Genjot Penerimaan Pajak, Pemerintah Perlu Lakukan Strategi Ini
Berita

Genjot Penerimaan Pajak, Pemerintah Perlu Lakukan Strategi Ini

Selain reformasi perpajakan yang sedang berjalan, salah satu terobosan baru oleh pemerintah yakni melalui omnibus law perpajakan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah melaporkan realisasi penerimaan negara di tahun 2019. Realisasi pendapatan negara di tahun 2019 mencapai Rp1.957,2 triliun (90,4% dari target APBN tahun 2019). Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2018, realisasi pendapatan negara tahun 2019 tersebut tumbuh 0,7%. 

 

Apabila dirinci, realisasi pendapatan negara tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.545,3 triliun (86,5% dari target APBN tahun 2019),  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp405 triliun (107,1% dari target APBN tahun 2019) dan hibah sebesar Rp6,8 triliun. Capaian penerimaan perpajakan tersebut tumbuh 1,7% dari realisasi di tahun 2018 sebagai dampak perlambatan ekonomi global pada kegiatan perekonomian nasional. 

 

Selain itu, pajak sebagai instrumen fiskal juga tetap diarahkan untuk mendorong daya saing ekonomi nasional melalui pemberian insentif dan kebijakan percepatan restitusi pada dunia usaha. Di sisi lain, pertumbuhan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) masih relatif cukup baik di tahun 2019. 

 

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan di banyak negara, APBN tahun 2019 didorong ekspansif dan countercyclical untuk menjalankan peran strategis dalam menjaga stabilitas makroekonomi, mempertahankan momentum pertumbuhan perekonomian domestik, dan mendorong laju kegiatan dunia usaha, serta tetap memberikan perlindungan kepada masyarakat. 

 

Realisasi defisit APBN tahun 2019 sementara berkisar pada 2,2% dari PDB, dibandingkan dengan target awal 1,84% dari PDB. Pelebaran defisit tersebut dilakukan secara terukur dengan memperhitungkan risiko dan manfaatnya, serta kredibilitas fiskal.

 

"Indonesia, dengan tekanan dan global economic environment yang tidak kondusif di tahun 2019 tadi, kita tetap mampu menjaga pertumbuhan kita di atas 5%. Kalau kita lihat dari komponen memang karena domestik, di mana kita terutama untuk konsumsi, tetap bisa bertahan 3 kuartal berturut-turut tumbuh di atas 5%. Inflasi yang rendah menyebabkan daya beli masyarakat tetap terjaga. Kalau kita lihat konsumsi pemerintah juga memberikan support untuk penurunan ekonomi ini," katanya, Selasa (7/1).

 

(Baca: Omnibus Law Perpajakan Bakal Intervensi Aturan Pajak di Daerah)

 

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai bahwa tahun 2019 menjadi tahun yang tidak mudah bagi dunia perpajakan. Tekanan ekonomi global, perlambatan ekonomi domestik, dan dinamika politik mewarnai kinerja sepanjang tahun. Penerimaan pajak kembali tidak mencapai target, yaitu terealisasi Rp1.332 triliun atau 84,4% dari target. 

 

Jika dihitung secara persentase, realisasi penerimaan pajak tahun 2019 lebih rendah dibandingkan dua tahun terakhir, yakni di tahun 2017 dimana realisasi penerimaan pajak  89,7% dan di tahun 2018 kembali meningkat menjadi 92,4%. Namun realisasi 2019 ini masih lebih baik dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2015 dan 2016 yang mencapai 82% dan 81,6%. Volatilitas pencapaian target penerimaan ini perlu diantisipasi dan dianalisis secara mendalam demi mendapatkan formula pemungutan pajak yang efektif dan sustain.

 

Menurut Yustinus, rendahnya pertumbuhan realisasi penerimaan disebabkan beratnya tantangan pemungutan pajak di tahun 2019. Setidaknya ada 5 penyebab yakni pertama kinerja penerimaan pajak yang sangat bergantung pada kondisi perekonomian, terutama harga komoditas. 

 

"Ini permasalahan struktural yang tak dapat diperbaiki dalam jangka pendek. Turunnya harga komoditas di tahun 2019 menekan kinerja penerimaan pajak terutama dari sektor perkebunan, migas dan pertambangan," kata Yustinus, Kamis (9/1).

 

Kedua, di samping harga komoditas sektor perdagangan internasional mengalami penurunan menurun. Penurunan ini secara langsung akan berdampak pada penerimaan PPN Impor. Tak ayal, kinerja penerimaan PPN juga tertekan dengan realisasi yang hanya 81,3%. 

 

Ketiga, insentif pajak yang cukup banyak digelontorkan, antara lain tax holiday, tax allowance, kenaikan PTKP, kenaikan threshold hunian mewah, dan restitusi dipercepat. Keempat pemanfaatan data dan informasi yang belum optimal, dan kelima tahun politik yang memaksa dilakukannya moratorium tindak lanjut data/informasi dan tertundanya pemungutan pajak beberapa sektor, seperti e-commerce.

 

Jika pemerintah ingin menggenjot penerimaan pajak, lanjutnya, diperlukan pemantapan strategi untuk menggenjot penerimaan pajak yang sustain dan berkeadilan. "Selain reformasi perpajakan yang sedang berjalan, salah satu terobosan baru oleh pemerintah yakni melalui omnibus law perpajakan," imbuhnya.

 

Namun demikian perlu diperhatikan bahwa omnibus law perpajakan harus berada pada rel yang sama dengan reformasi perpajakan yakni dengan memastikan omnibus law perpajakan memiliki visi yang sama dengan reformasi perpajakan. Kebutuhan penerimaan negara yang terus meningkat tetap harus memperhatikan pentingnya menjaga iklim bisnis dan fairness praktik perpajakan.

 

Adapun strategi lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memperluas basis pajak melalui tindak lanjut data perpajakan pasca-amnesti dan hasil akses/pertukaran informasi, terutama dalam rangka penegakan hukum, terutama dengan sinergi kelembagaan. Menginisiasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai common identifier (penanda tunggal) seluruh transaksi dan aktivitas warga negara. Selain itu juga perlu dilakukan pemutakhiran data NIK pada database sektor keuangan.

 

"Dalam jangka pendek, NIK harus digunakan sebagai identitas wajib dalam Faktur Pajak pada setiap transaksi yang melibatkan orang pribadi," imbuhnya.

 

Kemudian melakukan perbaikan administrasi perpajakan (core tax system) harus didukung dan dituntaskan, termasuk perbaikan administrasi dan tata kelola perpajakan terhadap isu-isu utama yang belum tercakup dalam omnibus law, miisalkan melalui survei persepsi wajib pajak, identifikasi permasalahan di lapangan, dan upaya duduk bersama antara otoritas pajak, DPR, dan komunitas wajib pajak.

 

Melakukan pemeriksaan pajak dan penegakan hukum yang terukur dan profesional untuk menciptakan efek kejut dan efek bola salju kepatuhan oajak, dan melakukan evaluasi menyeluruh dan reorientasi skema fasilitas perpajakan yang selama ini telah digelontorkan.

 

"Insentif harus diarahkan pada upaya mendorong ekspor, memperkuat reindustrialisasi, memperkuat UMKM dan koperasi, meningkatkan produktivitas modal, mengintegrasikan ekonomi Indonesia dalam global value chain,  mendorong penyerapan tenaga kerja, dan mendukung riset dan pengembangan," pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait