Hak Koreksi atas Berita “Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan”
Surat Pembaca

Hak Koreksi atas Berita “Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan”

RED
Bacaan 2 Menit
Hak Koreksi atas Berita “Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan”
Hukumonline

Koreksi terhadap Berita di Hukum Online “Mahasiswa FH Ingin Kawin Beda Agama Dilegalkan” pada tanggal 28 Agustus 2014 oleh Hasyry Agustin.

Sebagai pemohon dari judicial  review  terhadap  Pasal  2  ayat  (1)  Undang-Undang  Perkawinan, kami ingin menggunakan hak koreksi kami untuk memperbaiki beberapa hal dari berita tersebut:

1. Judul.

Judul ini seolah-olah mengasumsikan bahwa saat ini, menurut Undang-Undang Perkawinan, perkawinan  beda  agama  adalah  suatu  hal  yang  dilarang.  Hal  ini  akan  menimbulkan  suatu kesalahan  berpikir  karena  sesungguhnya  Undang-Undang  Perkawinan  tidak  melarang ataupun tidak membolehkan perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang a quo menyerahkan keabsahan perkawinan kepada agama dan kepercayaan dimana dalam agama dan kepercayaan  itu  terdapat  pelbagai  penafsiran  tentang  kebolehan melangsungkan perkawinan  beda  agama. Keberadaan  pelbagai  penafsiran  ini  menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, sudah seharusnya judul berita ini diganti.

2. Paragraf  pertama  dari  berita  tersebut  menyatakan  “Secara  spesifik  mereka  meminta tafsir atas Pasal 2 ayat  (1)  Undang-Undang  Perkawinan,  sehingga  tidak  ada  hambatan  bagi siapapun untuk melakukan kawin beda agama”.

Kalimat  ini  merupakan  suatu  kekeliruan  karena  sesungguhnya  yang  dimintakan  oleh  para pemohon  adalah  “menyatakan  Pasal  2  ayat  (1)  Undang-Undang  Perkawinan  tidak  memiliki kekuatan  hukum  yang  mengikat  sehingga  keabsahan  perkawinan  tidak  lagi  digantungkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan.”

3. Paragraf  kedua  dari  berita  tersebut  menyatakan  “,..meminta  Mahkamah  Konstitusi  (MK) memberi tafsir Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Mereka melihat selama ini masih terjadi multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. MK sudah mengagendakan atas perkara ini pada 4 September mendatang.”

Sekali  lagi, yang dimintakan  oleh  para  pemohon  adalah  “,..meminta  Mahkamah  Konstitusi untuk  menyatakan  Pasal  2  ayat  (1)  Undang-Undang  Perkawinan  tidak  memiliki  kekuatan hukum yang mengikat.” bukan meminta MK untuk menafsirkan Pasal a quo.

Para pemohon “melihat bahwa norma dalam Pasal ini multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. MK sudah mengagendakan sidang atas perkara ini pada 4 September mendatang.”

4. Beberapa pernyatan dari Narasumber (Rangga Sujud Widigda), yaitu:

a. “Kami tidak cuma mempermasalahkan multitafsir. Kami  juga  ingin  meminta  kepastian, namun kepastian yang membolehkan.”

Bahwa pernyataan ini merupakan suatu pernyataan yang ambigu yang sekali lagi kembali pada  premis  bahwa  saat  ini  perkawinan  beda  agama  dilarang  dalam  Undang-Undang

Perkawinan  padahal  Undang-Undang  tersebut  tidak  memberikan  kejelasan  terhadap kebolehan perkawinan beda agama. Pernyataan ini seharusnya menjadi:

“Kami  tidak  cuma  mempermasalahkan  multitafsir.  Kami  juga  ingin  meminta  kepastian akan pemenuhan hak konstitusional kita yang terlanggar.”

b. “Menurut  Rangga,  hak  beragama  adalah  hak  yang  paling  privat,  pelaksanaannya  tidak dapat dipaksakan, dan  termasuk  salah  satu  hak  yang  tidak bisa  dicabut dalam  keadaan apapun (non derogable right).”

Bahwa  narasumber  tidak  pernah  menyatakan  secara  eksplisit  kalimat  “dan  termasuk salah satu hak yang  tidak  bisa  dicabut  dalam  keadaan  apapun  (non  derogable  right).” Oleh  karena  itu,  mohon  diperbaiki  pernyataan  tersebut  agar sesuai dengan wawancara yang telah dilakukan.

5. Beberapa kesalahan ketik dan terminologi:

a. Paragraf 1, “alumnius” seharusnya “alumnus”.

b. Paragraf 2, “Lutfi Sahputra” seharusnya “Luthfi Sahputra”.

c. Konsistensi penggunaan kata “kawin” dalam artikel.

d. “Para pelaku kawin beda agama” seharusnya “orang-orang  yang  melangsungkan perkawinan  beda  agama”  karena  dengan  menggunakan  “para  pelaku”  hal  tersebut memberi kesan bahwa mereka melakukan suatu tindak kriminal padahal tidak.

Demikian koreksi dari kami.

Salam hormat,

DAMIAN AGATA YUVENS

RANGGA SUJUD WIDIGDA

VARIDA MEGAWATI SIMARMATA

ANBAR JAYADI

LUTHFI SAHPUTRA

Untuk melihat dokumen asli "Hak Koreksi", silakan klik di sini.

Tags: