Hak Asasi Narapidana yang Terabaikan
Fokus

Hak Asasi Narapidana yang Terabaikan

Seusai LP Cipinang rusuh, Anton Medan dan sejumlah mantan narapidana (napi) berunjuk rasa menyuarakan apa yang mereka sebut hak-hak asasi narapidana. Memang, kerusuhan itu bukan semata-mata karena adanya putusan LP yang berniat memindahkan sejumlah narapidana ke LP Nusakambangan.

Fat/APr
Bacaan 2 Menit
Hak Asasi Narapidana yang Terabaikan
Hukumonline

Lebih dalam lagi, selama ini para narapidana telah dijejali dengan berbagai ketidak adilan dan pengingkaran hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Bagi mereka yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, masalah-masalah seputar pemenuhan hak-hak asasi napi ini menjadi begitu penting.

Kenyataannya, seorang narapidana tetaplah seorang manusia. Sekalipun misalnya, kejahatan yang telah dilakukannya membuatnya dikenal sebagai "monster" atau "robot". Sebagai manusia, ia tetap mempunyai hak-hak asasi tertentu yang akan terus melekat padanya selagi ia masih hidup.

Ketika ia diputus oleh pengadilan menjadi seorang terpidana dan didaftarkan ke LP sebagai narapidana, satu-satunya hak asasi yang dilepas dari dirinya adalah hak menentukan nasibnya sendiri.  Di sinilah sebenarnya inti dari pemenjaraan dan tindakan-tindakan lainnya yang bersifat memutus hubungan seseorang dengan dunia luar. Pelepasan hak itu dilakukan dengan cara merampas kemerdekaannya.

"Pemutusan" hubungan fisik dengan dunia luar ini saja sebenarnya sudah cukup menimbulkan penderitaan bagi si narapidana. Dari hari ke hari untuk sekian tahun, seorang narapidana dalam lingkungan tembok penjara akan menemui orang-orang yang sama, dalam lingkungan yang sama, dan suasana yang sama. Benar-benar menjemukan!

Namun kenyataannya, penderitaan para napi di Indonesia dan juga di banyak negara lain, tidak sampai di situ saja. Dari hari ke hari, mereka harus berjejal sepuluh atau lebih dalam sel berkapasitas dua orang dan mengisi perut dengan makanan kualitas gizi alakadarnya.

Kondisi yang demikian, lambat atau cepat, mampu menjerumuskan siapapun menjadi manusia tak berharkat. Dengan demikian, para napi setiap waktu dikondisikan rentan terhadap berbagai bentuk penganiayaan, penyiksaan, ataupun bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Ketentuan internasional

Haruskah perlakuan napi seburuk itu? Secara hukum internasional, standar perlakuan para napi ini diatur dalam setidaknya dua macam Konvensi. Hak seseorang untuk tidak dikenakan penganiayaan atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan harkatnya jelas termaktub dalam Pasal 7 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Hak ini ditegaskan kembali dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

Selain itu, Pasal 10 ayat (1) Konvensi Hak Sipil dan Politik secara lebih spesifik lagi menegaskan bahwa "Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati harkat yang melekat pada insan manusia."

Khusus bagi pemenuhan hak-hak asasi napi, sejak 1955 PBB telah mengeluarkan suatu Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana (selanjutnya disebut Standar Minimum-red). Sekalipun bukan merupakan konvensi, Standar Minimum ini merupakan panduan yang bersifat wajib dalam pembentukan konvensi berkaitan yang dapat mengikat secara hukum.

Dalam Standar Minimum itu disebutkan: "Tujuan dan pembenaran suatu hukuman pemenjaraan, atau upaya serupa yang sifatnya merampas kebebasan adalah akhirnya melindungi masyarakat dari kejahatan."

Lebih jauh dinyatakan bahwa: "Tujuan ini hanya dapat dicapai kalau jangka waktu pemenjaraan digunakan untuk menjamin, sejauh mungkin bahwa sekembalinya ke masyarakat pelaku pelanggaran itu tidak hanya mau, tetapi juga dapat menjadi seorang yang mematuhi hukum dan dapat hidup mandiri."

Dalam Pasal 10 ayat (2) Konvensi Hak Sipil dan Politik juga menegaskan bahwa, "Sistem pidana yang dipakai harus mencakup perlakuan terhadap narapidana, yang tujuan utamanya ialah perbaikan dari mereka dan rehabilitasi sosial& "

Dengan demikian, ada dua kondisi yang harus dipenuhi agar tujuan-tujuan dalam Standar Minimum dan Konvensi itu tercapai dengan baik. Pertama, pemenuhan hak-hak asasi narapidana.  Kedua, sistem pengaturan dan pemberdayaan lembaga pemasyarakatan itu sendiri, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kualitas aparat di lingkungan LP. Kedua kondisi ini dalam prakteknya saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Hak-hak napi di Indonesia

Di tingkat hukum nasional, hak-hak napi Indonesia disebutkan dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 UU tersebut menyebutkan sekurangnya empatbelas macam hak yang melekat pada seorang napi.

Hak-hak itu adalah: melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran;   mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; dan mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

Selain itu, juga ada hak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan mengenai ketentuan syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana itu dijanjikan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sekalipun demikian, penyebutan dalam Pasal 14 ini tidak terlalu terperinci seperti yang terdapat pada Standar Minimum. Dalam standar internasional itu, hak-hak seperti hak mendapat kunjungan dari keluarga  dan hak memperoleh bahan bacaaan serta siaran media lainnya, termasuk dalam satu kategori besar, yaitu hak untuk berhubungan dengan dunia luar.

Penyebutan langsung ke jenis hak seperti dalam Pasal 14 ini akhirnya cenderung menjadikan hak-hak lain terlupakan. Misalnya saja, dalam Standar Minimum, hak untuk berhubungan dengan dunia luar juga mencakup hak bagi narapidana berkewarganegaraan asing.

Hak narapidana warga negara asing ini mencakup hak untuk memperoleh berbagai fasilitas yang layak untuk berkomunikasi dengan perwakilan diplomatik atau perwakilan konsuler dari negaranya. Ternyata, hak-hak warga negara asing itu sama sekali tidak disebutkan dalam UU No. 12/1995 itu.

Selain hak bagi narapidana asing, hak-hak napi yang lain seperti hak untuk mendapatkan penyimpanan atas harta kekayaannya, hak untuk diberitahu mengenai kematian atau sakit keluarganya, serta hak untuk dilindungi dari penghinaan, keingintahuan dan publisitas dalam bentuk apapun ketika dipindahkan, sama sekali tidak disebutkan.

Sarat korupsi dan kolusi

Seperti juga pada banyak UU lainnya di Indonesia, efektivitas UU No. 12/1995 tersebut terbentur pada tahap implementasi. Batu-batu sandungan yang merintangi jalannya UU itu juga tak jauh dari isu korupsi dan kolusi yang memang mampu menjegal seberapa pun lengkap dan terperincinya hak-hak napi yang diatur dalam perundang-undangan formal.

Menurut penelitian Human Rights Watch, korupsi termasuk dalam jajaran masalah-masalah kronis yang melanda pemenuhan hak-hak asasi napi. Korupsi tidak hanya menggerogoti dana yang tersedia bagi pengembangan, perawatan dan penyediaan fasilitas pada sebuah LP, melainkan juga melumpuhkan birokrasi LP yang bertugas menjalankan sistem pengaturan dan pemberdayaan LP.

Hal ini juga bisa kita lihat di Indonesia. Maraknya praktek pemerasan yang dilakukan oleh aparat birokrasi LP, misalnya, sanggup merampas hak napi untuk memperoleh kunjungan keluarga. Ketidakmampuan para napi untuk "membayar" agar ditempatkan dalam sel yang lebih baik, akhirnya menjejal mereka bersepuluh dalam satu sel yang hanya berkapasitas lima orang.

Padahal, buntut dari overcrowding ini adalah kematian. Kematian datang menjemput seiring dengan buruknya nutrisi dan perawatan kesehatan, sehingga penyakit dengan cepat menyebar. Pemindahan semena-mena dengan alasan overcrowding, akhirnya juga menjadi pemantik api kerusuhan yang bisa mengakibatkan nyawa napi melayang.

Usaha PBB

Usaha-usaha perbaikan nasib para napi sejauh ini sebagian besar masih di tingkat internasional. Selama beberapa tahun terakhir, berbagai pihak di PBB berusaha menggolkan sebuah rancangan Konvensi yang akan disebut Optional Protocol to Convention Against Torture.

Konvensi ini ditujukan untuk membentuk sebuah subkomite di bawah Komite Menentang Penyiksaan yang mempunyai wewenang untuk melakukan kunjungan-kunjungan adhoc secara periodikal ke penjara-penjara di negara-negara peserta Konvensi.

Hasil dari kunjungan-kunjungan tersebut akan dituangkan dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi ke aparat pemerintahan yang berwenang.  Rekomendasi-rekomendasi itu tentunya mengenai perbaikan-perbaikan apa saja yang dapat dilakukan dan para aparat pemerintahan itu diharapkan menerapkan rekomendasi tersebut.

Sekalipun layak disebut sebagai usaha yang baik, tetapi tak urung persoalan-persoalan cukup besar yang menghadangnya sudah dapat dilihat. Misalnya saja, subkomite ini nanti tidak diperbolehkan mengumumkan atau menerbitkan hasil temuannya secara publik. Hal ini karena negara-negara pada umumnya masih memegang teguh rule of confidentiality.

Padahal, pengumuman atau penerbitan temuan secara publik akan sangat berguna  ketika aparat pemerintahan menolak untuk bekerja sama dengan subkomite atau menolak menerapkan rekomendasi-rekomendasi dari subkomite.

Usaha sendiri

Oleh karena itu, usaha-usaha pada tingkat nasional sebenarnya dapat lebih efektif memperbaiki kondisi LP pada umumnya dan pemenuhan hak-hak asasi napi pada khususnya. Pendekatan yang digunakan pun harus pendekatan yang sistematik, yaitu perbaikan-perbaikan terhadap sistem pidana di Indonesia.

Sebagai batu pijak awal, pengaturan hak-hak napi dalam perundang-undangan harus diatur secara lengkap dan terintegrasi dalam sistem pidana. Namun selain itu, aparat LP dan pihak-pihak terkait lainnya juga harus mendapatkan sosialisasi tentang perundang-undangan yang berlaku. Caranya, dengan tiada putus asa mengadakan pelatihan-pelatihan berkualitas yang dapat memberikan penjelasan kepada aparat LP tentang mengapa dan bagaimana hak-hak napi itu dipenuhi penikmatannya.

Perbaikan nasib napi tidak dapat hanya mengandalkan tata perundang-undangan formal. Peningkatan kesejahteraan napi harus diiringi dengan peningkatan kesejahteraan karyawan dan aparat LP. Sehingga, berbagai praktek pungli atau pemerasan dapat dikurangi kalau tidak dihilangkan.

Tentunya, peningkatan kesejahteraan ini tidak dapat berjalan sendiri. "Kendaraan" yang paling dapat diandalkan untuk menopang kesejahteraan ini adalah sistem pengawasan dan kontrol yang baik terhadap aparat. Hal-hal seperti penindakan tanpa pandang bulu terhadap aparat yang korup dan adanya kunjungan-kunjungan evaluasi ke LP secara berkala harus digiatkan.

Jika kita menginginkan masyarakat aman dari kejahatan, maka perbaikan nasib napi beserta segala haknya, adalah hal yang mutlak. Jika hak-hak mereka diperhatikan dengan baik, bukan mustahil mereka dapat berintegrasi kembali ke dalam masyarakat dengan damai.

 

Tags: