Hakim Agama Harus Berani Menemukan Hukum
Berita

Hakim Agama Harus Berani Menemukan Hukum

Tak hanya hukum materil, tetapi juga hukum formil (acara).

ALI
Bacaan 2 Menit
Hakim Agama Harus Berani Menemukan Hukum
Hukumonline

Mantan Ketua MA Bagir Manan memberi pesan kepada para hakim agama agar berani melakukan penemuan hukum untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Badilag.

Ia mengatakan penemuan hukum biasanya dilakukan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, hukumnya tak jelas. Kedua, aturan yang tertulis bertentangan baik secara internal maupun eksternal (dengan aturan lain).Ketiga, tidak ada aturannya.

“Penemuan hukum itu penting demi tertib hukum,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘penemuan hukum’ yang dihadiri oleh pimpinan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di berbagai daerah ini di Jakarta, Selasa (27/8).

Bila dirunut dari akar sejarah, lanjut Bagir, ‘penemuan hukum’ oleh para hakim lebih dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon (common law), seperti Inggris, Amerika Serikat dan Australia. “Di negara anglo saxon, itu (penemuan hukum) memang pekerjaan para hakim,” ujarnya.

Di negara-negara ini, awalnya jumlah undang-undang atau hukum tertulis tak banyak. “Meski sekarang parlemen Inggris, AS, dan Australia sudah lebih banyak membuat undang-undang. Tapi, akhirnya, UU ini tetap ditafsirkan oleh hakim juga melalui judicial review,” tambahnya.

Namun, Bagir menjelaskan penemuan hukum bukan hanya monopoli negara-negara penganut sistem common law. Sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law yang dianut oleh Indonesia juga sudah mulai mengenal hakim sebagai penemu hukum, bukan lagi sebagai corong undang-undang. “Karena ada perkembangan kaidah hukum,” tuturnya.

Karenanya, hakim di Indonesia tak perlu lagi takut menafsirkan atau menemukan hukum bila aturan yang ada tidak jelas atau bertentangan satu sama lain. Apalagi, lanjutnya, dalam perkara di pengadilan agama. Menurut Bagir, hakim agama justru harus lebih aktif melakukan penemuan hukum.

“Aneh bila Anda selaku hakim dan para ulama tak berani melakukan penemuan hukum, padahal banyak ajaran agama yang menyatakan hakim tak boleh dogmatis,” ujarnya.

Bagir mencontohkan ‘ijtihad’ yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab terhadap hukuman potong tangan kepada pencuri. Kala itu, situasi kondisi negara sedang dalam kelaparan. Lalu, Umar sebagai penguasa maupun hakim ‘mengesampingkan’ hukuman potong tangan itu kepada pencuri.

“Kita ini kadang aneh. Kita selalu bilang ijtihad-ijtihad, tapi sehari-hari kita selalu jadi juru stempel,” sindirnya.

Hukum Formil
‘Kuliah umum’ Bagir Manan ini menarik minat hakim agama untuk berdiskusi lebih lanjut. Hakim Tinggi Pengadilan Agama Banjarmasin Ambo Asse menanyakan apakah ‘penemuan hukum’ oleh hakim ini sebatas pada hukum materil, bukan hukum formil (acara), atau justru terhadap dua jenis hukum ini.

Hakim Pengadilan Agama Bekasi Sirajuddin Saelillah juga punya pertanyaan sama. “Apakah penafsiran hanya terkait hukum materil atau juga boleh terhadap hukum formil. Karena yang membuat hakim beda pendapat selama ini, biasanya terkait dengan hukum formil (acara),” tuturnya.

Bagir mengatakan penafsiran oleh hakim bisa juga dilakukan terhadap hukum formil (acara). “Pendirian saya, iya. Boleh. Kalau hukum acara menghambat keadilan, ya harus diluruskan. Harus melihat kemaslahatannya. Kalau pendirian saya begitu,” tuturnya.

Namun, Bagir tak menafikan bila ada hakim yang berpendapat bahwa ruang penafsiran tertutup terhadap hukum formil. “Kalau pak Harifin (mantan Ketua MA setelah Bagir, Harifin A Tumpa,-red) harus masuk dulu hukum acara, baru ditafsirkan. Kalau saya, lihat dulu keadilannya,” tuturnya.

Bagir menilai pendapat orang yang menilai hukum materil boleh ditafsirkan, sedangkan hukum formil tak boleh adalah pendapat yang aneh. “Hukum acara (formil) itu kan buatan kita juga. Sama-sama buatan manusia. Kok hukum materil boleh ditafsirkan, hukum formil tak boleh. Memangnya hukum formil malaikat yang buat?” sindirnya.

Tags: