Gelagat Perpanjang Operasional Freeport, Pemerintah Menuai Kritik
Berita

Gelagat Perpanjang Operasional Freeport, Pemerintah Menuai Kritik

Mengubah kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dinilai bukan solusi meningkatkan pendapatan pajak negara dari sektor kekayaan alam.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gelagat Perpanjang Operasional Freeport, Pemerintah Menuai Kritik
Hukumonline
Gelagat Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla memperpanjang operasional PT Freeport  Indonesia, di Papua sudah nampak melalui diubahnya sistem kontrak karya antara pemerintah dengan Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pemerintah berdalih tidak melanggar UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dengan begitu, jika perubahan tersebut berjalan mulus, maka Freeport bakal beroperasi hingga tahun 2035.

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengkritik upaya pemerintah tersebut. Menurutnya, Freeport mestinya menyesuaikan diri dengan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia. Freeport pun mesti tunduk pada peraturan dan perundangan yang berlaku. Terhadap upaya tersebut, UU Minerba harus segera dilakukan revisi dengan pembahasan di DPR.

Ia menilai mekanisme IUPK dalam UU No.4 Tahun 2009 dapat mengurangi potensi penerimaan negara. Ironisnya, UU Minerba tidak menjelaskan mengenai kontrol pemerintah terhadap seluruh operasional perusahaan pertambangan. Padahal, operasional perusahaan pertambangan sara dengan manipulasi.

Misalnya, terkait dengan pembelian dan pemasokan alat-alat tambang yang tidak wajar. Atau secara internal dipasol oleh perusahaan mereka sendiri. Nah, hal itulah yang tidak dapat diketahui lantaran mekanismenya tidak diatur dalam IUPK dan kontrak karya. “Padahal, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahan tambang merupakan salah satu faktor pengurangan pajak dan royalti yang dapat diterima negara,” ujarnya di Gedung DPR, Jumat (12/6).

Ia pun mempertanyakan akuntan publik yang digunakan jasanya oleh Freeport. Setidaknya, laporan akuntan publik mesti diuji oleh pemerintah. Selama ini, publik tidak pernah mengetahui hasil laporan akuntan publik, apakah terdapat inefisiensi atau sebaliknya. Pasalnya seleuruh biaya dari perusahaan tambang itu menjadi faktor pengurangan dari potensi pajak dan royalti yang diterima negara.

Menelisik kondisi seperti itulah Kurtubi mendesak agar segera dilakukan pembahasan revisi terhadap UU No.4 Tahun 2009. Pasalnya dengan dilakukan percepatan pembahasan revisi UU Minerba, dapat mewujudkan cita-cita negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945.

“Bahwa seluruh kandungan bumi dan air dan kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menilai keinginan pemerintah mendorong penerimaan negara dari hasil kekayaan alam yang sebesar-besarnya sebagaimana amanat konstitusi dengan merevisi UU Minerba sebuah keniscayaan. Sebaliknya, dengan mengubah kontrak karya Freeport menjadi IUPK bukanlah sebuah solusi yang tepat.

“IUPK itu bukan jawaban untuk memperbaiki penerimaan negara. Perbaikan undang-undang ini harus sedekat mungkin dengan UUD pasal 33,” katanya.

Revisi terhadap UU Minerba masuk dalam Prolegnas prioritas 2015. Merevisi UU Minerba merupakan usulan dari Komisi VII dan Komite II DPD. Namun, hingga kini belum juga rampung penyelesaian naskah akademiknya. Wakil ketua Baleg Firman Subagyo mengatakan naskah akademik dan draf RUU tersebut belum diserahkan ke Baleg. Namun Komisi VII masih melakukan penyusunan dan perbaikah naskah akademik dan draf RUU tersebut.

Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI, Syaikhul Islam Ali,mengingatkan renegosiasi KK Freeport seharusnya dibahas tahun 2019 atau dua tahun sebelum kontraknya habis pada tahun 2021. Ia pun menyayangkan langkah memperpanjang operasi Freeport melalui pemberian IUPK pada tahun 2015 ini. Menurutnya, hal ini mengindikasikan kebijakan yang sarat dengan kepentingan Freeport.

“Kontrak Karya Freeport itu dibahasnya tahun 2019, kok sekarang sudah mau di perpanjang. Saya ingatkan lagi agar pak Jokowi hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat. Bukan malah kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara yang tunduk pada perusahaan asing,” ujarnya.

Menurut Syaikhul, keputusan Presiden itu nantinya bisa berdampak luas. Ia menilai, perpanjangan izin Freeport akan menuai kekeewaan banyak pihak. Dirinya yakin, tidak hanya DPR yang akan kecewa tetapi publik pun akan ramai mempertanyakan hal itu.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, juga mengkritisi perubahan status perizinan PT Freeport Indonesia sebagai sebuah bentuk penyelundupan hukum. Dia khawatir perubahan bentuk perizinan Freeport dari kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan siasat pemerintah memberi perpanjangan usaha bagi Freeport Indonesia. Pasalnya, kontrak karya Freeport tidak bisa diperpanjang lagi pascaberakhir di 2021.

Hikmahanto mengatakan, pemerintah seharusnya mengacu pada UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menghormati kontrak karya hingga habis masa berlakunya. Dengan demikian, menurut Hikmahanto, pasca berakhir kontrak Freeport Indonesia, tidak ada perpanjangan usaha yang diberikan. Bukan dengan merubah pola hubungan kerja dengan Freeport dari kontrak karya ke IUPK.
"Secara moral perubahan IUPK ini kan tidak benar karena harusnya selesai 2021 dulu. Kalau rakyat setuju diperpanjang ya diperpanjang. Kalau tidak setuju, ya selesai. Jadi penyelundupan hukum itu secara hukum sah,tapi secara moral tidak benar," ujarnya, Kamis (11/6).

Terkait dengan hal itu, Hikmahanto meminta Presiden Joko Widodo agar berhati-hati dengan perubahan status PT Freeport Indonesia. Pasalnya,aspirasi masyarakat menginginkan pemerintah mengambil alih Freeport pascakontrak berakhir di 2021. Sementara itu, berdasarkan Pasal 83 huruf (g) UU Minerba, status IUPK Freeport memberi izin operasi hingga 20 tahun.

“Presiden tentu memiliki risiko ketika mengambil keputusan yang bertentangan dengan aspirasi mayoritas rakyat,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait