Guru Besar Hukum Minta Indonesia Keluar dari ICSID
Berita

Guru Besar Hukum Minta Indonesia Keluar dari ICSID

Yang harus diperbaiki adalah Bilateral Investment Agreement.

HRS
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Minta Indonesia Keluar dari ICSID
Hukumonline

Guru Besar Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Hikmahanto Juwana meminta pemerintah mempertimbangkan kembali dalam membuat investment agreement, khususnya Bilateral Investment Agreement (BIT).

Hikmahanto menilai pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia memang agresif untuk mengundang investor asing. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan agar investor asing tertarik berinvestasi di Indonesia. Dengan BIT, Indonesia meyakinkan investor asing bisa terhindar dari kekhawatiran seperti ekspropriasi, pembatasan pengiriman uang, dan pembatasan ruang gerak investor.

Kini, Hikmahanto mengajak pemerintah untuk berpikir ulang tentang BIT. Indonesia sekarang tidak sama dengan Indonesia di tahun 1960-an. Kini, tanpa pemanis pun, Indonesia diyakini dapat menarik investor asing untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Daya tarik yang utama bagi investor adalah pasar, dan Indonesia memiliki saya tarik itu.

“Jika pemerintah merasa investor asing mau menanamkan modalnya di Indonesia tanpa sweetener, sudah saatnya Indonesia mengakhiri segala macam Investment Agreement,” ucap Hikmahanto dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jumat (15/3).

Pemikiran ini bukannya tanpa alasan. Indonesia sering dirugikan dengan BIT tersebut. Contoh saja BIT antara Indonesia dengan Inggris. Dengan adanya BIT tersebut, investor Inggris diberikan berbagai fasilitas dan kemudahan dalam menanamkan modalnya di Indonesia, salah satunya adalah tidak dikenakan pembayaran pajak. Sementara itu, hampir tidak ada investor Indonesia yang berinvestasi di Inggris dan negara-negara maju lainnya.

Sebaliknya, ketika Indonesia hendak berinvestasi ke negara-negara lain yang cenderung melakukan ekspropriasi, pemerintah Indonesia justru tidak membuat BIT dalam rangka melindungi para investor Indonesia. Kendati demikian, jika Indonesia tetap ingin membuat BIT, pemerintah seharusnya membuat BIT ke negara-negara yang dikhawatirkan melakukan ekspropriasi dalam rangka melindungi para investor Indonesia, contohnya BIT antara Indonesia dengan Afghanistan.

Selain mengajak berpikir ulang untuk meneruskan BIT, Guru Besar Hukum Internasional ini juga mengimbau Indonesia keluar dari Internasional Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID). Soalnya, dalam lima tahun terakhir, Indonesia selalu dirugikan dengan tingkah para investor asing yang berada di Indonesia. Para investor tersebut selalu memanfaatkan ICSID ketika berperkara dengan Indonesia. Naasnya, Indonesia selalu kalah.

Belum lagi ketika sengketa tersebut terjadi antara investor asing dengan pemerintah daerah. Sementara itu, pemerintah pusat tidak lagi mempunyai kendali kuat terhadap pemerintah daerah. Padahal perbuatan pemerintah daerah akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dimata ICSID dan investor asing. Contohnya,kasus Churcill Miningdi mana Indonesia diminta membayar ganti rugi AS$2 miliar.

Meskipun misalnya Indonesia berada “di atas angin”, Hikmahanto mengatakan Indonesia akan tetap kalah. Ia mengkhawatirkan arbiter yang dipilih tidak sensitif terhadap kondisi negara berkembang seperti Indonesia. Arbiter yang terpilih terbiasa dengan kondisi negara mereka yang kebanyakan adalah negara-negara maju.

Kerugian lain bergabung dengan ICSID adalah biaya. Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat bersengketa di ICSID sangat besar, termasuk biaya pengacara yang digunakan pemerintah. Belum lagi ketika menanggung pembayaran ganti rugi ketika kalah. “Saya tidak rela uang APBN digunakan untuk itu,” kritiknya lagi.

Melihat kondisi ini, Hikmahanto mengharapkan pemerintah untuk melirik Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terjadi konflik antara investor asing dengan pemerintah Indonesia seperti layaknya investor-investor Indonesia. Penggunaan ranah PTUN karena ICSID tersebut pada dasarnya bukanlah arbitrase layaknya BANI atau badan arbitrase internasional lainnya karena pihak yang bersengketa adalah pemerintah dengan pengusaha.

“Sudah saatnya Indonesia keluar dari ICSID. Jangan merasa lemah  kalau investor asing tidak mau berinvestasi di Indonesia. Confident pemerintah itu yang kurang,” pungkasnya.

Tak setuju

Direktur Perjanjian Ekonomidan SosialBudaya,Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian InternasionalKementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani kurang sepakat dengan pemikiran Guru Besar FHUI ini. Menurutnya, Indonesia tidak perlu harus keluar dari ICSID.

Perkara Indonesia sering digugat dan kalah di ICSID bukanlah persoalan Indonesia menjadi anggota lembaga penyelesaian sengketa tersebut, melainkan karena BIT. BIT adalah landasan awal untuk berperkara di ICSID sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Konvensi ICSID, yaitu apabila dalam BIT tersebut para pihak setuju jika terjadi sengketa diselesaikan di ICSID, maka perkara itu diselesaikan di sana.

Poin yang harus diperhatikan, kata Jaelani, adalah klausul-klausul yang ada di BIT. Mulai dari pengaturan mengenai sektor-sektor mana yang harus dilindungi pemerintah hingga scope of investment-nya.“Jadi, bukan karena ICSID-nya, tetapi karena BIT-nya dan saya pikir kita masih perlu BIT,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait