Gugat Kewenangan KPU, FKHK Uji Perppu Pilkada
Berita

Gugat Kewenangan KPU, FKHK Uji Perppu Pilkada

Pemohon mengusulkan pilkada diserahkan kepada masing-masing daerah sesuai corak, karakteristik, dan kearifan lokal.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Setelah mencabut permohonan pengujian Pemda dan UU Penyelenggara Pemilu terkait pilkada langsung, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) “menggugat” Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.

Perppu itu masih memberi kewenangan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). “Penyelenggaraan pilkada oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota melanggar konstitusi,” ujar Ketua Umum FKHK, Victor Santoso Tandiasa usai mendaftarkan pengujian Perppu di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (17/10).

Misalnya, Pasal 6 ayat (1) Perppu Pilkada menyebutkan “KPU Provinsi menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur kepada DPRD Provinsi dan KPU dengan tembusan kepada Presiden melalui Menteri.” Ayat (2) menyebutkan, “KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota kepada DPRD Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada KPU Provinsi dan Gubernur.”

Victor mengingatkan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan pilkada bukan bagian rezim pemilu, melainkan rezim pemda, sehingga MK tidak lagi berwenang menangani sengketa pilkada. Dalam Pasal 24C UUD 1945 disebutkan salah satu kewenangan MK hanya memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu (legislatif, presiden dan wakil presiden).

Untuk memperkuat dalilnya, Victor mengutip Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dihubungkan Pasal 22E ayat (1), (2) UUD 1945, KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri dibentuk untuk menyelenggarakan pemilu memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden. Sedangkan, Pasal 5 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menyebut KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota bersifat tetap dan hierarkis.

“Dari ketentuan dapat disimpulkan keberadaan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota merupakan organ pemilu yang bersifat hierarkis, nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan pemilu, bukan pilkada,” dalih Victor.

Terlebih, kata dia, mengacu putusan MK bernomor 072-073/PUU-II/2004 telah dinyatakan pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Atas dasar itu, istilah KPUD tidak lagi digunakan dan diganti dengan istilah KPU provinsi, KPU kabupaten/kota yang  murni sebagai organ pemilu nasional, tetap, dan mandiri.

Menurutnya, penyelenggaraan pilkada oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota seperti termuat dalam Perppu Pilkada bertentangan dengan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013. Karena itu, penyelenggaraan pilkada oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui DPRD) bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2), (5) UUD 1945. “Jadi, inti permohonan kami menyangkut konstitusionalitas kewenangan KPU dalam menyelenggarakan pilkada,” katanya.

Dia mengusulkan sudah seharusnya penyelenggaraan pilkada diserahkan kepada masing-masing daerah sesuai corak, karakteristik, kearifan lokalnya (prinsip otonomi), tidak sentralistik. Namun, konsep mekanisme pemilihannya bukan mekanisme perwakilan (melalui DPRD) seperti diusung partai politik.

Bentuk perwakilan yang dikehendaki, DPRD membentuk panitia penyelenggara pilkada untuk merumuskan mekanisme pilkada yang tepat. “Kita khawatir kalau Perppu Pilkada ini disetujui DPR, tetapi keberadaan KPUD masih dianggap sebagai penyelenggara pilkada, padahal sudah dinyatakan inkonstitusional,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait