Hakikat Pendirian BUMN Bukan Cari Untung
Berita

Hakikat Pendirian BUMN Bukan Cari Untung

Delegasi wewenang yang mengatur dengan PP sebagaimana diatur pasal 4 ayat (4) UU BUMN melemahkan fungsi legislasi dan pengawasan anggaran melalui pengesahan RUU APBN oleh DPR.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES

Pendirian BUMN bukan semata bertujuan mencari keuntungan, melainkan juga memiliki tujuan sosial seperti diamanatkan Pasal 33 UUD Tahun 1945. Pandangan ini disampaikan oleh Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Tulus T. H. Tambunan selaku ahli Pemohon di sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a-b dan Pasal 4 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).

 

Tulus menilai Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN khususnya frasa “mengejar keuntungan” berbau kapitalime dan melenceng dari tujuan awal pendirian BUMN. Padahal, menurutnya pendirian BUMN merupakan konsekuensi logis Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang seharusnya memiliki tujuan sosial seperti halnya UU Perkoperasian yang tidak disebutkan mencari untung.  

 

“Karena mengejar atau menghasilkan keuntungan bukan tujuan pendirian BUMN, namun sangat penting agar BUMN dapat berperan optimal sesuai tujuan-tujuan sosialnya. Seperti halnya UU Perkoperasian yang punya pasal tersendiri mengenai SHU (sisa hasil usaha), aspek keuntungan dalam UU BUMN dapat dicantumkan di pasal tersendiri,” ujar Tulus di ruang sidang MK, Rabu (23/5/2018) seperti dikutip laman resmi MK. Baca Juga: Ahli Sebut Pengelolaan BUMN Cenderung Kapitalis dan Liberalis

 

Tulus menyarankan kepada Majelis Hakim MK untuk mengubah frasa “keuntungan usaha” dengan frasa yang lebih positif dari perspektif sosial. Misalnya, Pasal 2 ayat (1) huruf a berbunyi, “Demi menunjang BUMN untuk dapat berperan optimal sesuai dengan tujuan-tujuan pendiriannya, BUMN harus dikelola secara profesional layaknya sebuah perusahaan swasta modern agar efisiensi 8 usaha tersebut tercapai dan selanjutnya menghasilkan keuntungan usaha”.

 

Dia menambahkan belum optimalnya peran BUMN, sehingga perlu meninjau kembali Pasal 2 ayat (1) mengenai maksud dan tujuan pendirian BUMN. Dalam pasal tersebut BUMN memiliki peran dalam perekonomian nasional, terutama sebagai motor penggerak pertumbuhan PDB, sumber penciptaan kesempatan kerja, dan sumber pendapatan negara.

 

Selengkapnya, Pasal  2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN berbunyi “Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan;....”

 

Pasal 4 ayat (4) UU BUMN berbunyi “Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

 

Potensi multitafsir

Ahli pemohon lain, dosen hukum tata negara dari Universitas Udayana Johanes Usfunan menilai substansi Pasal 2 ayat (1) huruf a UU BUMN, norma hukumnya kabur yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Hal itu tercermin dari rumusan frasa “memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.”

 

“Penggunaan frasa ‘sumbangan dan perkembangan’ mengandung makna sukarela, tidak mengikat dan tidak ada target. Seharusnya, rumusan yang jelas adalah mendorong peningkatan kemajuan perekonomian,” usul Johanes dalam sidang.

 

Menurutnya, frasa “sumbangan dan perkembangan” berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam bentuk KKN yang merugikan kepentingan masyarakat termasuk Pemohon. Ia melanjutkan frasa tersebut digunakan sebagai justifikasi terhadap ketidakberhasilan kegiatan BUMN atau sebaliknya.

 

Karena sifatnya hanya memberi sumbangan bagi perkembangan perekonomian, kemungkinan dapat disalahgunakan sebagai alasan oleh oknum tertentu pengelola BUMN untuk mengelak dari kemungkinan tuduhan bahwa BUMN tidak berhasil.

 

“Jadi, penjelasan ketentuan pasal a quo jelas semakin kabur dan seharusnya rumusan yang jelas adalah BUMN wajib meningkatkan mutu pelayan pada masyarakat sekaligus memberi kontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.

 

Lemahkan pengawasan DPR

Terkait Pasal 4 ayat (4) UU BUMN, Johanes menegaskan pentingnya pengawasan DPR dalam kegiatan tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN berkaitan wewenang delegasi pengaturan dengan peraturan pemerintah (PP). Menurutnya, DPR sebagai representasi rakyat berfungsi legislasi dalam penyusunan anggaran melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Untuk itu, lanjutnya, penting perlu adanya pengawasan dari DPR.

 

Kemudian,  Johanes menerangkan pelaksanaan penyertaan modal BUMN yang tidak dilakukan melalui mekanisme APBN bertentangan dengan Putusan MK Nomor 2/SKLN-X/2012 tanggal 31 Juli 2012 yang menentukan penyertaan modal negara pada suatu BUMN atau PT merupakan kewenangan konstitusional pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

 

“Jadi, delegasi wewenang yang mengatur dengan PP sebagaimana diatur pasal a quo melemahkan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan anggaran melalui pengesahan RUU APBN oleh DPR. Hal tersebut berpeluang menimbulkan penyalahgunaan wewenang karena pengelolaan BUMN tanpa pengawasan DPR,” katanya.

 

Sebelumnya, Albertus Magnus Putut Prabantoro dkk selaku Pemohon menilai meski kedua pasal tersebut tidak terlihat menyimpang, tetapi penerapannya tidak sesuai jiwa Pasal 33 ayat (2), (3) UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan kedaulatan sumber daya yang seharusnya dikuasai negara. Sebab, berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN diartikan motivasi pendirian BUMN hanya mengejar penerimaan negara dan keuntungan ketimbang motivasi memberi pelayanan kepada masyarakat dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atau kata lain, praktik pengelolaan BUMN bernuansa kapitalis (privatisasi BUMN).

 

Pemohon menilai Pasal 4 ayat (4) UU BUMN tidak sesuai atau bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Apabila diartikan penyertaan modal negara berupa penambahan, pengurangan termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham persero dilakukan tanpa persetujuan/pengawasan DPR dalam penyusunan APBN (UU APBN) dan tidak sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebab, seolah fungsi pengawasan anggaran negara hilang karena sudah dialihkan pengaturannya dalam bentuk PP. (Baca Juga: Kembali Mempersoalkan Peran Negara dalam UU BUMN)

 

Dalam petitum permohonan ini, Pemohon meminta agar Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali (atau sepanjang tidak) dimaknai bahwa pendirian/penguasaan BUMN atau perseroan untuk membangun perekonomian nasional sebagai usaha bersama, selain memberi pemasukan bagi negara juga untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat/orang banyak.  

 

Selain itu, Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan kepemilikan struktur negara atas saham Persero atau Perseroan Terbatas, ditetapkan dengan undang-undang.”

Tags:

Berita Terkait