Hakim Ad Hoc Tipikor Medan Diduga Terima Suap Sin$280 Ribu
Utama

Hakim Ad Hoc Tipikor Medan Diduga Terima Suap Sin$280 Ribu

Dari empat hakim yang ditangkap baru Merry Purba yang menyandang status tersangka. Keterlibatan hakim lain tergantung hasil pengembangan proses penyidikan kasus ini dan hasil pemeriksaan MA.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Sunarto usai memberi keterangan pers terkait OTT yang melibatkan hakim ad hoc dan panitera di PN Medan di Gedung KPK, Kamis (29/8). Foto: RES
Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Sunarto usai memberi keterangan pers terkait OTT yang melibatkan hakim ad hoc dan panitera di PN Medan di Gedung KPK, Kamis (29/8). Foto: RES

Merry Purba (MP), Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diduga menerima suap sebesar Sin$280 ribu dari Tamin Sukardi (TS), seorang pengusaha sekaligus narapidana kasus korupsi.

 

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pemberian uang tersebut diduga untuk mempengaruhi putusan perkara tindak pidana korupsi No. 33/Pid.Sus/TPK/2018/PN. Mdn dengan terdakwa Tamin Sukardi yang ditangani Pengadilan Tipikor pada PN Medan. Merry Purba diketahui merupakan salah satu anggota majelis dalam perkara tersebut.

 

Dalam perkara korupsi penjualan tanah negara itu, Merry mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut. Merry menganggap perkara Tanah Eks HGU PTPN II ini telah berkekuatan hukum tetap (inkrach) sejak di PN Lubuk Pakam pada 2011 yang memenangkan 65 warga yang mengaku memiliki tanah seluas 106 hektar tanah di Pasar IV, Kelurahan Labuhan Deli, Kecamatan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang.

 

Merry menilai sikap Direktur PT Perkebunan Nusantara II yang tidak menghapus aset PTPN II adalah hal keliru karena setelah putusan berkekuatan hukum tetap aset tersebut harus dihapusbukukan. Ia juga menganggap kerugian negara terhadap kasus eks HGU PTPN II ini tidak dilakukan audit yang benar. Baca Juga: KPK Tangkap Ketua dan Wakil Ketua PN Medan

 

“Diduga pemberian dari TS kepada Hakim MP terkait putusan perkara tindak pidana korupsi No. 33/pid.sus/TPK/2018/PN. Mdn dengan terdakwa Tamin Sukardi yang ditangani Pengadilan Tipikor pada PN Medan,” ujar Agus saat memberi keterangan pers di kantornya, Rabu (29/8/2018).  

 

Agus menerangkan dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018 itu, TS divonis pidana 6 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa selama 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 Juta subsider 6 buIan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.

 

"Sebelum kegiatan tangkap tangan dilakukan, diduga sebelumnya telah terjadi pemberian uang Sin$150 ribu kepada MP (Merry Purba). Pemberian ini merupakan bagian dari total Sin$280 ribu yang diserahkan dari TS (Tamin Sukardi) kepada H (Helpandi, panitera penganti) melalui orang kepercayaannya pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriot Medan," jelas Agus.

 

KPK mengidentifikasi penggunaan sandi dan kode dalam komunikasi dalam perkara ini, seperti pohon yang berarti uang dan kode untuk nama hakim, seperti Ratu Kecantikan.  Setelah pemeriksaan awal pasca tertangkap tangan yang dilanjutkan dengan gelar perkara, disimpulkan adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi menerima hadiah atau janji oleh Hakim PN Medan secara bersama-sama terkait putusan perkara korupsi tersebut.

 

Dari jumlah 8 orang yang ditangkap, KPK hanya menetapkan 4 orang sebagai tersangka baik sebagai pemberi maupun penerima. Sebagai pemberi yaitu Tamin Sukardi dan dan orang kepercayaannya Hadi Setiawan yang hingga kini masih buron. Keduanya, dijerat Pasal 6 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Kemudian sebagai penerima yaitu Merry Purba selaku hakim dan seorang panitera pengganti bernama Helpandi. Keduanya, dijerat Pasal 12 huruf c atau a atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Kronologi

Agus juga menjelaskan kronologi perkara ini yang berawal adanya informasi terjadi dugaan penerimaan uang oleh Helpandi, Panitera Pengganti PN Medan yang diduga diperuntukan untuk Hakim Merry. Setelah itu, tim mengamankan Helpandi, Panitera Pengganti pada tanggal 28 Agustus 2018 sekitar pukul 08.00 WIB di sekitar PN Medan.

 

Dari tangan Helpandi, tim mengamankan uang Sin$130 ribu dalam amplop coklat dan kemudian langsung membawanya ke kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk dilakukan pemeriksaan awal. Tim KPK lain bergerak mengamankan Sudarni, staf Tamim, sekitar pukul 09.00 WIB di kediamannya di Jalan Cendrawasih Kota Medan dan membawanya ke kantor Kejati Sumatera Utara. Secara paralel, tim mengamankan Tamin di kediamannya di Jalan Thamrin Kota Medan sekitar pukul 09.00 WIB.

 

Dari 4 orang hakim yang diamankan sejauh ini hanya Merry yang menjadi tersangka. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri. Sebab, dua hakim lainnya yaitu Wahyu Prasetyo Wibowo (Wakil Ketua PN Medan) dan juga Sontan Merauke Sinaga juga merupakan hakim pengadil dalam perkara korupsi tersebut.

 

"Kita memang baru menetapkan Saudari MP dan seperti yang disampaikan MA, proses masih berlangsung, ada kemungkinan pengembangan penyidikan kita belum tahu, selama ini yang kuat adalah MP," katanya.

 

Sudah berusaha maksimal

Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial sekaligus Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto - yang juga hadir dalam konferensi pers ini bersama Juru Bicara MA Suhadi - mengklaim pihaknya sudah berusaha maksimal mencegah dan terus mengingatkan agar oknum peradilan tidak melakukan korupsi. MA, kata Sunarto, tidak hanya mengingatkan, tetapi juga rutin bekerja sama dengan sejumlah pihak ketiga dalam hal uji integritas pelayanan publik di pengadilan.

 

MA juga turun langsung ke daerah yang dianggap rawan untuk melakukan pengawasan. Mereka bahkan mengingatkan langsung oknum peradilan yang diduga melakukan pelanggaran. "Ini bukan hanya sosialisasi kita tunjuk hidung, berhenti, sudah kita ingatkan, tapi masih dianggap kita gertak atau takut-takutin, kasus yang lain datang, kita ingatkan. Bahkan ada perkara ramai, belum diputus pengawas intervensi, langsung kita turunkan tim," ujar Sunarto.

 

Jika terjadi dugaan pelanggaran, tim pengawasan langsung melakukan pemeriksaan di daerah tersebut termasuk para pimpunan pengadilannya. Untuk kasus Medan ini sendiri, ia mengaku mendapat informasi dan upaya pengawasan dan sosialisasi sebenarnya sudah dilakukan sebelum terjadinya peristiwa ini.

 

"Kami dapat info dari tim di sana melalui pembinaan Ketua Pengadilan Tinggi Medan itu dilakukan 16 Juli ke Medan, 3 Agustus 8, 23, 27 Agustus sebelum ditangkap. Tapi ini menyangkut karakter kalau belum mendapat hidayah Tuhan susah berubah, terpaksa kita harus selesaikan urusan-urusan begini, jangan sampai ‘parasit’ di badan peradilan," bebernya.

 

Untuk nasib Merry dan Helpandi yang sudah menyandang status tersangka, pihaknya telah memberhentikan sementara. Keduanya, hanya akan kehilangan tunjangan dan hanya mendapat gaji pokok hingga adanya putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

 

Juru Bicara MA Suhadi menambahkan pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap para hakim terkait. Jika memang ditemukan pelanggaran, maka akan diproses sesuai aturan hukum seperti yang tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sebaliknya jika tidak terbukti, namanya akan direhabilitasi dan yang bersangkutan akan menerima kembali haknya.

Tags:

Berita Terkait