Gumilar Disebut Korupsi Bersama-Sama Eks Warek UI
Berita

Gumilar Disebut Korupsi Bersama-Sama Eks Warek UI

Terungkap dalam dakwaan penuntut umum. Gumilar Rusliwa Somantri juga disebut menerima sejumlah produk Apple dari rekanan.

NOV
Bacaan 2 Menit
Gumilar Disebut Korupsi Bersama-Sama Eks Warek UI
Hukumonline
Mantan Wakil Rektor Bidang SDM, Keuangan, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia (UI) Tafsir Nurchamid didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama mantan Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri dan beberapa pihak lain dalam pengadaan proyek Instalasi Teknologi Informasi (TI) Gedung Perpustakaan UI.

Dakwaan ini dibacakan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Supardi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (6/8). Supardi mengatakan perbuatan Tafsir melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Supardi menganggap Tafsir telah melakukan perbuatan turut serta memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, sehingga mengakibatkan kerugian negara. Ia menyebut Gumilar sebagai salah seorang yang diperkaya Tafsir dalam dakwaan tersebut.

Peristiwa itu bermula awal 2010. UI menyelesaikan pembangunan gedung perpustakaan dengan menggunanakan anggaran Rp77 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran (TA) 2009 dan Rp50 miliar dari APBN-P TA 2009. Namun, pembangunan perpustakaan belum dilengkapi infrastruktur interior dan instalasi TI.

Untuk pengadaan infrastruktur perpustakaan, pada Mei 2010, Gumilar selaku Rektor UI melakukan rapat Tim Penataan Lingkungan Kampus (TPLK). Gumilar memutuskan akan bekerja sama dengan Bank Negara Indonesia (BNI) 46 dalam bentuk penyewaan tempat di gedung perpustakaan UI dengan nilai sewa sebesar Rp50 miliar.

Supardi melanjutkan, Gumilar memerintahkan Direktur Umum dan Fasilitas Donantha Dhaneswara menggunakan uang sewa yang akan diperoleh UI dari BNI 46 guna membiayai pekerjaan infrastruktur tanpa melalui proses revisi Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) dan belum mendapat persetujuan dari Majelis Wali Amanat (MWA).

Donanta melaporkan kepada Tafsir dan Tafsir mengizinkan Donanta melaksanakan perintah Gumilar. Sekira Mei 2010, Tafsir memerintahkan Direktur PT Makara Mas Tjahjanto Budisatrio membuat konsep surat edaran yang berisi agar pengadaan barang/jasa di lingkungan UI sedapat mungkin dikerjakan PT Makara Mas.

Setelah konsep dipersiapkan Tjahjanto dan Dedi Abdul Rahmat Saleh, Tafsir menandatangani Surat Edaran No.171A/H2.R2/LOG.01/2010 tanggal 5 Mei 2010 yang pada pokoknya berisi arahan kepada Direktur Umum dan Fasilitas, para dekan, serta pimpinan Lembaga Unit Usaha di UI untuk memprioritaskan PT Makara Mas.

“Terdakwa memberikan arahan untuk memprioritaskan PT Makara Mas sebagai perusahaan milik UI dalam setiap pengadaan barang/jasa yang dananya berasal dari dana masyarakat, sedangkan untuk pengadaan yang dananya dari APBN agar tetap melibatkan PT Makara Mas sebagai peserta tender atau lelang,” kata Supardi.

Selain itu, dalam beberapa rapat atau pertemuan, Tafsir sering mengarahkan Donanta, Jachrizal Sumabrata, Abdul Rahman, dan staf lainnya agar mengutamakan PT Makara Mas dalam pengadaan barang/jasa, walaupun penawaran yang diberikan PT Makara Mas lebih tinggi dari penawaran perusahaan lain.

Pada Juni 2010, Tafsir bersama Donanta membuat dan menetapkan Pagu Anggaran pengadaan interior dan instalasi TI sejumlah Rp50 miliar yang bersumber dari hasil sewa tempat gedung perpustakaan oleh BNI 46 tanpa melalui revisi RKAT, persetujuan MWA, serta tidak didasarkan analisa kebutuhan perpustakaan.

