Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus Didahulukan
Fokus

Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus Didahulukan

Hingga kini, para ahli dan praktisi hukum masih silang pendapat hak tagih siapa yang harus didahulukan.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Melalui Michdan, Marwati menuntut agar PN Jaksel membatalkan penetapan No. 1982 sekaligus mengangkat penyitaan yang dilakukan oleh Kejari Jakarta Selatan. Kami mempertanyakan, kenapa rumah miliki pelawan (Marwati) ikut disita? Padahal sudah jelas bukti kepemilikannya. Selain itu keputusan hakim untuk menyita rumah tersebut, bukan terdapat di dalam putusan Ollah Abdullah Agam, melainkan dalam perkaranya Adrian Waworuntu. Ini kan aneh tanya Michdan heran.

 

Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi memang mengatur mengenai sanksi pembayaran uang pengganti kepada terpidana korupsi. Mengacu pada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Korupsi, besar uang pengganti yang wajib dibayarkan jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi.

 

Lebih jauh disebutkan dalam Ayat (2) pasal yang sama, jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti dalam jangka waktu satu bulan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka harta benda si terpidana dapat disita untuk menutupi pembayaran uang pengganti tersebut.

 

Sedangkan pada Pasal 19 Ayat (1) UU Korupsi disebutkan bahwa pengadilan tidak akan menjatuhkan putusan yang berisi perampasan barang-barang yang bukan milik terdakwa. Namun demikian, Ayat (2) pasal tersebut memberikan hak kepada pihak ketiga yang barangnya terlanjur disita, yaitu dengan mengajukan surat keberatan yang ditujukan ke Pengadilan bersangkutan, paling lama dua bulan sejak putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum.

 

Artinya, berdasarkan ketentuan UU Korupsi tersebut di atas, Marwati dan Ollah Abdullah Agam berhak mengajukan keberatan ke pengadilan sejak putusan terhadap Adrian Waworuntu dibacakan. Namun apa daya. Seperti dituturkan Michdan, jangankan mengajukan keberatan, pemberitahuan mengenai sita saja tidak pernah disampaikan ke pihak keluarga Ollah. Kami baru mengetahui ketika pihak kejaksaan datang dan bermaksud menyita berdasarkan penetapan PN Jakarta Selatan, ujar Michdan.

 

Tindakan perlawanan yang dilakukan Marwati, menurut Rudi Satriyo, pakar hukum pidana Universitas Indonesia sudah tepat. Menurut dia, pihak ketiga yang merasa dirugikan karena barangnya disita dalam perkara orang lain, berhak mempertanyakannya. Jaksa bisa saja menyitanya. Namun dengan syarat, putusannya sudah harus berkekuatan hukum tetap dan menyatakan barang tersebut merupakan hasil dari tindak pidana, Rudi menegaskan.

 

Sedangkan Chaerul Huda berpendapat agar, dalam perkara seperti ini, jaksa harus menunda eksekusi terhadap barang sitaan. Jaksa harus menunda eksekusi barang sitaan, kata Huda. Penundaan eksekusi tersebut, lanjut Huda, dapat dilakukan jika pihak ketiga yang mengaku memiliki barang sitaan tersebut, dapat menunjukkan bahwa ia memiliki itikad baik. Misalkan ia bisa membuktikan bahwa barang itu didapat dari proses jual beli dan sebagainya, tandasnya.

 

Dalam konteks inilah, menarik untuk terus mengawal perkara Marwati. Bukan tidak mungkin hakim di PN Jakarta Selatan akan membuat teroboson hukum. Lebih dari itu, ke depan pengadilan diharapkan benar-benar melakukan proses pembuktian yang cermat dalam hal sita-menyita barang bukti.

 

Tags: