Gugurnya Legal Standing “Sang Macan Asia”? Tanggapan terhadap Artikel Timur Sukirno
Oleh: Chandra Kurniawan*)
Kolom

Gugurnya Legal Standing “Sang Macan Asia”? Tanggapan terhadap Artikel Timur Sukirno
Oleh: Chandra Kurniawan*)

Pengunduran diri baru dianggap sah bila dinyatakan dengan tegas dan secara tertulis untuk menghindari asumsi.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi

Penulis hanya pemerhati hukum yang kebetulan berprofesi sebagai corporate lawyer dan memiliki pendapat berbeda mengenai legal standing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 Prabowo-Hatta. Penulis sangat terkejut membaca artikel tersebut di atas dan takjub melihat semangat berapi-api seorang corporate lawyer senior yang mau meluangkan waktu menuliskan pendapatnya dan bergabung dengan koalisi advokat untuk demokrasi.

Berikut pendapat Penulis mengenai artikel Bapak Timur Sukirno yang menyatakan bahwa “Sang Macan Asia” (meminjam istilah beliau untuk pasangan capres dan cawapres No. 1 Prabowo-Hatta) telah kehilangan legal standing terkait dengan pidato penarikan diri pasangan calon presiden Prabowo-Hatta beberapa saat sebelum penetapan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (“KPU”).

Legal Standing
UU MK
dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum menyebutkan bahwa yang dapat menjadi pemohon untuk mengajukan sengketa hasil pemilu calon presiden dan wakil presiden di MK adalah perorangan warga negara Indonesia, pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu atau partai politik peserta pemilu.

Legal standing biasa dimaknai sebagai kedudukan hukum dimana pemohon dianggap memiliki hak dan memenuhi syarat untuk mengajukan keberatan terhadap penetapan KPU terkait sengketa hasil pemilihan umum. Pemohon harus dapat membuktikan bahwa terdapat dasar yang cukup bahwa hak konstitusional pemohon dirugikan akibat penetapan KPU tersebut dan ada kepentingan nyata pemohon yang dilindungi oleh hukum.

Memperhatikan dasar argumen Timur Sukirno yang menyatakan bahwa Sang Macan Asia telah kehilangan legal standing akibat pidato penarikan diri Sang Macan sebelum penetapan hasil pemilu oleh KPU, menurut Penulis itu sangat prematur. Penulis berpendapat bahwa Sang Macan Asia memiliki legal standing membawa persengketaan hasil pemilu tersebut kepada MK. Pidato Sang Macan Asia menurut Penulis bukan merupakan pengunduran diri. Pun bila ingin dijadikan argumen yang mendukung hilangnya legal standing Sang Macan Asia maka pertama harus diuji terlebih dahulu apakah pidato tersebut merupakan pengunduran diri.

Kedua, apakah pengunduran diri sebagai peserta calon presiden dan calon wakil presiden sah bila diajukan secara lisan mengingat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden dibuat secara tertulis dan terdapat surat pernyataan bahwa pasangan calon tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon (Pasal 15 poin (f) Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden). Meskipun tidak ada ketentuan hukum yang mengatur mengenai apakah pengunduran diri tersebut harus dibuat secara tertulis atau lisan tetapi Penulis menganggap tidak berlebihan bahwa pengunduran diri tersebut baru dianggap sah bila dinyatakan dengan tegas dan secara tertulis untuk menghindari asumsi.

Lebih lanjut, Penulis mengingatkan bahwa hati-hati efek bola salju bila MK berpendapat Sang Macan Asia tidak memiliki legal standing karena dianggap telah mengundurkan diri. Bila demikian pendapat MK maka akan timbul permasalahan baru dimana hanya ada satu calon presiden dan wakil presiden tersisa. Tentunya ini perlu dikaji secara mendalam mengingat apakah pemilihan umum dapat disebut sah dan konstitusional bila hanya diikuti oleh satu calon presiden dan wakil presiden.

Dugaan Pelanggaran Pidana
Mengenai anggapan Sang Macan Asia dapat terkena pidana akibat melanggar pasal pidana Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bila dipermasalahkan oleh KPU atau pihak terkait pasangan capres-cawapres No. 2, Penulis juga kurang sependapat. Penulis kutipkan pasal-pasal yang dimaksud:

Pasal 245

(1) Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 246                                              

(1) Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Penulis tidak melihat pasal pidana ini merupakan delik aduan sehingga kurang tepat bila digantungkan kepada kehendak KPU atau tim hukum capres no. 2 sebagaimana didalilkan oleh Timur Sukirno. Akan tetapi, terlalu naif juga bila memaksakan penggunaan unsur-unsur pasal ini kepada Sang Macan Asia dan akan mengakibatkan ketidakadilan bila unsur-unsur pasal di atas ingin dipaksakan digunakan untuk memidanakan beliau mengingat pidana adalah ultimum remedium dan ada jargon dalam ilmu hukum bahwa lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Menurut Penulis, seharusnya dirunut terlebih dahulu filosofi mengapa pembentuk undang-undang merasa perlu memberikan hukuman pidana terhadap calon presiden dan wakil presiden yang mengundurkan diri sejak ditetapkan sampai dengna pelaksanaan pemungutan suara.

Terkait dengan interpretasi substansial yang dikemukakan dalam tulisan Timur Sukirno, terus terang Penulis tidak pernah mendengar atau membaca dalam literatur ilmu hukum mengenai istilah interpretasi substansial. Perlu diingat bahwa terdapat adagium dalam ilmu hukum yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan menafsirkan suatu pasal dalam undang-undang yang sudah jelas bunyi pasalnya. Bila hakim masih menganggap tidak jelas maka menurut Penulis lebih tepat bila hakim melakukan penafsiran historis dengan mendasarkan pada sejarah terjadinya pasal tersebut dari memori penjelasan, laporan perdebatan dalam DPRatau surat menyurat dengan komisi DPR.

Sebagai penutup, Penulis berbeda harapan dengan Timur Sukirno dan berharap MK tidak menganggap pasangan capres dan cawapres no. 1 tidak memiliki legal standing dengan alasan pidato Sang Macan Asia. Berkaca dari kejadian pada tahun 2009 dimana MK pernah juga memutus sengketa pemilu capres dan cawapres maka akan lebih bijak bila MK berpendapat bahwa pasangan capres dan cawapres no. 1 memiliki legal standing terlepas apapun hasil putusan MK nanti. Saat ini, Penulis belum ingin berpendapat mengenai apapun hasil putusan MK nanti baik menolak ataupun mengabulkan permohonan pemohon.

*Calon Advokat
**Penulis tidak mewakili koalisi apapun dan tidak juga tergabung dalam koalisi advokat untuk demokrasi maupun koalisi advokat merah putih.

Tags:

Berita Terkait