Hak Tuntutan Ganti Rugi dalam KUHAP
Kolom

Hak Tuntutan Ganti Rugi dalam KUHAP

Artikel ini dibuat sebagai ucapan selamat ulang tahun untuk Hukumonline yang telah 20 tahun mengawal reformasi dan pembangunan hukum di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

Pasal 95 ayat (1) KUHAP secara lengkap menyebutkan “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Penyebutan terpidana di dalam pasal tersebut tentu bukan karena kekeliruan, melainkan ada maksud dari pembentuk undang-undang untuk memberikan hak bagi orang yang dinyatakan bersalah (terpidana) untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian.

Seorang terpidana dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian  dalam hal:

  1. Jika dalam proses pemeriksaan ia pernah ditahan melebihi dari masa penahanan yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga, meskipun dalam perkara pokoknya dinyatakan terbukti, namun ia tetap berhak menuntut ganti kerugian atas kelebihan masa penahanan yang dijalaninya;
  2. Jika masa lamanya pidana yang dijatuhkan lebih singkat dari masa penahanan yang pernah dijalani, hal ini sebagai akibat dari perhitungan bahwa satu hari penahanan rutan sama dengan satu hari penjara, sehingga jika penahanan lebih lama dari masa pidana (penjara) yang harus dijalani, maka ia berhak untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian;
  3. Jika pada saat proses pemeriksaan dilakukan penahanan, namun dinyatakan terbukti atas pasal yang tidak dapat ditahan, maka ia berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian (terhadap hal ini masih menjadi perdebatan).

Jika merujuk kembali pada ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP di atas, maka alasan diajukannya tuntutan ganti kerugian adalah sebagai berikut:

  1. karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
  2. karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Terhadap poin pertama, mengandung makna bahwa prosedurnya tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan, sedangkan pada poin kedua, bisa saja prosedurnya benar, namun telah terjadi kekeliruan pada orangnya, misalnya tata cara penangkapan dan penahanan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun pelakunya bukan itu, sedangkan kekeliruan terkait penerapan hukumnya, jika seseorang dihadapkan ke persidangan pidana, namun ternyata perbuatan yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana. Untuk poin pertama terjadi jika terdakwa dijatuhi putusan bebas, sedangkan pada poin kedua terjadi karena terdakwa dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Senjata Yang Tumpul

Seringkali menjadi problema dalam praktik, apakah setiap terdakwa yang diputus tidak bersalah dalam bentuk bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum selalu berhak untuk mendapatkan ganti kerugian? Tidak ada ketentuan KUHAP yang secara tegas menyebutkan tentang hal itu, namun jika ditarik dari sebuah asas universal yang berlaku dalam hukum pidana yaitu “geen straf zonder schuld” atau “tiada pidana tanpa kesalahan” maka sesungguhnya itu juga berarti bahwa orang yang tidak bersalah tidak boleh menjalani nestapa (penderitaan) seperti halnya pidana, karena berdasarkan Pasal 22 ayat (4) KUHAP “masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”

Artinya, bahwa nilai penderitaan dari tindakan penangkapan dan penahanan sama dengan nilai penderitaan dalam menjalani pidana (penjara). Atas dasar itu, maka jika asas hukum menyebutkan bahwa orang tidak boleh dipidana (dipenjara) tanpa adanya kesalahan, maka seharusnya juga orang yang tidak bersalah tidak boleh merasakan penderitaan layaknya penjara seperti penangkapan dan penahanan, karena satu hari masa penangkapan atau penahanan (rutan) sama nilainya dengan satu hari masa penjara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait