Guru Besar FH UII: Proses Kebijakan Terbuka dan Partisipatif Ciri Pemerintahan yang Baik
Utama

Guru Besar FH UII: Proses Kebijakan Terbuka dan Partisipatif Ciri Pemerintahan yang Baik

Dengan membuka proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif, para pemangku kepentingan akan mudah memahami tindakan yang akan dilakukan pemeirntah, serta mudah mengetahui keinginan pemerintah dalam merancang kebijakan tertentu.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum UII Prof Ni’matul Huda dalam dalam webinar bertema 'Menguji Kredibilitas Lembaga Negara', Selasa (14/3/2023). Foto: Tangkapan Youtube PSHK UII
Guru Besar Fakultas Hukum UII Prof Ni’matul Huda dalam dalam webinar bertema 'Menguji Kredibilitas Lembaga Negara', Selasa (14/3/2023). Foto: Tangkapan Youtube PSHK UII

Pemerintah dan DPR kerap menerbitkan UU yang menuai polemik publik, misalnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK), RUU Mahkamah Konstitusi (RUU MK), RUU Minerba, UU Cipta Kerja, RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN), dan lainnya. Terakhir, polemik terbitnya Perppu No.1 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.   

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni’matul Huda menilai proses revisi dan penyusunan sejumlah regulasi itu dilakukan secara cepat dan minim memberi ruang publik untuk berpartisipasi untuk memberi masukan. Bahkan, belum 2 tahun berjalan berlakunya beberapa UU sudah direvisi seperti UU PPP, UU IKN, UU Cipta Kerja, dan UU MK.

Ia melihat proses pembentukan kebijakan yang begitu cepat itu makin menjadi polemik sejak terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pembangkangan Presiden RI terhadap Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Terbitnya Perppu tersebut yang merupakan hak subjektif Presiden dan proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik. Padahal, MK dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 itu memandatkan partisipasi publik secara bermakna.

“Perppu itu tidak tepat, lagi-lagi Presiden menunjukkan sikapnya mengabaikan partisipasi public (yang bermakna),” kata Prof Ni’matul Huda dalam webinar bertema “Menguji Kredibilitas Lembaga Negara”, Selasa (14/3/2023).

Baca Juga:

Prof Ni’matul menekankan proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif merupakan salah satu ciri penting tata pemerintahan yang baik. Dengan membuka proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif, para pemangku kepentingan akan mudah memahami tindakan yang akan dilakukan pemerintah, serta mudah mengetahui keinginan pemerintah dalam merancang kebijakan tertentu.

Selain itu, para pemangku kepentingan akan mudah untuk bersikap baik mendukung atau menolak kebijakan pemerintah. Pelibatan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan publik tak hanya membuat kebijakan publik lebih sesuai kebutuhan masyarakat, tapi juga membuat mereka ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaannnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen FH Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, mengatakan proses pembentukan UU yang dilakukan pemerintah dan DPR dalam beberapa waktu terakhir sangat mengkhawatirkan. Hal itu karena UU dibentuk tidak sesuai dengan tradisi pembentukan regulasi yang baik sebagaimana dijalankan selama ini.

Dampaknya, eksekutif dan legislatif tidak mampu menerjemahkan mandat konstitusi dalam UU yang dibentuknya. Untuk melihat kredibilitas pembentukan UU mengacu pada kualitas dari lembaga itu dan niat baik membentuk UU. “Hal itu bisa dilihat, misalnya apakah pembentukan UU sudah melalui prosedur yang benar atau tidak?”

Dosen FH Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa’at mengatakan untuk kekuasaan kehakiman setidaknya ada 2 hal yang utama dalam kehidupan bernegara yakni negara demokrasi dan negara hukum. Kedua prinsip itu diwujudkan dalam penyelenggaraan negara yang dibagi menjadi 3 cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dalam praktiknya kedua prinsip itu tidak selalu harmonis karena prinsip demokrasi basisnya kekuatan politik yang dimiliki untuk membuat kebijakan atau mempengaruhi keputusan. Manifestasi dari prinsip demokrasi adalah lembaga eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang dijalankan harus berpedoman kepada konstitusi dan hukum yang berlaku. Eksekutif dan legislatif berwenang membentuk hukum melalui sistem demokrasi.

“Secara alamiah eksekutif dan legislatif muncul dari aspek demokrasi, sehingga tidak mungkin independen dari kekuatan politik yang mendukung mereka,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Ali menyebut wujud paling utama dari prinsip negara hukum adalah lembaga yudikatif atau pengadilan. Dasar hakim untuk memutus perkara tak sekedar hukum yang dibuat dari proses demokrasi, tapi juga asas hukum yang diyakini kebenarannya dalam teori hukum. Salah satu karakter negara hukum yakni adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka. Lembaga yudikatif sebagai penyeimbang lembaga eksekutif dan legislatif yang cenderung terikat kelompok politik tertentu.

Tags:

Berita Terkait