Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code
Berita

Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code

Hak kreditur mengajukan pailit dipandang sebagai buah atas ketidaktuntasan pengkajian chapter 11 US bankcruptcy code, sehingga PKPU dapat dikatakan sebagai cara terampuh untuk mematikan debitur. Dipihak lain, pailit harus dijadikan upaya ultimate remidium, setelah sebelumnya diberi kesempatan Restrukturisasi.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Rencana penghilangan hak kreditur dalam mengajukan PKPU oleh Tim Perancang Naskah Akademik Revisi UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), masih menyisakan pro dan kontra antar pakar dan pengamat. Rencana kebijakan ini masih dalam tahap pengkajian oleh tim BPHN, AHU dan tim pakar Universitas Indonesia ini ditargetkan rampung September mendatang.

 

Sekjen Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI), Imran Nating, menyebut di satu sisi alasan kreditur mengajukan PKPU bisa jadi karena ia tidak menginginkan debitur pailit, tetapi menginginkan debitur melakukan restrukturisasi. Untuk itu bilamana kreditur tidak bisa mengajukan PKPU, bagaimana mungkin kreditur dapat memaksa debitur untuk melakukan restrukturisasi?

 

Pertanyaan tersebut bisa dibantah, kata Imran, mengingat debitur tetap akan diberikan kesempatan PKPU setelah melalui proses pengajuan pailit oleh kreditur terlebih dahulu. Adapun alasan di balik menguatnya keinginan stakeholders agar kreditur tidak lagi diberi kewenangan PKPU, sambung Imran, karena sebagian praktisi di lapangan melihat potensi besar penyalahgunaan hak PKPU oleh kreditur untuk mematikan debitur.

 

“Sementara konsekuensinya, PKPU tidak ada upaya hukum, beda dengan pailit yang ada upaya kasasi dan peninjauan kembali (PK). Bahkan proses persidangan PKPU lebih cepat hanya 20 hari, sedangkan pailit prosesnya 60 hari. Jadi memang kalo kreditur berniat buruk mematikan debitur, cara PKPU ini adalah yang paling ampuh,” tukas Imran kepada hukumonline, Jumat, (13/7).

 

Pasal 8

  1. Putusan Pengadilan atas Permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh hari) setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan

Pasal 225

  1. Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor menguru harta Debitor.

 

Pengacara kenamaan di bidang kepailitan, Ricardo Simanjuntak, menjelaskan pada saat berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, konsep yang diadopsi memang hanyalah debitur yang dapat mengajukan PKPU, namun ketentuan itu direvisi dalam pasal 222 ayat (1) dan (3) UU No. 37/2004 dengan menambahkan hak kreditur mengajukan PKPU untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian terkait tawaran pembayaran sebagian atau seluruh hutangnya kepada kreditur.

 

Pasal 222

  1. Penundaan kewajiban pembayaran utang diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditor atau oleh kreditor.
  1. Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.

 

Penambahan hak kreditur dalam mengajukan PKPU dalam proses revisi UU No. 4/1998 dipandang Ricardo sebagai buah dari ketidaktuntasan pengkajian soal kehendak untuk mengadopsi konsep yang dianut dalam Chapter 11 US Bankcruptcy code. Padahal, kata Ricardo, lebih dari 90% chapter 11 itu pengajuan PKPU-nya dilakukan oleh debitur.

 

(Baca Juga: Serah Terima Unit Apartemen ‘Molor’, Konsumen Ajukan PKPU)

 

Adapun terkait kreditur yang mengajukan usulan restrukturisasi dalam mekanisme chapter 11 di AS, jelas Ricardo, adalah kreditur yang betul-betul berada dalam posisi yang aktif untuk mendukung restrukturisasi. Bahkan jika kreditur sudah melihat tidak ada lagi potensi debitur bisa direstrukturisasi, maka kreditur tidak akan maju menggunakan chapter 11, tetapi menggunakan mekanisme likuidasi dalam chapter 7.

 

“Sangat berbeda dengan kreditur dalam mengajukan PKPU di Indonesia, di atas kertas seolah-olah ia pro-restrukturisasi, pura-pura permohonan PKPU, tapi saat voting kreditur itu juga menolak, terbukti track record kepailitan di Indonesia saat ini paling banyak diajukan melalui PKPU,” jelas Ricardo kepada hukumonline, Jum’at, (13/7).

 

Terlebih lagi, sambung Ricardo, kreditur yang memiliki posisi mayoritas seringkali menggunakan pasal 222 ayat (3) ini sebagai jalan pintas untuk mempailitkan debitur. Sementara jika suatu perkara PKPU sudah diputus oleh pengadilan maka tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh, tidak bisa kasasi, tidak bisa pula Peninjauan Kembali (PK), hasil dari keputusan PKPU itu akan langsung insolvensi.

 

“Jadi kalau sudah dinyatakan insolven tidak perlu lagi lama-lama, tak perlu kasasi, tak perlu lagi PK, kalau udah diputus PKPU dan PKPU-nya gagal, kan tak ada upaya hukum lagi, artinya sudah final,” terang Ricardo.

