Rencana penghilangan hak kreditur dalam mengajukan PKPU oleh Tim Perancang Naskah Akademik Revisi UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), masih menyisakan pro dan kontra antar pakar dan pengamat. Rencana kebijakan ini masih dalam tahap pengkajian oleh tim BPHN, AHU dan tim pakar Universitas Indonesia ini ditargetkan rampung September mendatang.
Sekjen Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI), Imran Nating, menyebut di satu sisi alasan kreditur mengajukan PKPU bisa jadi karena ia tidak menginginkan debitur pailit, tetapi menginginkan debitur melakukan restrukturisasi. Untuk itu bilamana kreditur tidak bisa mengajukan PKPU, bagaimana mungkin kreditur dapat memaksa debitur untuk melakukan restrukturisasi?
Pertanyaan tersebut bisa dibantah, kata Imran, mengingat debitur tetap akan diberikan kesempatan PKPU setelah melalui proses pengajuan pailit oleh kreditur terlebih dahulu. Adapun alasan di balik menguatnya keinginan stakeholders agar kreditur tidak lagi diberi kewenangan PKPU, sambung Imran, karena sebagian praktisi di lapangan melihat potensi besar penyalahgunaan hak PKPU oleh kreditur untuk mematikan debitur.
“Sementara konsekuensinya, PKPU tidak ada upaya hukum, beda dengan pailit yang ada upaya kasasi dan peninjauan kembali (PK). Bahkan proses persidangan PKPU lebih cepat hanya 20 hari, sedangkan pailit prosesnya 60 hari. Jadi memang kalo kreditur berniat buruk mematikan debitur, cara PKPU ini adalah yang paling ampuh,” tukas Imran kepada hukumonline, Jumat, (13/7).
Pasal 8
Pasal 225
|
Pengacara kenamaan di bidang kepailitan, Ricardo Simanjuntak, menjelaskan pada saat berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, konsep yang diadopsi memang hanyalah debitur yang dapat mengajukan PKPU, namun ketentuan itu direvisi dalam pasal 222 ayat (1) dan (3) UU No. 37/2004 dengan menambahkan hak kreditur mengajukan PKPU untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian terkait tawaran pembayaran sebagian atau seluruh hutangnya kepada kreditur.
Pasal 222
|