Hak Cuti Haid yang Kerap Dirampas Perusahaan dari Perempuan
Kolom

Hak Cuti Haid yang Kerap Dirampas Perusahaan dari Perempuan

Perusahaan berdalih menggunakan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bahwa cuti haid diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pekerja perempuan kerap dipersulit mendapatkan hak dasarnya.

Bacaan 4 Menit
Tia Monica Sihotang. Foto: Istimewa
Tia Monica Sihotang. Foto: Istimewa

Persoalan kesetaraan gender memang masih belum kelihatan jelas ujung muaranya. Perempuan dalam sektor profesional masih jauh dari kata sejahtera. Kesempatan perempuan mendapatkan kesempatan kerja memang sudah lebih baik, namun hak-hak dasar pekerja perempuan masih belum seutuhnya diterima.

Tidak disangkal bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai keadaan biologis yang berbeda. Perempuan secara bawaan umumnya mengalami menstruasi setiap bulan. Menstruasi pada perempuan datang dengan gejala yang tidak mengenakkan seperti payudara nyeri dan kencang, kram perut, sembelit atau diare, perut kembung, sakit kepala, badan serta suasana hati yang sensitif, dan masih banyak lainnya.

Baca juga:

Gejala serta intensitas yang dirasakan perempuan ketika menstruasi berbeda-beda. Beberapa perempuan tidak mengalami rasa sakit, ada yang hanya merasa sakit sedikit, ada pula yang mengalami gejala parah sampai pingsan. Tentu gejala dan rasa sakit yang dihadapi perempuan mengganggu sebagian besar aktivitasnya termasuk bekerja. Hal ini diketahui dan dihormati oleh negara, terbukti dengan diberikannya fasilitas aturan cuti haid bagi pekerja perempuan.

Aturan mengenai cuti haid tercantum dalam Pasal 81 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”. Lebih dari dua puluh tahun aturan cuti haid berlaku, ironis bahwa sampai sekarang persoalan haid masih tabu di sebagian besar lingkup profesional.

Eksistensi dari pada cuti haid masih menjadi pertanyaan besar. Penulis meyakini sebagian besar pekerja perempuan bahkan tidak mengetahui adanya hak inklusif yang diberikan negara ini. Padahal, cuti haid adalah bentuk pemenuhan hak-hak perempuan. Cuti haid dipandang sebagai isu yang kurang penting oleh serikat pekerja sehingga menjadi salah satu faktor kurang tersiarnya hak ini. Pemenuhan cuti haid sebagai hak dasar pekerja perempuan bukan topik utama advokasi serikat pekerja. Cuti haid dinilai tidak sejajar dengan isu-isu yang menjadi tuntutan utama serikat pekerja seperti upah rendah, ancaman PHK, kenaikan pajak, masuknya tenaga kerja asing, besaran jumlah pensiun, dan lainnya.

Minimnya perhatian terhadap isu cuti haid merembet pada kurangnya sosialisasi cuti haid pekerja perempuan yang seharusnya dilakukan tim SDM perusahaan. Inilah sebabnya pekerja perempuan semakin tidak tahu terhadap haknya. Masalah lain, para pekerja perempuan sudah mengetahui hak ini tapi enggan menggunakannya. Salah satu sebabnya adalah perusahaan sering menetapkan syarat pembuktian melalui surat keterangan dokter sebagai prosedur klaim cuti hadi.

Tags:

Berita Terkait