
Hukumonline

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar menyoroti sejumlah pasal di Rancangan KUHP (RKUHP). Sejumlah pasal tersebut menurutnya berpotensi membelenggu kebebasan ekspresi, khususnya pers. Yaitu Pasal 264, 265, 266,  284, dan 285 RKUHP.

Menurut dia kebebasan berekspresi sejatinya menjadi kebutuhan asasi setiap insan dalam masyakat demokratis. Kebebasan menyatakan pendapat melalui pers dinilai mampu mencegah timbulnya praktik ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala bentuk kejahatan. Sebaliknya, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi memungkinkan memberangus hak asasi manusia, ujar Artidjo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (17/7).

Dia mencontohkan Pasal 284 RKUHP. Tertulis, ‘Setiap orang yang di muka umum  melakukan penghinaan terhadap pemerintahanyang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV’.

Menurutnya, kualifikasi ‘martabat’ melekat pada manusia atau harkat kemanusiaan. Bukan melekat pada jabatan politik yang dia sebut bersifat artefak. Karena diperoleh melalui pemilihan umum. “Dalam penegakan hukum, pihak berwenang akan sulit membuktikan adanya unsur ‘menghina’,” paparnya.

Artidjo uraikan, kata ‘menghina’ memiliki arti luas. Dikhawatirkan ada perbedaan penafsiran dari sudut pandang penguasa dan masyarakat yang berekspresi dalam rangka melakukan hak konstitusi dalam berdemokrasi.

Begitu pula tentang tulisan, gambar maupun rekaman yang disiarkan media, menurut dia bukan maksud dari media tersebut. Tapi media menampilkan dari hasil kegiatan jurnalistik dan menjadi realitas di masyarakat. Misalnya, masyarakat yang berdemontrasi membawa hewan atau teatrikal lalu dimuat di media. Karya media itu dapat dianggap menghina penguasa.

“Dalam praktik, pembuktian unsur ‘penghinaan’ yang terlalu luas dapat membelenggu pelaksanaan hak berekspresi. Karena penafsiran subjektif pemerintah terhadap kata “penghinaan’ dapat diarahkan kepada  orang atau kelompok kritis atau siapa saja yang dianggap menghina pemegang kekuasaan,” ujarnya.

Artidjo juga menyoroti frasa ‘penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti’ sebagaimana tertuang dalam Pasal 307 dan 308. Ketentuan rumusan pasal tersebut sama halnya dengan Pasal 171 KUHP buatan Belandayang sudah dihapus. Ia berpendapat Pasal 307 dan 308 sebagai upaya kembali untuk mengekang kebebasan pers.

Padahal dalam UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, memuat adanya hak jawab dan koreksi. Terutama bagi mereka yang menilai dirugikan dari hasil publikasi pers.

Artidjo berpandangan akan sulit membuktikan hubungan kausalitas antara pemberitaan yang dianggap tidak pasti, berlebihan dan tidak lengkap. “Dengan demikian, Pasal 307 dan 308 RKUHP terlihat telah kehilangan relevansi sosial yuridisnya. Ini ranjau,” ujarnya.

Mantan Wakil Ketua Dewan Pers periode 2007-2010, Sabam Leo Batubara sependapat dengan Artidjo. Merujuk pada UU Pers, berita terkait pejabat, politisi maupun penguasaha yang diduga melakukan korupsi sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Menurutnya kode etik jurnalistik mensyaratkan sumber yang kredibel, termasuk sumber yang tertutup dengan kemasan cover both side dan verifikasi. “Pasal-pasal Rancangan KUHP tersebut adalah langkah mundur,” ujarnya.

Mantan anggota Dewan Pers periode 2010-2013, Wina Armada Sukardi menyatakan  RKUHP bersifat kolonial. Ia khawatir jika sejumlah pasal ancaman itu disahkan dan diterapkan akan mengancam jurnalis.

“Saya mengharapkan dalam RKUHP ada asas pers. Tapi di sini (RKUHP) tidak ada. Kalau KUHP mau direvisi harus sesuai dengan tuntutan zaman,” ujarnya.

Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wahiduddin Adams menegaskan dalam RKUHP tidak dikenal adanya pengaturan khusus mengenai delik pers. Namun memang terdapat beberapa rumusan pengaturan yang akan bersinggungan dengan kegiatan jurnalistik. Menurut Wahiduddin, rumusan pengaturan yang bersinggungan dengan kegiatan jurnalistik diatur sebagai delik materil. “Sehingga mensyaratkan adanya akibat untuk dapat dipidana,” ujarnya.

Kendati mendapat kritikan dari dewan pers dan pekeja jurnalis, pemerintah siap menerima masukan. Menurutnya sepanjang demi perbaikan, pihaknya meminta masukan tertulis dari dewan pers dan stakeholder untuk kemudian dibahas antara pemerintah dengan DPR. Hal itu sebagaimana merujuk pada Pasal 96  ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.

“Mari kita bahas kembali kalau masih ada yang perlu direvisi, mumpung masih mau dibahas di DPR. Semua masukan akan menjadi pembahasan pada perkembangan nanti,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait