Hak Kunjung dalam Perkawinan Campuran, Begini Penjelasan Ahli Hukum
Utama

Hak Kunjung dalam Perkawinan Campuran, Begini Penjelasan Ahli Hukum

Sudah waktunya Indonesia menjadi negara peserta The Hague Child Abduction Convention 1980.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hak asuh anak dalam perkawinan campuran. Ilustrator: BAS
Ilustrasi hak asuh anak dalam perkawinan campuran. Ilustrator: BAS

Hak mengunjungi anak menjadi salah satu persoalan yang sering muncul ketika terjadi perceraian suami-isteri. Persoalan berpotensi semakin rumit jika pasangan suami-isteri berasal dari negara berbeda dan setelah perceraian satu sama lain terpisah jarak yang jauh. Apakah pasangan itu punya hak mengunjungi anak mereka yang diasuh salah satu, suami atau isteri? Bagaimana jika salah satu pasangan secara diam-diam membawa anak mereka kembali ke negara asal?

Pertanyaan inilah yang antara lain mengemuka dalam diskusi ‘Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Campuran’ di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (16/10). Sebuah kisah tentang pria asal Indonesia yang menikahi perempuan Jerman bisa dijadikan contoh. Hubungan pelaku perkawinan campuran itu merenggang, hingga akhirnya terjadi peristiwa. Sang suami membawa kedua anaknya kembali ke Indonsia. Di Indonesia, sang suami mengajukan permohonan perceraian ke PN Jakarta Selatan. Ia juga meminta agar pengadilan menetapkan kedua anaknya adalah Warga Negara Indonesia.

Sebaliknya, sang isteri berjuang di pengadilan Jerman. Pengadilan Jerman memberikan hak asuh sementara atas anak kepada sang isteri. Dalam jawabannya ke PN Jakarta Selatan, sang isteri juga meminta agar kedua anak mereka dikembalikan ke Jerman. Persoalannya, sesuai Pasal 436 RV (Reglement of de Rechtsvordering), putusan hakim asing tidak dapat langsung dilaksanakan di Indonesia. Lalu, apakah hakim hanya bisa menggunakan hukum Indonesia sebagai dasar putusan?

Praktisi hukum yang juga Ketua Advokasi Masyarakat Perkawinan Campuran, Ike Farida mengatakan, banyak persoalan hukum yang dihadapi pasangan yang memutuskan untuk melangsungkan perkawinan campuran. “Masalahnya seperti perkawinan, kewarganegaraan, administrasi kependudukan, hingga ketenagakerjaan,” ujarnya saat tampil dalam diskusi itu.

(Baca juga: Mekanisme Adopsi Anak oleh Pasangan Perkawinan Campuran).

Hak asuh anak sering jadi persoalan pelik dalam perkawinan campuran. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya hubungan pernikahan kedua orang tua menimbulkan konsekuensi pemeliharaan anak dan penguasaan anak. Agak berbeda dengan ketentuan Burgerlijk Wetboek yang memiliki konsep kekuasaan wali yang dipegang oleh salah satu orang tua.

Sesuai konsep dasar pengasuhan anak, kewajiban orang tua untuk melakukan pengasuhan semata-mata untuk memenuhi kepentingan anak. Jika suatu hari terjadi perselisihan antara kedua orang tua mengenai penguasaan anak, pengadilan yang akan memberikan keputusan terkait hak asuh anak ada pada bapak atau ibu. Dalam perkawinan campuran, hak kunjung terhadap anak menjadi persoalan yang semakin kompleks mengingat tempat tinggal kedua orang tua yang berjauhan karena beda negara.

Cuma, UU Perkawinan tidak mengatur hak kunjung (access rights) orang tua. “Tidak ada ketentuan tentang hak kunjung untuk orang tua yang tidak memperoleh hak asuh terhadap si anak,” ujar Guru Besar Hukum antar Tata Hukum FH-UI, Zulfa Djoko Basuki.

Zulfa menjelaskan hak asuh anak pasca perceraian merupakan persoalan yang paling alot dalam konteks perceraian pasangan campuran. Dalam kontek hukum antara tata hukum di dunia internasional, ada The Hague Child Abduction Convention 1980. Secara khusus, instrumen ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh yang membahayakan karena pemindahan dan penguasaan atas mereka secara melawan hukum (wrongfully removed or retained) yang mana melewati batas negara.

Dalam hal ini, The Hague Child Abduction Convention berfungsi untuk menjamin pengembalian dengan segera, anak yg dipindahkan ke atau dikuasai secara melawan hukum di dalam suatu negara peserta ke negara di mana anak itu berasal (habitual residence). “(Pengembalian dengan segera) dalam waktu satu tahun dari tanggal ia dipindahkan atau dikuasai secara melawan hukum kecuali,” jelas Zulfa.

(Baca juga: Hak Anak dari Perkawinan Campuran untuk Memiliki Rumah).

The Hague Child Abduction Convention juga menjamin hak pemeliharaan (Right of Custody) dan Hak Kunjung (Rights of Acces) yang diberikan berdasarkan hukum salah satu negara peserta, dan negara lain dapat mengakuinya.

Berdasarkan instrumen internasional ini, pemindahan atau penguasaan anak disebut melawan hukum jika ada pelanggaran hak pemeliharaan anak yang berada pada seseorang, suatu institusi atau badan lain, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri. Baik berdasarkan hak yang berlaku di negara di mana si anak mempunyai tempat kediaman sehari-hari (habitual residence) sebelum terjadinya pemindahan dan penguasaan yang melawan hukum tersebut.

Dalam implementasinya, setiap negara  peserta The Hague Child Abduction Convention wajib menunjuk suatu institusi sebagai Central Authority (CA). CA inilah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya pengembalian anak ke habitual residence.  Untuk negara federal atau negara yang memiliki lebih dari satu sistem hukum nasional, boleh memiliki lebih dari satu CA. Nantinya, CA dari negara-negara peserta harus saling bekerjasama untuk menjamin pengembalian anak ke negara habitual residence-nyadengan segera.

Perbandingan Ketentuan Indonesia dengan The Hague Convention

Perihal

Pengaturan Indonesia

The Hague Convention

Hak Asuh

Anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.

Dalam hal anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya WNI, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya. 

(Ps 29 ayat (2), (3) UU 35/2004 ttg Perlindungan Anak)

Hak Asuh timbul berdasarkan hukum atau putusan pengadilan atau sebagai akibat hukum dari perjanjian (Pasal 3 ayat (2))

Pemindahan atau Penahanan (parental abduction)

Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. (Ps 330 ayat (1) KUHP)

“Pemindahan atau Penahanan anak tidak sah apabila:

Melanggar hak asuh anak berdasarkan Negara dimana anak tersebut biasa menetap.

Pada saat terjadi pemindahan atau penahanan, baik sendiri maupun bersama-sama.”

(Pasal 3)

Meskipun The Hague Child Abduction Convention sudah lama ditandatangani (1980), hingga saat ini Indonesia belum menjadi bagian dari negara peserta konvensi ini. Menurut Zulfa D. Basuki, Indonesia sudah seharusnya menjadi bagian dari peserta konvensi ini mengingat banyaknya warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran. “Sudah waktunya Indonesia menjadi negara peserta dari Konvensi 1980 ini,” harapnya.

Sebelum menjadi negara peserta, Indonesia perlu mempersiapkan sejumlah hal agar sama dengan negara peserta lain. Perlu terlebih dahulu CA dan menentukan instansi mana yg berwenang. Indonesia juga harus segera membuat pengaturan mengenai hak kunjung sesuai dengan isi Konvensi; adanya koordinasi yang baik antar Kementerian, atau antar institusi terkait di wilayah Indonesia. Hal lain yang harus dipersiapkan adalah kemampuan untuk mencegah terjadinya kriminalisasi atas kasus-kasus child abduction.

Hal yang juga penting adalah meningkatkan pengetahuan para hakim, ahli hukum dan instansi terkait, berkenaan dengan masalah child abduction; terakhir, perlu penyesuaian pengaturan ketentuan mengenai hak asuh dan definisi pemindahan atau penahanan anak.

Tags:

Berita Terkait