Hakim Ad Hoc Khawatir UU ASN Jadi Senjata Pengacara Koruptor
Utama

Hakim Ad Hoc Khawatir UU ASN Jadi Senjata Pengacara Koruptor

Komisi Yudisial siap memprovokasi.

ALI SALMANDE
Bacaan 2 Menit
Komisioner KY Taufiqurahman Syahuri dalam sidang pengujian UU ASN di Gedung MK, Selasa (2/9). Foto: RES
Komisioner KY Taufiqurahman Syahuri dalam sidang pengujian UU ASN di Gedung MK, Selasa (2/9). Foto: RES
Sejumlah hakim ad hoc yang menjadi pemohon uji materi Pasal 122 huruf e UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) khawatir bila UU ASN itu akan dijadikan “senjata” oleh pengacara koruptor.

“Legalitas dari sidang hakim ad hoc akan dipertanyakan. Kami juga sebagai hakim ad hoc tidak tenang, waswas, gelisah karena bisa saja kami yang justru dilaporkan sebagai orang yang memutus tanpa ada status yang jelas. Kalau ada pengacara yang paham UU ASN ini bagaimana?” ujar salah seorang pemohon Gazalba Saleh di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/9).

Biang masalah dari persoalan ini adalah Pasal 122 huruf e yang mengecualikan hakim ad hoc sebagai pejabat negara. Ketentuan itu berbunyi: “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, yaitu: e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada MA serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc.

Kekhawatiran pemohon semakin kuat setelah mendengarkan pendapat ahli dan pihak terkait dalam pengujian ini. Mereka sama-sama sepakat bahwa legalitas putusan bisa bermasalah bila hakim ad hoc tidak masuk ke dalam kategori pejabat negara.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Widodo Ekatjahjana mengatakan bahwa Pasal 122 huruf e ini sangat berbahaya. Pasalnya, hakim ad hoc bisa kehilangan statusnya dalam memutus perkara. “Legitimasi hakim akan dipersoalkan. Apalagi, sekarang sedang banyak kasus besar, seperti Century dan Hambalang. Saya tidak bisa bayangkan (bila ini dipersoalkan pengacara atau terdakwa korupsi,-red),” ujarnya.

“Saya tidak tahu bila setelah penjelasan saya ini, akan ada banyak pengacara yang menggunakan UU ASN ini sebagai dasar eksepsi atau novum Peninjauan Kembali untuk mempersoalkan keabsahan putusan hakim ad hoc,” tambahnya.

Lebih lanjut, Widodo menuturkan bahwa UU ASN ini tidak tepat bila digunakan untuk mengatur aparat pengadilan. Ia mengatakan bahwa lingkup UU ASN ini seharusnya cukup untuk pegawai atau pejabat di bidang eksekutif, karena pejabat yudikatif sudah diatur dalam undang-undang tersendiri, seperti UU Kekuasaan Kehakiman atau UU MA.

Anggota Komisi Yudisial (KY) Taufiqurahman Syahuri menilai bahwa adanya frase pengecualian hakim ad hoc bukan sebagai pejabat negara pada Pasal 122 huruf e UU ASN ini sebagai bentuk merendahkan kehormatan hakim. Oleh karena itu, lanjutnya, KY selaku lembaga yang berwenang menegakkan dan menjaga martabat dan perilaku hakim merasa perlu “turun tangan” dalam sidang judicial review ini.

Taufiq mengatakan bahwa UU Kekuasaan Kehakiman telah tegas menyatakan bahwa hakim ad hoc masuk ke dalam definisi hakim. Profesi hakim itu, lanjutnya,  tentu saja harus dijabat oleh seorang pejabat negara. “Kalau hakim ad hoc dikeluarkan dari pejabat negara, maka konsekuensi status putusan hakim di pengadilan bisa dipersoalkan,” ujarnya lagi.

“Bisa saja seorang terpidana dengan dasar UU ASN ini mengajukan gugatan perdata, telah terjadi perbuatan melawan hukum karena ada hakim yang bukan pejabat negara ikut memutus perkara,” ujarnya.

Tak hanya itu, Taufiq bahkan berencana menjadi “provokator” agar gugatan itu segera dilayangkan bila UU ASN ini tetap dipertahankan. “Kalau (Pasal 122 huruf e UU ASN,-red) ini dipertahankan, saya akan provokasi terpidana korupsi untuk mengajukan gugatan,” ujarnya disambut tawa kecil dari majelis hakim yang memeriksa perkara.

Taufiq menjelaskan bahwa selama ini KY tidak pernah membeda-bedakan antara hakim karier dan hakim ad hoc. Dua jenis hakim ini merupakan objek pengawasan KY dan keduanya juga harus tunduk kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim yang telah dibuat oleh MA dan KY.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam keterangan tertulisnya, juga mengaku selama ini tidak membedakan antara hakim karier dan hakim ad hoc. Layaknya hakim karier, lanjut KPK, hakim ad hoc wajib melaporkan gratifikasi dan laporan harta kekayaan yang mereka miliki.

“Apabila hakim ad hoc dikecualikan status dan kedudukannya sebagai penyelenggara negara yang merupakan pejabat negara di lingkungan yudikatif, maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerima laporan gratifikasi dari hakim ad hoc. Begitu sebaliknya, tidak adanya kewajiban bagi hakim ad hoc untuk melaporkan gratifikasi yang diterimanya, sebagaimana yang selama ini diatur dalam Pasal 12 C UU Tipikor,” demikian bunyi keterangan KPK.

Dengan demikian, KPK akan menemukan suatu hambatan yang bersifat sistematis apabila kedudukan hakim ad hoc bukan sebagai pejabat negara dan juga penyelenggara negara dalam rangka upaya pencegahan tindak pidana korupsi. “Dengan kata lain, pencapaian optimalisasi pelaksanaan tugas pencegahan yang menjadi titik tekan KPK selama ini akan terhambat oleh adanya suatu UU yang di dalamnya mengatur ketentuan yang bersifat kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.”
Tags:

Berita Terkait