Global Legaltech Report Identifikasi 12 Model Bisnis Hukum Berbasis Teknologi di ASEAN
Utama

Global Legaltech Report Identifikasi 12 Model Bisnis Hukum Berbasis Teknologi di ASEAN

Model bisnis mana yang akan diadopsi oleh pelaku industri Legaltech, berperan peran penting dalam membantu perusahaan Legaltech menjual produk dan menumbuhkan bisnis mereka.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: RES
Foto ilustrasi: RES

ASEAN Legaltech bersama Asosiasi Teknologi Hukum Australia dan Alpha Create melansir hasil survey untuk memberikan gambaran mengenai pasar industri teknologi di bidang hukum (Legaltech) di wilayah Asia Tenggara. 

Dengan jumlah populasi sebesar 644,6 juta orang dan 3.954 perusahaan yang telah terdaftar di masing-masing otoritas, 10 negara di regional Asia Tenggara merupakan ekosistem yang telah siap menerapkan sistem ekonomi digital. 

Untuk industri layanan jasa hukum berbasis digital, Founding Board ASEAN Legaltech, Eric Chin, menilai penduduk di negara-negara ASEAN selama ini telah cukup menunjukan kapasitas sebagai pengguna jasa hukum berbasis digital. 

“Dalam pasar hukum dengan 248.067 pengacara yang tersebar di 10 negara, ada peluang bagi perusahaan Teknologi Hukum untuk membantu mengatasi akses ke pengacara dan akses ke masalah keadilan,” kata Eric dalam launching hasil riset secara daring, Rabu (10/6). 

Namun, untuk memastikan keberhasilan menjangkau pasar yang besar ini, Eric mengingatkan agar pelaku industri Legaltech mesti menyiapkan strategi dan model bisnis teknologi hukum yang tepat. (Baca: Mengenal Ragam Jenis Layanan Legaltech Sepanjang 2019)

Dalam pemaparan hasil risetnya, Eric menegaskan agar pelaku industri Legaltech dalam menyiapkan model bisnis tidak hanya menekankan pada strategi maupun solusi di bidang teknologi hukum sebagai jualannya, tapi juga menyiapkan aspek-aspek lain yang tidak kalah pentingnya. 

“Bagaimana mereka dibayar, siapa target pelanggan mereka, dan bagaimana mereka memberikan solusi teknologi mereka kepada pelanggan,” ujar Eric. 

Menurut Eric, memutuskan model bisnis mana yang akan diadopsi oleh pelaku industri Legaltech, berperan peran penting dalam membantu perusahaan Legal Tech menjual produk dan menumbuhkan bisnis mereka.   Sebaliknya, Eric mengatakan kesalahan memilih model bisnis akan menghambat pertumbuhan perusahaan. 

Dalam risetnya kali ini, Eric mengatakan pihaknya mengidentifikasi sejumlah model bisnis yang diterapkan oleh perusahaan Legaltech di wilayah ASEAN. Model bisnis tersebut di antaranya Langganan berbasis pengguna; Harga yang dibundel; Langganan berbasis penggunaan; free; Biaya transaksi; penggunaan argo/meter; Berlangganan tidak terbatas; Keanggotaan; cost leadership; disaggregated pricing; berbasis lisensi; dan berbasis instaled.

Secara kuantitatif, Eric menggambarkan prosentase perusahaan Legaltech yang menggunakan model-model bisnis yang telah disebutkan di atas. Sebanyak 38% responden yang merupakan perusahaan Legaltech yang telah survey telah mengadopsi model bisnis berbasis lisensi.

Kemudian 38% responden juga telah mengadopsi model bisnis berlangganan berbasis pengguna dengan mengandalkan jumlah pengguna; 28% responden menggunakan model bisnis harga bundel; dan 28% telah mengadopsi model berbasis pengguna berlangganan.

Sementara itu, untuk beberapa perusahaan Legaltech, diketahui menggunakan beberapa model bisnis secara bersamaan untuk mengkomersialkan produk yang telah dikembangkan. 

“38% responden telah menggunakan model bisnis tunggal, 21% telah mengadopsi dua model bisnis dan 21% lainnya menggunakan tiga atau lebih model bisnis untuk mengkomersilkan solusi (produk) mereka,” urai Eric.

Melalui survey ini juga, dicaritahu model perusahaan Legaltech dalam menetapkan harga produk jualannya. Menurut Eric, model penetapan harga dapat mendorong atau menghambat perolehan margin perusahaan Legaltech. 

“Keputusan penetapan harga juga dapat menentukan kesehatan bisnis dengan mempromosikan model yang lebih baik, arus kas yang lebih sehat, dan tingkat retensi klien yang lebih tinggi,” terang Eric. 

Survey ini mengungkapkan pendekatan yang luas dan beragam untuk penetapan harga.  Sebanyak 44% responden telah mengadopsi harga berbasis penggunaan, 44% menggunakan harga berbasis pengguna, 41% menggunakan berbasis transaksi. 

Menariknya, salah satu responden juga menunjukan bahwa mereka memberikan bagian dari produk mereka secara gratis (model freemium).

Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah Asia-Pasifik Legal Innovation and Tecknology Asossiation, Josh Lee Kok Thong, mengatakan penelitian yang dilakukan Global Legaltech Report ini tepat waktu dan penting.  “Sebagai inisiatif ekspansif yang memetakan dan menganalisis keadaan teknologi hukum di seluruh dunia,” ujar Josh. 

Menurut Josh, laporan ini memberikan gambaran definisi yang akurat dan sangat dibutuhkan dari sektor industri hukum berbasis digital dengan banyak potensi yang menunggu untuk dirilis. 

Tags:

Berita Terkait