Gejolak Politik Picu Terjadinya Pelanggaran HAM
Berita

Gejolak Politik Picu Terjadinya Pelanggaran HAM

Mulai dari tindak kekerasan sampai penghilangan paksa.

ADY
Bacaan 2 Menit
Gejolak Politik Picu Terjadinya Pelanggaran HAM
Hukumonline

Mantan anggota Komnas HAM periode 2007-2012, Joseph Adi Prasetyo, mengatakan gejolak politik sebagai salah satu pemicu terjadinya pelanggaran HAM. Bentuk pelanggarannya mulai dari tindak kekerasan sampai pembunuhan atau penghilangaan orang secara paksa.

Khusus untuk penghilangan orang secara paksa, pria yang akrab disapa Stanley itu mengulas dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hal itu tergolong sebagai pelanggaran HAM berat.

Bahkan Komisi Hukum Internasional, Stanley melanjutkan, mengategorikan penghilangan orang secara paksa sebagai kejahatan kemanusiaan karena kekejamannya sangat ekstrim.

Mengacu pada UU Pengadilan HAM, penghilangan orang secara paksa adalah tindakan penangkapan, penahanan atau penculikan seseorang atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi. Serta diikuti dengan penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut. Menurut Stanley, ketentuan itu diadopsi dari Statuta Roma.

Stanley menegaskan, mengacu UU Pengadilan HAM, kejahatan penghilangan orang secara paksa dapat dituntut surut sebelum diberlakukannya UU Pengadilan HAM. Mengacu aturan itu maka di Indonesia tak sedikit kasus penghilangan paksa yang harus diungkap kebenarannya untuk mewujudkan keadilan bagi para korban dan keluarganya.

Lagi-lagi Stanley menyebut gejolak politik yang memicu maraknya kejahatan penghilangan orang secara paksa di Indonesia. Dia mencatat, sejak Indonesia merdeka, berbagai macam kasus penghilangan paksa terjadi, puncaknya berlangsung sekitar tahun 1965 ketika rezim orde baru mulai berkuasa.

Pasca peristiwa itu, berbagai macam kasus penghilangan paksa terus terjadi. “Penghilangan orang secara paksa terjadi secara masif di zaman orde baru,” kata dia dalam acara peluncuran buku yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Rabu (6/2).

Sedikitnya Stanley mencatat terdapat 11 kasus pelanggaran HAM terkait penghilangan orang secara paksa di era Orde Baru. Yaitu tragedi pembunuhan massal 1965, penumpasan PGRS/PARAKU, DOM Aceh, DOM Papua, Tanjung Priok, Operasi Timtim, Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985, Talangsari 1989, Usroh 1988–1989, 27 Juli 1996 dan penghilangan aktivis 1998.

Namun, dari berbagai peristiwa itu, paling tragis terjadi pada peristiwa pembunuhan massal 1965. Pasalnya, jumlah korban sangat banyak dan menimpa bukan hanya rakyat biasa, tapi pejabat pemerintah. Seperti Gubernur Bali, Sutedja, menjadi korban penghilangan orang secara paksa.

Selama menjadi anggota Komnas HAM, Stanley mengatakan lembaga yang fokus mengurusi soal HAM itu telah berupaya untuk menjalankan amanat UU Pengadilan HAM. Yaitu melakukan berbagai penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat, termasuk sebagian peristiwa yang terjadi di masa Orde Baru itu. Sebagian penyelidikan yang telah diselesaikan, sudah disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. “Tinggal menunggu digelarnya Pengadilan HAM,” katanya.

Monopoli Sejarah
Pada kesempatan yang sama, Sekjen Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Ade Munajat, menyebut sejarah yang ada di Indonesia dan disajikan kepada masyarakat selama ini masih didominasi oleh kisah kaum pembesar, penguasa, ksatria, tindak kepahlawanan dan romantisme. Ujungnya, rakyat tak punya ruang dalam literatur sejarah di Indonesia. Walau begitu, Ade menyebut masih ada sejarawan yang melawan arus dan membawa perubahan metodologi penulisan sejarah. Misalnya, Sartono Kartodirdjo dengan karyanya berjudul “Pemberontakan Petani Banten 1888.”

Pandangan penulisan sejarah baru itu menurut Ade mulai menggeser paradigma penulisan sejarah dari politis militer ke sosial. Tapi, semasa Orde Baru, pemerintah memonopoli sejarah dengan cara membatasi tafsir atas peristiwa masa lalu. Alhasil, hanya ada satu tafsir sejarah yaitu versi pemerintah. Sementara fakta-fakta sejarah penting yang harus disampaikan kepada masyarakat, namun bertentangan dengan tafsir pemerintah, disingkirkan. “Sejarah dalam konteks itu telah dikooptasi dan diarahkan untuk mengharumkan nama penguasa,” tegasnya.

Tapi dengan bermunculannya sejarawan kritis, Ade mengatakan penulisan sejarah di Indonesia menuju perubahan positif. Perkembangan teknologi informasi mempermudah masyarakat mengakses banyak informasi sejarah dari berbagai versi. Pria yang berprofesi sebagai guru sejarah di SMAN 1 Cibadak, Sukabumi, itu mengatakan perkembangan pelurusan dan penjernihan sejarah sudah mulai aktif di ruang-ruang kelas di sekolah. “Kelas jadi riuh dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seputar isu sejarah kontroversial,” ungkapnya.

Sebagai seorang pengajar, Ade melihat sangat penting penyelesaian kasus sejarah masa lalu untuk memberi dampak positif kepada anak didik dan masyarakat luas. Misalnya dalam kasus Tragedi 1965, Gubernur Sulawesi Selatan dan Walikota Palu mengawali proses pemulihan para korban dan keluarganya dengan meminta maaf. “Perilaku terpuji itu dapat ditiru,” pungkasnya.

Tags: