Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir? (Superior Orang Tua Vs Evolving Capacity Anak)
Oleh: Muhammad Joni*)

Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir? (Superior Orang Tua Vs Evolving Capacity Anak)

Hotline Service Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima sejumlah pengaduan perebutan anak. Bukan hanya dari kalangan kelas menengah-bawah, tetapi juga dari kelas ekonomi atas. Sebagian diantaranya selebritis dan tokoh yang dikenal publik.

Bacaan 2 Menit

 

Hak pemeliharaan  anak (hadhonah) adalah term untuk pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (12 tahun). Jika meruju kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105, hadhonah diberikan secara eksplisit kepada ibunya.  Namun, hak pemeliharaan anak – menurut versi pasal 105 KHI itu – bukan ketentuan yang imperatif, namun bisa saja dikesampingkan dan diabaikan.

 

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.

 

Anak (yang masih di bawah umur) dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia, tatkala kedua orang tuanya berperkara di pengadilan (gugat cerai atau permohonan talak), tidak pernah dimintakan pendapatnya oleh kedua orang tuanya. Hakim yang mengadili perkara itu tidak pula meminta pendapat anak, atau mendalami bagaimana kehendak anak. Padahal, dalam UU No. 23 Tahun 2002, dan Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) dikenal prinsip penghargaan pendapat anak (respect view of the child).

 

Pasal 2 UU Perlindungan Anak tersebut berbunyi : Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip  dasar  konvensi  hak-hak anak meliputi: a. ...; b. ...; c. ...; dan  d. Penghargaan terhadap pendapat anak;

 

Diperoleh fakta dalam praktek hukum, pendapat anak sering diabaikan. Hampir semua kasus perceraian tidak meminta pendapat anak. Misalnya Hakim dan para pihak yang berperkara, jika menghargai pendapat anak, perlu menelusuri pendapatnya (walaupun bukan dengan pertanyaan kaku dan formal seperti keterangan orang dewasa). Tidak pernah anak diminta pendapatnya: apakah dia setuju dengan perceraian atau tidak. Apakah dia memiliki pandangan khusus mengenai hak pemeliharaannya? Mau mengikuti siapa? Bagaimana pula alimentasi atas kebutuhan hidupnya?

 

Di sisi lain, anak memiliki hak untuk bersama (unifikasi) dengan keluarganya. Anak juga memiliki hak privat untuk bisa bermain, berhati nurani, dan memperoleh informasi, serta hak mengakses informasi. Termasuk tentang proses  hukum perceraian kedua orang tuanya di pengadilan.

 

Ketua Komnas PA, DR. Seto Mulyadi, menegaskan pentingnya penghargaan terhadap pendapat anak, antara lain mengatakan, ...Anak-anak itu berhak dimintai pendapatnya berkaitan dengan nasib dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar, harus diberikan kepada anak dalam setiap situasi. [Majalah TEMPO, Edisi 6-12 Maret 2006, hal.40.] 

Tags: