Gugatan Malpraktek Law Firm HHP Masuki Tahap Pembuktian
Berita

Gugatan Malpraktek Law Firm HHP Masuki Tahap Pembuktian

Hubungan klien-konsultan tidak selamanya harmonis. Bisa-bisa kedudukan klien yang tadinya dinasehati, malah berbalik menuntut penasehatnya lantaran tindakan sang penasehat dianggap justru merugikan sang klien. Law Firm Hadiputranto Hadinoto & Partners sedang menghadapi tuntutan ganti rugi senilai lebih dari AS$7 juta yang diajukan oleh mantan kliennya. Saat ini, perkaranya telah masuk tahap pembuktian.

Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Gugatan Malpraktek <I>Law Firm</I> HHP Masuki Tahap Pembuktian
Hukumonline

Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP), salah satu law firm terkemuka di Jakarta, sedang menghadapi gugatan malpraktek yang diajukan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Gugatan tersebut dilancarkan oleh PT Permindo Tubularta (Permindo), mantan klien HHP, yang merasa dirugikan atas jasa-jasa yang pernah diberikan HHP. Turut menjadi tergugat pada perkara ini Catherine  Boggs, seorang foreign counsel HHP (tergugat II).

Sebelumnya, Permindo pernah meminta jasa HHP untuk menangani perkara segitiga yang melibatkan  Pilona Petro Tanjung Lontar Ltd (Pilona) dan Equatorial Energy Inc (Equatorial), suatu perusahaan yang berbasis di Kanada. Satu pihak lagi yang terlibat pada perkara ini adalah Twin Oilfield Services (Twin Oilfield), perusahaan asal Hongkong. Permindo berkedudukan sebagai agen dari Twin Oilfied, sedangkan Pilona merupakan agen dari Equatorial.

Antara Twin Oilfield-Permindo dan Pilona terjalin suatu kontrak pengeboran minyak. Pilona menyewa peralatan pengeboran minyak milik Twin Oilfield-Permindo. Namun dari lima sumur minyak yang harusnya dibor, Pilona hanya bisa menyelesaikan dua. Akibatnya, pembayaran sewa peralatan ke Permindo menjadi terhambat.

Lantaran Pilona tak kunjung membayar, Permindo sempat mendaftarkan gugatan terhadap Pilona dan Equatorial di Pengadilan Negeri Alberta, Calgary di Kanada. Permindo ketika itu menunjuk Catherine Boggs dari Baker Mckenzie Internasional yang menjadi mitra aliansi HHP di Indonesia (Kontan, 2 Juli 2001).

Upaya perdamaian

Namun belum usai proses persidangan, mereka bertiga sepakat untuk mengupayakan suatu perdamaian yang nantinya akan diwujudkan dalam suatu Discontinuance of Action (penghentian gugatan). Nantinya, perdamaian tersebut akan diminta pengesahannya di Pengadilan Negeri Alberta.

Untuk mengurusi teknis perdamaian tersebut, Permindo sepakat untuk memberikan kuasa kepada Kenneth R. Cooper selaku pemilik Twin Oilfield Services Ltd. Belakangan, terhitung 16 April 1999 kuasa kepada Kenneth Cooper dicabut karena dikhawatirkan Kenneth Cooper memiliki itikad buruk untuk menguasai uang pembayaran dari Pilona dan Equatorial.

Meski kuasa telah dicabut, Kenneth Cooper tetap melanjutkan proses negoisasi dengan Pilona dan Equatorial. Bahkan, pada Sepetember 1999 hampir tercapai kesepakatan suatu Memorandum of Settlement (MoS) yang menurut penggugat prosesnya dilakukan tanpa sepengetahuan penggugat.

Ketika kekhawatiran penggugat disampaikan ke Catherine  Boggs (Tergugat II), penggugat diyakinkan bahwa tidak akan ada MOS sebelum penggugat menandatanganinya.

Pepesan kosong

Nyatanya, penggugat baru menerima draft MoS pada 16 September 1999 yang isinya tidak disetujui oleh penggugat. Sayangnya, MoS ternyata keburu ditandatangani oleh Kenneth Cooper dan telah diajukan permohonan penghentian gugatan kepada Pengadilan di Alberta.

Namun di MoS tersebut, ternyata diatur pembayaran dari Pilona dimasukkan ke rekening Twin Oilfield, bukannya rekening Permindo. Jadinya, Permindo Cuma mendapat pepesan kosong.

Dalam gugatannya, penggugat menuduh tergugat II dengan sengaja atau lalai menahan draf MoS yang seharusnya telah diterima penggugat pada 14 September 1999. Dari hasil korenspondensi dengan pengacara penggugat di Kanada, penggugat juga melihat tergugat II dengan sengaja handak menyembunyikan fakta bahwa penggugat sebenarnya sama sekali tidak memberikan persetujuan terhadap draf MoS.

Mengingat tergugat II bekerja di kantor tergugat I, maka tuntutan ganti rugi juga diajukan ke HHP berdasarkan ketentuan pasal 1367 KUHPerdata, berdasarkan azas vicarious liability. Berdasar asas ini, seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban bukan hanya terhadap perbuatannya sendiri, tapi juga terhadap perbuatan orang yang berada di bawah pengawasannya atau yang menjadi tanggungannya.

Penggugat minta agar Pengadilan Negeri menyatakan tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penggugat juga menuntut agar tergugat membayar ganti rugi senilai AS$7,3 juta secara tanggung renteng atas perbuatannya.

Kehormatan profesi

Luhut Pangaribuan yang menjadi pengacara HHP menilai, perkara ini seharusnya diperiksa terlebih dahulu di dewan kehormatan profesi. "Ini kan masalah professional responsibility, harusnya pergi ke dewan kehormatan. Itu mutlak. Harus ada dewan kehormatan profesi yang menyatakan dulu, baru selanjutnya bisa dinyatakan ada perbuatan melawan hukum," komentar Luhut kepada hukumonline.

Menjawab pertanyaan ke organisasi mana harusnya perkara ini diajukan mengingat organisasi profesi advokat di Indonesia jumlahnya lebih dari satu, Luhut berpendapat itu adalah persoalan lain.

"Kalau anda mengatakan ada lack of professionality, profesionalitas yang tidak berjalan sesuai standar, maka yang bisa mengerti kan orang lain. Yang bisa mengerti, ya profesinya sendiri. Itu kaidahnya. Selanjutnya, mau ke mana perginya, itu pertanyaan lain," tukasnya.

Menarik untuk mengikuti kelanjutan perkara ini dihubungkan dengan keberadaan lawyer asing yang bekerja di kantor konsultan hukum Indonesia. Sejauh mana, sepak terjang lawyer asing dan bagaimana pertanggungjawaban kantor konsultan hukum Indonesia atas sepak terjang mitra asingnya tersebut.

Bagi HHP, perkara ini jelas menjadi ujian bagi profesionalitas yang mereka berikan kepada klien. Pasalnya, biaya yang di-charge HHP ke kliennya pasti tidak murah, sebanding dengan kualitas  jasa konsultasi yang mereka janjikan. Kalau jasa yang diberikan malah merugikan kliennya, siapa yang tidak ngamuk.

 

Tags: