Giliran Advokat Peradi Uji Pasal Obstruction of Justice
Pojok PERADI

Giliran Advokat Peradi Uji Pasal Obstruction of Justice

Pemohon meminta agar pasal menghalangi/merintangi/menggagalkan proses hukum perkara korupsi, profesi advokat dikecualikan ketika membela kliennya dengan itikad baik.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah advokat pengurus DPC Peradi Jaksel usai mendaftarkan pengujian Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor di Gedung MK, Rabu (20/3). Foto: Humas DPC Peradi Jaksel
Sejumlah advokat pengurus DPC Peradi Jaksel usai mendaftarkan pengujian Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor di Gedung MK, Rabu (20/3). Foto: Humas DPC Peradi Jaksel

Aturan pidana bagi pihak yang menghalangi proses hukum dalam perkara korupsi (tipikor) dalam Pasal 21 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 kembali dimohonkan pengujian. Pasal ini lazim disebut obstruction of justice atau menghalangi proses hukum dalam perkara korupsi yang bisa menjerat siapapun termasuk advokat.  

 

Pemohonnya, para advokat yang tercatat sebagai pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Jakarta Selatan (DPC Peradi Jaksel). Mereka adalah Octolin Hutahalung, Nuzul Wibawa, Hernoko D. Wibowo, Andrijani Sulistiowati. Spesifik, mereka mempersoalkan frasa “setiap orang” dan “langsung dan tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.

 

“Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor dinilai sangat meresahkan kalangan advokat dan rawan kriminalisasi advokat. Bahkan, beberapa advokat sudah menjadi korban kriminalisasi akibat berlakunya pasal itu,” ujar Octolin usai mendaftarkan pengujian Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor di Gedung MK Jakarta, Rabu (20/3/2019). Baca Juga: Advokat Minta Mekanisme Hak Imunitas Diperjelas  

 

Selengkapnya Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

 

Octolin menilai berlakunya Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor ini profesi advokat merasa terbelenggu meskipun dalam menjalankan profesinya, advokat memiliki niat (itikad baik) yang mulia guna menegakkan hukum dan keadilan (itikad baik). Akan tetapi, dalam prakriknya niat tersebut dapat dianggap sebagai tindakan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses hukum yang berlangsung.

 

“Karena itu, DPC Peradi Jaksel mengajukan uji materi Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor untuk kepentingan seluruh advokat,” kata Octolin.

 

Dia menerangkan seorang advokat dalam menjalankan profesinya dilindungi hak imunitasnya sesuai Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 terkait pengujian Pasal 16 UU Advokat. Dalam Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013, Pasal 16 UU Advokat diperluas hak imunitas/perlindungan advokat yang tidak bisa dituntut secara pidana atau perdata dalam rangka kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar persidangan.

 

Namun begitu, dia tegaskan ketentuan itu tidak lantas membuat seorang advokat menjadi kebal hukum, kecuali bila seorang advokat menjalankan profesinya tidak dengan etikad baik dapat diproses hukum setelah diproses Dewan Kehormatan Advokat terlebih dahulu. Namun, dia menilai berlakunya Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor telah mengabaikan hak imunitas advokat.

 

“Karena begitu ditemukan dugaan menghalangi penyidikan, KPK bisa langsung melakukan penyidikan tanpa melalui proses Dewan Kehormatan Advokat dulu,” kata dia.  

 

Menurutnya, tidak adanya batasan atau tolak ukur yang jelas atas penerapan Pasal 21 UU Tipikor itu berpotensi membuat aparat penegak hukum bertindak sewenang-wenang. Bahkan, bukan tidak mungkin dijadikan alat politik untuk mengkriminalisasi profesi advokat ketika membela kliennya dalam perkara korupsi. Mengingat advokat memiliki peran vital dalam membela hak-hak klien dari negara yang hendak bertindak sewenang-wenang.

 

“Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor tidak memiliki tolak ukur dan multitafsir serta bersifat subjektif dari penegak hukum yang bersangkutan,” tegasnya.

 

Karena itu, melalui permohonan ini sudah seharusnya MK memberikan tafsir atau batasan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan atau tindakan menghalangi, merintangi. Bahkan dianggap tindakan yang menggagalkan secara langsung atau tidak langsung terhadap proses hukum perkara korupsi yang sedang berjalan.

 

“Pasal 21 ini tidak menjelaskan (bagaimana) ‘perbuatan langsung dan tidak langsung’ yang berpotensi menghambat advokat dalam menjalankan profesinya, maka frasa ‘langsung dan tidak langsung’ inkonstitusional,” pintanya.  

 

Pemohon dalam petitumnya, meminta seharusnya Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor menjadi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana penjara……….”

 

Selain itu, menurutnya frasa “setiap orang” dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, penerapan “setiap orang” ini tidak memandang siapakah orang tersebut termasuk seseorang yang berprofesi sebagai advokat. “Jadi, seharusnya frasa ‘setiap orang’ harus dimaknai dikecualikan bagi seseorang yang berprofesi sebagai advokat ketika membela kliennya dengan itikad baik,” pintanya.

 

Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 21 sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dan, terhadap frasa “setiap orang” sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi seseorang yang berprofesi sebagai advokat yang membela kliennya dengan itikad baik.

 

Seperti diketahui, Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor ini pernah dimohonkan pengujian oleh Khaerudin yang juga berprofesi sebagai advokat melalui Putusan MK. No. 7/PUU-XIV/2018. Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan ini. Alasannya, sepanjang tidak terbukti seorang advokat secara sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor, maka tidak terdapat alasan apapun untuk menyatakan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor mengkriminalkan dan membelenggu advokat dalam menjalankan profesinya.

 

“Undang-Undang a quo adalah bersifat dan berlaku umum, bukan ditujukan untuk kelompok tertentu, termasuk advokat,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah. (Baca Juga: Begini Alasan MK Tolak Pasal Obstruction of Justice)

 

Terkait hak imunitas advokat, Mahkamah berpendapat Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor tidak menghilangkan hak imunitas advokat. Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 yang dirujuk Pemohon sebagai landasan dalil ini berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan (ataupun di luar sidang).”

 

“Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada ‘kepentingan pembelaan Klien’, melainkan pada (penilaian) ‘itikad baik’,” dalih Mahkamah.

 

Secara a contrario, Mahkamah menilai imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. Sehingga, jika dihubungkan dengan norma Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor, seorang advokat yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa yang sedang dibelanya jelas tidak dapat dikatakan memiliki itikad baik.

Tags:

Berita Terkait