 

Lantas, kata Ricardo, apakah karena Indonesia sangat pro restrukturisasi yang mengakibatkan permohonan pailit lebih didominasi oleh PKPU? Jawabannya jelas tidak. Justru menurut Ricardo, dominasi perkara PKPU ini merupakan konsekuensi dari pemberlakuan pasal 229 ayat (3) UU PKPU, di mana jika kreditur mengajukan permohonan pailit dan secara bersamaan terhadap permohonan pailit itu diajukan PKPU, maka pemeriksaan atas perkara PKPU akan didahulukan dan permohonan pailit tadi akan ditunda.

 

Pasal 229

  1. Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.
  1. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap debitor, agar dapat diputus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.

 

Buntut insolvensi yang dihasilkan karena iktikad buruk kreditur untuk mempailitkan debitur dengan cara yang lebih cepat, kata Ricardo, jelas menabrak fungsi utama pemberlakukan PKPU yakni memberi kesempatan debitur untuk melakukan restrukturisasi. Padahal, kata Ricardo, sekalipun debitur memang sudah tidak mampu lagi, tetapi ia meyakini bahwa ketidakmampuannya itu bersifat temporer, di situ seharusnya ia bisa meminta waktu kepada kreditur untuk melakukan restrukturisasi.

 

“Sebaliknya, fakta yang terjadi di lapangan, kreditur berfikir daripada dia mengajukan pailit kemudian pihak yang diajukan pailit (debitur) mengajukan PKPU, lebih baik dia berpikir langsung ajukan PKPU saja, ujungnya juga akan pailit,” ungkap Ricardo.

 

(Baca Juga: DPR Curiga PKPU First Travel ‘Diboncengi’ Oknum Jamaah Agar Berakhir Pailit)

 

Ricardo mengusulkan, agar ke depan permohonan PKPU itu sebaiknya hanya dilakukan oleh debitur. Kalaupun seandainya kreditur masih tetap diperbolehkan, maka kreditur itulah yang harus dibebankan untuk membuktikan di hadapan pengadilan bahwa dia juga meyakini debitur yang akan dia PKPU-kan tersebut masih layak direstrukturisasi. Sehingga ketika kreditur nantinya tidak meyakini bahwa debitur mampu melakukan restrukturisasi untuk melunasi utangnya, kreditur tidak lagi mengajukan PKPU, melainkan yang ia ajukan adalah permohonan pailit.

 

Guru Besar Hukum Bisnis UNAIR, Sutan Remi Sjahdeni justru berpendapat bahwa hak untuk mengajukan PKPU harus dimiliki oleh kedua-duanya, baik oleh debitur maupun kreditur. Sutan Remi juga mengungkapkan praktik saat ia dulu masih menjadi bankir, katanya, kepada debitur yang beriktikad baik dan masih mempunyai prospek bisnis yang baik, justru bank yang menawarkan kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi.

 

“Ini semua bersangkutan dengan keinginan bank sebagai kreditur agar memiliki hubungan yang berlangsung lama dengan debitur. Itulah mengapa pentingnya jiwa nasionalisme bahwa hubungan usaha yang baik itu hendaknya dipelihara, jangan malah dimatikan,” pungkas Sutan Remi kepada hukumonline, Senin, (16/07).

 

Persoalan dalam praktik di lapangan seringkali terjadi penyelewengan, kata Sutan Remi, artinya yang salah bukan sistemnya melainkan oknumnya. Jadi harus dibedakan antara kondisi kreditur tidak mau membayar utang (willingness to repay) dengan kondisi tidak bisa membayar (ability to repay). Willingness itu berkaitan dengan watak atau karakter dia yang tidak mau membayar, sementara ability berkaitan dengan ketidakmampuan dia membayar yang dilandas oleh beberapa penyebab.

 

“Kalau ketidakbisaannya membayar utang karena hal-hal yang sifatnya jangka pendek, dan dia masih punya kesempatan untuk memperbaiki itu, saya tidak setuju jika kesempatan mengajukan PKPU tidak diberikan kepada kreditur,” jelas Sutan Remi.

 

Dalam penjelasannya, Sutan remi juga menegaskan bahwa kepailitan jangan sampai menjadi upaya primum remidium, melainkan harus menjadi upaya ultimate remidium. Untuk itu harus diberi kesempatan restrukturisasi dulu melalui PKPU, kata Sutan Remi, bila perundingannya gagal atau gagal di tengah jalan saat melakukan restrurisasi barulah kemudian upaya pailit dilakukan.

 

“Di AS yang diatur dalam chapter 11 itu, tidak langsung upaya yang dilakukan bankcruptcy, tapi reorganisasi dulu, negara-negara lain juga banyak yang menganut itu, jangan sampai Indonesia malah mundur ke UU Kepailitan yang tahun 98,” tukas Sutan Remi.

 

Tags:

Berita Terkait