Koreksi terhadap Berita di Hukum Online “Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan” pada tanggal 28 Agustus 2014 oleh Hasyry Agustin.
Sebagai pemohon dari judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, kami ingin menggunakan hak koreksi kami untuk memperbaiki beberapa hal dari berita tersebut:
1. Judul.
Judul ini seolah-olah mengasumsikan bahwa saat ini, menurut Undang-Undang Perkawinan, perkawinan beda agama adalah suatu hal yang dilarang. Hal ini akan menimbulkan suatu kesalahan berpikir karena sesungguhnya Undang-Undang Perkawinan tidak melarang ataupun tidak membolehkan perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang a quo menyerahkan keabsahan perkawinan kepada agama dan kepercayaan dimana dalam agama dan kepercayaan itu terdapat pelbagai penafsiran tentang kebolehan melangsungkan perkawinan beda agama. Keberadaan pelbagai penafsiran ini menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, sudah seharusnya judul berita ini diganti.
2. Paragraf pertama dari berita tersebut menyatakan “Secara spesifik mereka meminta tafsir atas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, sehingga tidak ada hambatan bagi siapapun untuk melakukan kawin beda agama”.
Kalimat ini merupakan suatu kekeliruan karena sesungguhnya yang dimintakan oleh para pemohon adalah “menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga keabsahan perkawinan tidak lagi digantungkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan.”
3. Paragraf kedua dari berita tersebut menyatakan “,..meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memberi tafsir Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Mereka melihat selama ini masih terjadi multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. MK sudah mengagendakan atas perkara ini pada 4 September mendatang.”
Sekali lagi, yang dimintakan oleh para pemohon adalah “,..meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.” bukan meminta MK untuk menafsirkan Pasal a quo.
Para pemohon “melihat bahwa norma dalam Pasal ini multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. MK sudah mengagendakan sidang atas perkara ini pada 4 September mendatang.”
4. Beberapa pernyatan dari Narasumber (Rangga Sujud Widigda), yaitu:
a. “Kami tidak cuma mempermasalahkan multitafsir. Kami juga ingin meminta kepastian, namun kepastian yang membolehkan.”
Bahwa pernyataan ini merupakan suatu pernyataan yang ambigu yang sekali lagi kembali pada premis bahwa saat ini perkawinan beda agama dilarang dalam Undang-Undang
Perkawinan padahal Undang-Undang tersebut tidak memberikan kejelasan terhadap kebolehan perkawinan beda agama. Pernyataan ini seharusnya menjadi:
“Kami tidak cuma mempermasalahkan multitafsir. Kami juga ingin meminta kepastian akan pemenuhan hak konstitusional kita yang terlanggar.”
b. “Menurut Rangga, hak beragama adalah hak yang paling privat, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan, dan termasuk salah satu hak yang tidak bisa dicabut dalam keadaan apapun (non derogable right).”
Bahwa narasumber tidak pernah menyatakan secara eksplisit kalimat “dan termasuk salah satu hak yang tidak bisa dicabut dalam keadaan apapun (non derogable right).” Oleh karena itu, mohon diperbaiki pernyataan tersebut agar sesuai dengan wawancara yang telah dilakukan.
5. Beberapa kesalahan ketik dan terminologi:
a. Paragraf 1, “alumnius” seharusnya “alumnus”.
b. Paragraf 2, “Lutfi Sahputra” seharusnya “Luthfi Sahputra”.
c. Konsistensi penggunaan kata “kawin” dalam artikel.
d. “Para pelaku kawin beda agama” seharusnya “orang-orang yang melangsungkan perkawinan beda agama” karena dengan menggunakan “para pelaku” hal tersebut memberi kesan bahwa mereka melakukan suatu tindak kriminal padahal tidak.
Demikian koreksi dari kami.
Salam hormat,
DAMIAN AGATA YUVENS
RANGGA SUJUD WIDIGDA
VARIDA MEGAWATI SIMARMATA
ANBAR JAYADI
LUTHFI SAHPUTRA
Untuk melihat dokumen asli "Hak Koreksi", silakan klik di sini.