Penetapan Pagu Anggaran itu, kata Supardi, hanya didasarkan pada perkiraan  Tafsir dengan rincian, Rp21 miliar untuk pengadaan interior perpustakaan, Rp21 miliar untuk pengadaan dan instalasi infrastruktur TI, Rp5 miliar untuk pembayaran pajak pertambahan nilai (PPn), dan Rp3 miliar untuk disimpan di dalam kas UI.

Supardi mengungkapkan, Tjahjanto bersama Dedi menemui Donanta untuk menyampaikan keinginannya mengikuti lelang pengadaan instalasi infrastruktur TI perpustakaan UI. Dalam pertemuan itu, Donanta menyampaikan bahwa PT Makara Mas tidak memenuhi kualifikasi untuk mengerjakaan proyek pengadaan instalasi infrastruktur TI.

“Tjahjanto lalu menawarkan untuk menggunakan nama perusahaan lain, yaitu PT Netsindo Inter Buana dan disetujui oleh Donanta. Tjahjanto juga menyerahkan company profile PT Makara Mas, Surat Keterangan Domisili, dan Surat Edaran No.171A/H2.R2/LOG.01/2010 tanggal 5 Mei 2010  dari terdakwa kepada Donanta,” ujarnya.

Selanjutnya, sekitar Juli 2010, Tafsir bersama Gumilar, Sunarji, dan beberapa dosen senior menghadiri pemaparan PT Makara Mas mengenai rencana instalasi infrastruktur TI di Rektorat UI yang dilakukan atas permintaan Jachrizal selaku Kasubdit Pemeliharaan dan Pengelolaan Aset UI kepada Suparlan dan Dedi.

Di akhir pemaparan, Gumilar menyetujui dan memerintahkan PT Makara Mas berkoordinasi dengan Luki Wijayanti dan Budiman, serta mengintegrasikan pelaksanaannya dengan desain interior. PT Makara Mas langsung melakukan pekerjaan sebagai konsultan perencana tanpa melalui kegiatan pengadaan jasa konsultasi.

PT Makara Mas menyusun Rekapitulasi Anggaran Biaya (RAB) pengadaan hardware dan software TI perpustakaan UI dengan nilai Rp26,006 miliar. Mengingat RAB PT Makara Mas tidak sesuai Pagu Anggaran yang ditetapkan Tafsir, Donanta meminta Dedi mengubah RAB tersebut, sehingga diperoleh jumlah Rp20,454 miliar.

Atas sepengetahuan Tafsir, RAB itu digunakan Emirhadi Suganda sebagai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), meskipun harga yang ditetapkan dalam HPS jauh di atas harga pasar (mark up). Setelah menerima laporan, Tafsir memerintahkan Donanta melakukan lelang tanpa adanya surat keputusan pengangkatan panitia pengadaan.

Tanpa adanya surat pengangkatan panitia lelang dari Gumilar, pada 26 Oktober 2010, Harun Asjiq Gunawan Kaeni mengatasnamakan panitia lelang mengumumkan pengadaan instalasi infrastruktur TI perpustakaan UI di Harian Pelita. Lantas, PT Makara Mas mengikuti proses lelang dengan menggunakan bendera PT Netsindo.

PT Makara Mas juga menyertakan peserta pendamping PT Gita Karya, PT Ikoneksi Darma, dan PT Data Script untuk mengikuti lelang pengadaan instalasi infrastruktur TI perpustakaan UI. Dari ketiga perusahaan pendamping, PT Netsindo memasukan nilai penawaran yang paling rendah, yaitu Rp19,953 miliar.

Akhirnya, Emirhadi dan Harun mengusulkan PT Netsindo sebagai pemenang lelang. Padahal, menurut Supardi, PT Netsindo tidak memenuhi persyaratan kualifikasi untuk menjadi pemenang lelang yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan. “Usulan itu disetujui terdakwa dengan surat penetapan tanggal 10 Desember 2010,” tuturnya.

Sebelum penandatangan kontrak, Tafsir mengarahkan agar Tjahjanto bekerja sama dengan Direktur PT Derwiperdana Internasional Persada Irawan Widjaja dalam pelaksanaan beberapa bagian pekerjaan. Atas persetujuan Gumilar, Tafsir dan Direktur PT Netsindo Fisy Amalia Solihati Hanafi menandatangi kontrak senilai Rp19,953 miliar.

Berdasarkan kontrak perjanjian, lanjut Supardi, PT Netsindo wajib melaksanakan delapan jenis pekerjaan instalasi. Lalu, Tjahjanto menunjuk Rajender Kumar Kishu Khemlani sebagai manajer proyek di PT Netsindo dan Agung Novian Arda yang merupakan pegawai PT Makara Mas menjadi pengelola keuangan proyek.

Dengan status PT Netsindo yang hanya perusahaan pinjaman, semua kewajiban PT Netsindo dilaksanakan PT Makara Mas. Dalam rangka memenuhi isi kontrak, PT Makara Mas melakukan pembelian komputer merek Apple, Point of Sales System, dan sejumlah item lainnya kepada PT Derwiperdana sesuai arahan Tafsir.

Akan tetapi, pembelian barang-barang yang dilakukan PT Makara Mas tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana diatur dalam kontrak. Selain itu, penyelesaian pekerjaan terlambat, sehingga mengakibatkan beberapa barang tidak dapat berfungsi secara optimal dan menyebabkan kemahalan harga.

Walau begitu, Tafsir tidak melakukan tindakan apapun terhadap PT Netsindo maupun PT Makara Mas. Tafsir tetap menyetujui serah terima barang dan pembayaran hanya didasarkan pada invoice PT Netsindo tanpa disertai Surat Permintaan Pembayaran dan dokumen lainnya yang menjadi persyaratan pencairan uang.

Sekitar September 2011, Tafsir menerima pemberian berupa satu buah desktop merek Apple dan satu buah iPad merek Apple dari Dedi dan Tjahjanto. Pembelian kedua barang itu diketahui menggunakan uang dari pembayaran proyek pengadaan infrastruktur TI perpustakaan UI tahun 2010-2011 tersebut.

Supardi menjelaskan, saat PT Netsindo melakukan penagihan pembayaran tahap kelima, PT Netsindo ditolak bagian keuangan UI karena jumlah tagihan lebih besar dari perjanjian. Namun, agar dapat dilakukan pembayaran, Tafsir menandatangani perjanjian addendum ke-I yang dibuat back date yang kemudian disetujui Gumilar.

Tafsir juga menandatangani surat persetujuan tambah kurang yang dibuat back date, sehingga seolah-olah telah dilaksanakan perjanjian addendum, sehingga pada Januari 2012, pembayaran tahap kelima, keenam, dan tambahan biaya dapat dibayarkan ke rekening PT Netsindo sejumlah Rp4,6 miliar.

Kemudian, atas sepengetahuan Gumilar, Tafsir menandatangani kontrak dengan Direktur PT Arun Prakarsa Inforindo Ismail Yusuf dan Direktur PT Reptec Jasa Solusindo Darsono guna memenuhi syarat pencairan anggaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan. Padahal, kedua perusahaan itu tidak pernah melaksanakan pekerjaan.

“Dari uang pembayaran yang diterima Tjahjanto, Rp4,115 miliar digunakan antara lain membeli beberapa produk Apple berupa desktop yang diberikan kepada terdakwa dan Gumilar. Sisanya Rp940,961 juta digunakan untuk kepentingan pribadi Tjahjanto. Terdakwa dan Gumilar juga menerima iPad merek Apple,” beber Supardi.

Ada pula Donanta, Harun, Jachrizal, dan Baroto Setyono yang ikut menerima desktop dan iPad merek Apple. Sementara, Dedi, Abdul Rahmat, Suparlan, Ahya Udin, Imam Ghozali, Subhan Abdul Mukti, Agung Novian Arda, Rajender, Irawan, Darsono, Ismail, Fisy, dan koporasi PT Makara Mas turut menikmati pembayaran proyek.

Supardi menyatakan, akibat perbuatan Tafsir bersama-sama sejumlah pihak tersebut, sesuai laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara yang dilakukan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) No.03/HP/XIX/06/2014 tanggal 4 Juni 2014, kerugian negara mencapai Rp13,076 miliar.

Tafsir mengaku telah memahami isi dakwaan tersebut. “Namun, ada yang tidak utuh, sehingga bisa salah tafsir dan ada yang saya tidak setuju. Masalah eksepsi kami serahkan ke penasihat hukum,” tandasnya yang kemudian disambut pengacaranya, Chudry Sitompul dengan mengatakan akan mengajukan eksepsi.
Tags:

Berita Terkait