Hak Menyatakan Pendapat Bukan Hak Anggota DPR
Pengujian UU:

Hak Menyatakan Pendapat Bukan Hak Anggota DPR

Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR secara kelembagaan. Hakim Konstitusi meminta pemohon menegaskan kedudukan hukum alias legal standingnya.

Ali
Bacaan 2 Menit
Suasana persidangan di Mahkamah Konstitusi. Foto: Sgp
Suasana persidangan di Mahkamah Konstitusi. Foto: Sgp

Sidang perdana pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terkait kuorum hak menyatakan pendapat yang diajukan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Layaknya persidangan perdana, panel hakim konstitusi memberikan beberapa masukan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan.

 

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengingatkan adanya perbedaan antara hak anggota DPR dengan hak DPR. Ia mengatakan ketentuan hak menyatakan pendapat yang sedang diuji oleh para anggota DPR adalah hak DPR secara kelembagaan. Sedangkan, mayoritas pemohon mendalilkan sebagai anggota DPR. “Legal standing atau kedudukan pemohon harus jelas,” ujar Hamdan, Rabu (28/4).

 

Sekedar mengingatkan, pemohon mempersoalkan Pasal 184 ayat (4) UU MD3. Ketentuan itu berbunyi ‘Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dengan persetujuan paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir’.

 

Aturan kuorum ¾ ini dinilai bertentangan dengan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. ‘Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR’.

 

Para pemohon pengujian ini adalah para anggota Dewan yang terlibat dalam Pansus Bank Century seperti Bambang Soesatyo dan Akbar Faisal. Kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail mengatakan ‘penambahan’ kuorum dalam pasal 184 ayat (4) itu menjadi ¾ dari 2/3 yang ada dalam UUD 1945 merugikan hak konstitusional kliennya sebagai anggota DPR. “Ini merugikan hak konstitusional pemohon,” tuturnya.

 

Hakim Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan perbedaan antara hak anggota DPR dan hak DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. DPR secara kelembagaan -berdasarkan Pasal 20A ayat (2)- mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

 

Sedangkan, Pasal 20A ayat (2) menyebut anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. “Pemohon harus mengkonstruksikan hubungan hak anggota DPR dengan hak DPR,” jelas Akil di luar sidang.

 

Saran serupa juga disampaikan kepada Farhat Abbas, sebelumnya. Pria yang berprofesi sebagai pengacara itu mengajukan permohonan yang berbeda tetapi menyangkut objek yang sama. Farhat mendalilkan sebagai pemilih dia dirugikan karena anggota DPR yang dipilihnya tak bisa menjalankan haknya dengan leluasa.

 

Ayat (3) Hilang

Pengujian UU MD3 ini juga menemukan kejanggalan. Dalam persidangan permohonan yang diajukan Farhat, Hakim Konstitusi Akil Mochtar sempat menanyakan Pasal 184 ayat (3) UU MD3. “Dalam UU yang anda cantumkan dalam permohonan, tidak ada ayat (3). Dari ayat (2) langsung loncat ke ayat (4),” ujarnya.

 

Ketentuan yang diuji memang ayat (4), tetapi ini akan berpengaruh karena tak ada ketentuan ayat (3). “Jangan-jangan ayat (4) ini sebenarnya ayat (3) yang hilang itu,” tuturnya. Bila hal itu benar terjadi, tentu objek pengujian akan salah. Akil meminta pemohon menjelaskan darimana memperoleh UU MD3 tanpa ayat (3).

 

Farhat mengaku memperoleh UU MD3 itu secara resmi dari Sekretariat Negara (Setneg). “Kami dapat dari Setneg. Memang tak ada ayat (3) dalam Pasal 184,” tegasnya. Ia mengatakan posisi ketentuan yang diujinya memang berada di Pasal 184 ayat (4). Berdasarkan penelusuran hukumonline, di situs resmi Setneg memang ada kejanggalan tersebut. Setelah Pasal 184 ayat (2), ketentuannya langsung lompat ke Pasal 184 ayat (4).

Tags: