Guru Besar UGM Ini Sebut Bidang Pertanahan UU Cipta Kerja Sulit Mencapai Keadilan
Terbaru

Guru Besar UGM Ini Sebut Bidang Pertanahan UU Cipta Kerja Sulit Mencapai Keadilan

Karena mengutamakan kepentingan investasi dan abai terhadap kelompok rentan, seperti petani, masyarakat pendesaan, masyarakat hukum adat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Agraria FH UGM Prof Maria SW Sumardjono (kanan). Foto: RFQ
Guru Besar Hukum Agraria FH UGM Prof Maria SW Sumardjono (kanan). Foto: RFQ

Substansi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya masih mendapat sorotan kalangan masyarakat sipil termasuk akademisi. Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria SW Sumardjono menilai bidang pertanahan dalam UU Cipta Kerja tidak menjamin keadilan, malah semakin jauh dari upaya tercapainya keadilan sosial.

Sedikitnya ada 3 hal yang menjadi catatannya. Pertama, bias pada kepentingan investasi, misalnya memberi kemudahan untuk memperoleh tanah, perizinan berusaha/persetujuan, dan perolehan hak atas tanah. Bidang pertanahan UU Cipta Kerja memperluas jenis kegiatan kepentingan umum diarahkan untuk kepentingan berusaha.

Badan Bank Tanah dibentuk untuk memfasilitasi penyediaan tanah untuk investasi dan pembangunan infrastruktur. Jaminan perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah di atas hak pengelolaan (HPL) atas nama Badan Bank Tanah juga berpotensi melanggar Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 terkait jangka waktu hak atas tanah dan pemahaman “hak menguasai negara”.    

Selain itu, orang asing diberi ruang untuk memiliki sarusun/apartemen yang tanah bersamanya berstatus HGB dengan konstruksi hukum yang bertentangan dengan asas “strata title” yang berlaku universal dan keliru menerapkan asas pemisahan horizontal sesuai asas hukum tanah nasional.

Kemudian hak atas tanah di atas HPL dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Hak tanah yang hapus karena berbagai sebab dan menjadi tanah negara berpotensi menjadi aset Bank Tanah dengan dilekati HPL yang antara lain disediakan untuk kepentingan investasi.

“UU Cipta Kerja (dan peraturan turunannya) tidak menjamin (rasa, red) keadilan, semakin jauh dari upaya tercapainya keadilan sosial,” kata Prof Maria dalam webinar bertajuk “Pembangunan Hukum Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Pasca UU No.11 Tahun 2020, Senin (26/7/2021). (Baca Juga: Substansi UU Cipta Kerja Dinilai Anti Reforma Agraria)

Kedua, UU Cipta Kerja abai terhadap kepentingan kelompok rentan. Seperti, kelompok tani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan tidak diakomodasi kepentingannya. Misalnya, reforma agraria tidak dimasukan sebagai kegiatan yang masuk dalam kategori kepentingan umum. Tidak ada jaminan ketersediaan lahan pertanian sesuai amanat UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Belum lagi, tanah objek reforma agraria sebagaimana diatur Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria diambil alih menjadi aset Bank Tanah. Penyebutan reforma agraria dalam PP No.64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah juga kontraproduktif karena paradigma Bank Tanah dan Reforma Agraria berbeda.

Ketiga, pengakuan setengah hati terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hak Ulayat. Maria melihat tidak jelas alasan dan tujuan menetapkan HPL untuk MHA dan ini bertentangan dengan prinsip hak menguasai negara Pasal 2 dan Penjelasan Umum UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.  

UU Cipta Kerja dinilainya tidak menegaskan format penetapan pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat. Penetapan HPL atas tanah ulayat merupakan pengingkaran kewenangan Masyarakat Hukum Adat yang melekat pada hak ulayatnya sebagai suatu yang inheren. “Menyamakan Masyarakat Hukum Adat dengan instansi pemerintah dan subyek HPL lain merupakan kejanggalan,” tegas mantan Dekan Fakultas Hukum UGM dua periode (1991-1997) ini.      

Selain itu, Maria menilai UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya tidak menjamin kepastian hukum. Misalnya, pemberian HGU di atas HPL bertentangan dengan Pasal 2 jo Pasal 28 UU Pokok-Pokok Agraria. Perbedaan pengaturan rumah tempat tinggal/hunian bagi orang asing terkait jenis hunian (rumah tinggal atau rumah susun).

Pemilikan sarusun/apartemen untuk orang asing di atas tanah bersama yang berstatus HGB hanya berdasarkan pertimbangan kemudahan bisnis properti. Padahal ini melanggar UU Pokok-Pokok Agraria dan prinsip “strata title” yang universal.

UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya juga tidak menjamin keberlanjutan. Ada kemudahan alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian dengan mengubah ketentuan krusial UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dampak alih fungsi lahan pertanian yaitu terancamnya ketahanan pangan.

Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Prof Benny Rianto, mengatakan pembentukan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja merupakan inisiasi pemerintah. Presiden Jokowi menggulirkan ide pembentukan UU melalui metode omnibus law karena banyak UU yang harus direvisi. “Omnibus law menjadi pilihan untuk melakukan simplifikasi regulasi terkait kemudahan berusaha dan ketenagakerjaan,” kata Prof Benny dalam kesempatan yang sama.

Benny memaparkan awalnya omnibus law mau digulirkan melalui 2 RUU yakni Kebijakan Perpajakan dan UU Cipta Kerja. Tapi yang dipilih untuk didorong yakni RUU Cipta Kerja karena memprioritaskan pembangunan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, kemudahan investasi, dan menghilangkan ego sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam hal investasi.

“Kalau ada yang belum selaras itu wajar karena kita simplikasi menjadi satu UU. Jika dirasa kurang akomodatif, maka bisa direvisi melalui proses legislasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait