Giliran PBHI Laporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik
Berita

Giliran PBHI Laporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik

76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta resmi mengirim surat yang meminta Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya sekaligus mengirim artikel berjudul ‘Etika, Budaya dan Hukum’ yang ditulis almarhum Prof Satjipto Rahardjo.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES

Di sela-sela desakan mundur, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat kembali dilaporkan ke Dewan Etik MK atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Laporan ini berkaitan perbuatan Hakim Terlapor yang diduga mengunggah tulisan di sebuah Grup Whatsapp (WA) terkait putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 tentang pengujian perluasan pasal-pasal kesusilaan di KUHP.   

 

Ketua PBHI Totok Yulianto mengatakan PBHI melaporkan Arief Hidayat selaku hakim konstitusi sekaligus ketua MK karena diduga kuat melanggar etik atas pesan yang diunggah dalam sebuah Group Whatsapp para akademisi mantan dekan fakultas hukum. Pertama, mengomentari secara terbuka putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016. Kedua, mengeluarkan kata-kata kasar hingga menyampaikan informasi tidak benar dan menyesatkan.  

 

“Secara implisit substansi pesan yang diduga diunggah Terlapor dalam Group Whatsapp memperlihatkan sikap yang berpihak atau condong pada pihak pemohon perkara. Sekaligus menstigma atau mendiskreditkan komunitas tertentu, sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM),” ujar Totok usai menyerahkan berkas laporan ke Dewan Etik di Gedung MK Jakarta, Selasa (20/2/2018).

 

Dia menilai tindakan Arief tersebut telah melanggar Peraturan MK No. 9 Tahun 2006 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, khususnya pada prinsip ketidakberpihakan, prinsip Integritas, prinsip Kepantasan, dan Kesopanan, prinsip Kesetaraan, prinsip Kecakapan dan Keseksamaan.

 

Koordinator Program PBHI Julius Ibrani mengatakan kurang etis rasanya seorang hakim konstitusi apalagi ketua MK mengomentari putusannya sendiri dan diunggah di dalam percakapan group. Dalam tulisan yang dikirim Arief seperti memojokan atau seolah-olah mendiskreditkan kelima hakim konstitusi lain yang menolak pengujian perluasan pasal-pasal kesusilaan di KUHP dan mengomentari substansi isi putusannya.

 

“Itukan group WA, isinya banyak orang. Rasanya benar-benar tidak etis seorang hakim MK berperilaku seperti itu,” ujar Julius. (Baca Juga: 54 Profesor Ini Mendesak Arief Mundur dari Jabatannya)

 

Julius tidak meminta Dewan Etik untuk memutuskan Arief mundur dari jabatanya. “Kami menggunakan mekanisme formil dengan melaporkan ke Dewan Etik. Nantinya, apabila terbukti atau tidak akan terlihat. Perihal urusan mundur atau tidak itu urusan nanti. Keputusan proses ini yang menentukan hakim MK melanggar etik atau tidak dan menentukan ia mundur atau tidak?”

 

Dia berharap Dewan Etik menindaklanjuti laporan ini. Sebab, sebelumnya Dewan Etik pernah berjanji apabila Arief melanggar lagi, maka akan dibawa ke tahap sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi. Apabila Arief dinyatakan terbukti melanggar, maka akan dijatuhi sanksi berat karena telah tiga kali melanggar etik. “Kami tagih janji Dewan Etik itu,” tegasnya.

 

“Saya rasa laporan ini sangat sederhana, bukti-buktinya sudah jelas berupa screan shoot tulisan Arief di group WA. Bila ingin menghadirkan saksipun PBHI siap menghadirkan saksinya,” kata dia.

 

Julius optimis laporannya akan ditindaklanjuti Dewan Etik sebagai lembaga yang menjaga marwah MK. “Kita berharap Dewan Etik tetap objektif dan netral dalam menangani dugaan pelanggaran etik Arief kali ini.”

 

Sebelumnya, Arief dilaporkan pegawai MK Abdul Ghoffar terkait pernyataan Arief di media online yakni detik.com terkait tulisan Abdul Ghoffar yang dimuat di Kompas bertajuk “Ketua Tanpa Marwah” yang hingga kini Dewan Etik belum menindaklanjuti laporan ini. (Baca Juga: Kali Kedua, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik)

 

Arief sudah dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik sebanyak dua kali. Pertama, memberi memo katebelece alias “memo sakti” kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono untuk “menitipkan” Jaksa pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek, M. Zainur Rochman.

 

Kedua, Arief terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi dan dijatuhi sanksi ringan. Arief dinilai terbukti melakukan pertemuan (lobi-lobi politik) dengan memberi janji terkait pengujian Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengenai hak angket DPR terkait keberadaan Pansus Angket KPK.

 

76 guru besar kirim artikel

Sebanyak 76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta resmi mengirim surat yang meminta Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya yang sebelumnya hanya dikirim melalui faksimili. Perwakilan 76 guru besar yang juga dosen hukum tata negara Universitas STHI Jentera Bivitri Susanti mengatakan surat dari 76 guru besar telah diterima MK dengan dua belas amplop. Sembilan amplop untuk sembilan hakim konstitusi dan tiga ampop untuk Dewan Etik.

 

“76 guru besar pun mengirimkan satu artikel berjudul ‘Etika, Budaya dan Hukum’ yang ditulis almarhum Prof Satjipto Rahardjo sebanyak 8 halaman. Prof Satjipto ini merupakan guru dari Arief Hidayat mengenai hukum progresifnya,” kata Bivitri usai mengirim surat tersebut di Gedung MK Jakarta, Selasa (20/2/2018). (Baca Juga: Akademisi: Arief Hidayat Mundurlah untuk Lebih Arif)

 

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat Widodo Dwi Putro mengatakan dalam tulisan makalah Prof Satjipto yang ditulisnya beberapa tahun sebelum wafat yang isinya menekankan etika dan moral lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan hukum.

 

Sebab, menurut Prof Satjipto orang yang memahami hukum belum tentu mematuhi hukum tanpa etika. Widodo menerangkan hukum sangat dekat dengan etika, maka jika melanggar etika maka sama dengan pembusukan hukum. Dalam tulisan Prof Satjipto pun ia bermimpi bahwa penegak hukum, pejabat publik, hakim dan para negarawan konsisten mengemban etika dan moral.

 

Widodo berharap lampiran artikel ini dapat membuka pikiran Arief. “Mengingat saya pernah datang pada sebuah seminar dimana Arief menjadi narasumber mengenai hukum progresif. Apalagi, Prof Satjipto merupakan penggagas hukum progresif merupakan teladan bagi Arief. Semoga tulisan ini dapat memberi hidayah dan membuka nurani Arief,” harapnya.

 

Kutipan lain dalam artikel Prof Satjipto, “Sebaiknya kita mencari jalan buntu bisa hidup dengan diikat oleh pertimbangan-pertimbangan etis dan moral yang tinggi sebelum memasuki kehidupan bermasyarakat yang berdasarkan pada hukum.”

 

Widodo menambahkan guru besar telah turun gunung menanggapi persoalan Arief ini. “Bayangkan semua UU yang disahkan ratusan wakil rakyat bisa dianulir oleh MK terkait semua persoalan dan semua aspek kehidupan termasuk sengketa lembaga negara. Jadi ketika hakim konstitusinya tidak memiliki standar etik yang tinggi bisa dibayangkan akan seperti apa?”

Tags:

Berita Terkait