Masyarakat hukum adat (MHA) sejatinya lebih dulu ada di tanah air sebelum terbentuk pemerintah republik Indonesia. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memandatkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam UU.
Sayangnya, sampai sekarang pemerintah dan DPR belum berhasil menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat. Padahal payung hukum itu penting sebagai acuan kebijakan terhadap MHA di Indonesia.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII), Prof Syamsudin sejak awal mengkritik penggunaan frasa ‘mengakui’ dan ‘menghormati’ sebagaimana Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Ketentuan itu lahir dari desakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada era reformasi 1998.
“Kalau cuma ‘mengakui’ dan ‘menghormati’ itu untuk apa?. Ini konsepnya tidak pas, yang penting itu ‘Melindungi’ sehingga in line alinea keempat pembukaan UUD,” katanya dalam diskusi yang diunggah di kanal video daring FH-UII, Kamis (28/03/2024) pekan kemarin.
Baca juga:
- Ini Alasan Pentingnya RUU Masyarakat Hukum Adat
- Penyebab RUU Masyarakat Hukum Adat Mangkrak di DPR
- Beragam Alasan Mendorong Berlakunya RUU Masyarakat Hukum Adat
Frasa ‘melindungi’ menurut Prof Syamsudin lebih tepat untuk MHA karena mereka sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Sementara konsep ‘mengakui’ atau pengakuan merupakan ide kolonial Belanda ketika berkuasa di Indonesia.
Yakni mengakui MHA sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Cara berpikir kolonial seperti itu tak perlu dipertahankan. Begitu halnya dengan RUU MHA, diharapkan tak lagi menggunakan istilah pengakuan tapi lebih pada perlindungan. “Jadi ini bahasa politis, kalau ‘melindungi’ kan ada konsekuensi hukumnya,” ujarnya.