Hak Tuntutan Ganti Rugi dalam KUHAP
Kolom

Hak Tuntutan Ganti Rugi dalam KUHAP

Artikel ini dibuat sebagai ucapan selamat ulang tahun untuk Hukumonline yang telah 20 tahun mengawal reformasi dan pembangunan hukum di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Sejak tiga puluh sembilan tahun yang lalu, KUHAP menjadi produk legislasi nasional yang ditenggarai sebagai karya agung Bangsa Indonesia dan simbol reformasi hukum acara pidana di Indonesia, karena KUHAP dianggap telah mengadopsi nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang mengedepankan konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) serta prinsip persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum.

Sebelum berlakunya KUHAP, pelaksanaan penegakan hukum pidana dilakukan oleh undang-undang peninggalan kolonial yaitu HIR dan RBg. Dua undang-undang tersebut keberlakuannya dipertahankan oleh ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia yang terkandung dalam KUHAP yaitu tersedianya sarana bagi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas segala tindakan dalam proses penegakan hukum pidana yang tidak didasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Secara garis besar ada 3 mekanisme tuntutan ganti kerugian yang diatur di dalam KUHAP yaitu:

  1. Ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (ex Pasal 77 huruf b jo 95 ayat (1) dan (2) KUHAP)
  2. Ganti kerugian yang diajukan oleh terdakwa yang perkaranya telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan (ex Pasal 95 ayat (1) s.d. (5) KUHAP)
  3. Ganti kerugian yang diajukan oleh korban tindak pidana kepada terdakwa (ex Pasal 98 KUHAP)

Dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas tentang ganti kerugian yang diajukan oleh korban tindak pidana sebagaimana disebutkan pada poin ke-3 di atas, namun yang akan kita bahas adalah ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka, terdakwa dan terpidana sebagaimana dalam poin pertama dan kedua, karena masing-masing memiliki dimensi yang berbeda.

Pengaturan Ganti Kerugian

Tidak terlalu sulit untuk memahami alasan ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka akibat upaya paksa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam hal perkaranya tidak diajukan ke pengadilan atau oleh terdakwa yang diputus bebas oleh pengadilan, sedangkan ia pernah ditangkap dan/atau ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.

Yang sering kali menimbulkan kebingungan adalah terkait hak yang diberikan undang-undang kepada terpidana untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian, karena secara logika istilah terpidana adalah orang yang telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, sehingga pertanyaannya, apakah orang yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, masih berhak untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian?

Pasal 95 ayat (1) KUHAP secara lengkap menyebutkan “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Penyebutan terpidana di dalam pasal tersebut tentu bukan karena kekeliruan, melainkan ada maksud dari pembentuk undang-undang untuk memberikan hak bagi orang yang dinyatakan bersalah (terpidana) untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian.

Seorang terpidana dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian  dalam hal:

  1. Jika dalam proses pemeriksaan ia pernah ditahan melebihi dari masa penahanan yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga, meskipun dalam perkara pokoknya dinyatakan terbukti, namun ia tetap berhak menuntut ganti kerugian atas kelebihan masa penahanan yang dijalaninya;
  2. Jika masa lamanya pidana yang dijatuhkan lebih singkat dari masa penahanan yang pernah dijalani, hal ini sebagai akibat dari perhitungan bahwa satu hari penahanan rutan sama dengan satu hari penjara, sehingga jika penahanan lebih lama dari masa pidana (penjara) yang harus dijalani, maka ia berhak untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian;
  3. Jika pada saat proses pemeriksaan dilakukan penahanan, namun dinyatakan terbukti atas pasal yang tidak dapat ditahan, maka ia berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian (terhadap hal ini masih menjadi perdebatan).

Jika merujuk kembali pada ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP di atas, maka alasan diajukannya tuntutan ganti kerugian adalah sebagai berikut:

  1. karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
  2. karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Terhadap poin pertama, mengandung makna bahwa prosedurnya tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan, sedangkan pada poin kedua, bisa saja prosedurnya benar, namun telah terjadi kekeliruan pada orangnya, misalnya tata cara penangkapan dan penahanan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun pelakunya bukan itu, sedangkan kekeliruan terkait penerapan hukumnya, jika seseorang dihadapkan ke persidangan pidana, namun ternyata perbuatan yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana. Untuk poin pertama terjadi jika terdakwa dijatuhi putusan bebas, sedangkan pada poin kedua terjadi karena terdakwa dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Senjata Yang Tumpul

Seringkali menjadi problema dalam praktik, apakah setiap terdakwa yang diputus tidak bersalah dalam bentuk bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum selalu berhak untuk mendapatkan ganti kerugian? Tidak ada ketentuan KUHAP yang secara tegas menyebutkan tentang hal itu, namun jika ditarik dari sebuah asas universal yang berlaku dalam hukum pidana yaitu “geen straf zonder schuld” atau “tiada pidana tanpa kesalahan” maka sesungguhnya itu juga berarti bahwa orang yang tidak bersalah tidak boleh menjalani nestapa (penderitaan) seperti halnya pidana, karena berdasarkan Pasal 22 ayat (4) KUHAP “masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”

Artinya, bahwa nilai penderitaan dari tindakan penangkapan dan penahanan sama dengan nilai penderitaan dalam menjalani pidana (penjara). Atas dasar itu, maka jika asas hukum menyebutkan bahwa orang tidak boleh dipidana (dipenjara) tanpa adanya kesalahan, maka seharusnya juga orang yang tidak bersalah tidak boleh merasakan penderitaan layaknya penjara seperti penangkapan dan penahanan, karena satu hari masa penangkapan atau penahanan (rutan) sama nilainya dengan satu hari masa penjara.

Lalu bagaimana dengan fakta yang ada, bahwa penangkapan dan penahanan itu selalu dilakukan di awal pada saat belum adanya pernyataan bersalah atau tidak. Terkait hal itu, maka negara harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 KUHAP pada saat seseorang dinyatakan tidak bersalah. Negara tidak perlu mempersoalkan lagi, apakah penangkapan atau penahanan yang dilakukan itu sah atau tidak, melawan hukum atau tidak. Begitu orang dinyatakan tidak bersalah, otomatis negara wajib memberikan ganti kerugian atas kebebasan yang telah dirampas, meskipun besaran nilai kerugiannya tetap harus ditentukan oleh pengadilan melalui sebuah penetapan.

Praktik selama ini, orang yang dinyatakan tidak bersalah, di mana dalam prosesnya pernah menjalani penangkapan dan penahanan, tidak mudah untuk mendapatkan ganti kerugian tersebut, meskipun undang-undang telah memberikan pengaturan tentang hal itu. Terdapat beberapa kendala yang menyebabkan sulitnya pemenuhan ganti kerugian, antara lain;

  1. Hukum acara sebagaimana diatur dalam KUHAP tidak cukup jelas, apakah tuntutan anti kerugian tersebut masuk dalam ranah gugatan perdata atau menjadi bagian dalam perkara praperadilan;
  2. Pasal 95 ayat (5) KUHAP menyebutkan “pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan” sedangkan acara praperadilan dalam KUHAP sendiri juga tidak cukup jelas.
  3. Negara tidak memiliki anggaran khusus membayar ganti kerugian, sehingga pada saat telah ditetapkan ganti kerugian oleh pengadilan, eksekusinya juga tidak mudah dan cenderung saling lempar tanggung jawab di antara penegak hukum.

Dalam beberapa kasus tuntutan ganti kerugian atas dasar putusan bebas dilakukan melalui gugatan perdata, kemudian hakim menilainya dengan standar “perbuatan melawan hukum” sebagaimana Pasal 1365 KUH Perdata. Akibatnya, banyak tuntutan ganti kerugian ditolak oleh hakim dengan alasan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal itu sepintas bisa dimaklumi karena perbuatan melawan hukum mengandung unsur “kesalalahan” dan pada saat menilai tindakan penangkapan dan penahanan pasti ukurannya, “apakah tindakan tersebut bertentangan dengan aturan atau tidak.” Lebih rumit lagi ketika penahanan itu bukan saja dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, namun juga dilakukan oleh pengadilan, maka hakim akan dihadapkan pada kewajiban untuk menilai tindakan penahanan yang dilakukan oleh lembaganya sendiri.

Gagasan dan Harapan

Seharusnya ganti kerugian atas dasar putusan bebas/lepas dari segala tuntutan hukum tidak didasarkan pada “perbuatan melawan hukum” namun didasarkan pada keberlakuan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang kemudian dimaknai bahwa “jika orang yang tidak bersalah tidak boleh dipidana” maka seharusnya “orang yang tidak bersalah juga tidak boleh menjalani penderitaan selayaknya pidana” sehingga orang yang pernah ditangkap dan/atau ditahan harus mendapatkan ganti kerugian karena penangkapan dan penahanan memiliki nilai penderitaan yang sama dan sebanding dengan pidana (penjara).

Selain itu, prosesnya seharusnya juga tidak menggunakan gugatan perdata karena akan membuka ruang perjalanan perkara yang panjang dan berbelit-belit. Pembentuk undang-undang menentukan bahwa pemeriksaan ganti kerugian mengikuti acara praperadilan sesungguhnya mengandung makna bahwa sifat pemeriksaan dan pemenuhannya harus dilakukan secara cepat dan simpel seperti perkara praperadilan, misalnya waktunya pemeriksaan dibatasi hanya 7 hari, perkaranya disidangkan oleh hakim tunggal dan terhadap penetapan yang dijatuhkan tidak dapat diajukan upaya hukum.

Jika untuk mendapatkan ganti rugi terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum harus menjalani persidangan yang panjang sampai di tingkat banding, kasasi atau bahkan hingga ke peninjauan kembali, maka makna perlindungan hak asasi sebagaimana diharapkan oleh pembentuk KUHAP tidak akan tercapai, karena hal itu justru semakin menambah penderitaan baginya.

Selain prosesnya harus cepat dan sederhana, negara juga harus mempersiapkan anggaran khusus untuk membayar ganti kerugian, karena pada setiap tindakan penegakan hukum pidana selalu mengandung dua kemungkinan, pertama terbukti bersalah sehingga dijatuhi pidana dan tidak terbukti bersalah. Jika kemungkinan itu selalu ada pada setiap proses penegakan hukum pidana, maka selayaknya anggaran ganti kerugian juga harus selalu tersedia jika kemungkinan itu benar-benar terjadi.

*)D.Y. Witanto adalah Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan bagian dari Kolom 20 Tokohmenyambut Ulang Tahun Hukumonline yang ke-20.

Tags:

Berita Terkait