Gayus Lumbuun: Presiden Perlu Terbitkan Perppu Benahi Lembaga Peradilan
Berita

Gayus Lumbuun: Presiden Perlu Terbitkan Perppu Benahi Lembaga Peradilan

Indonesia mesti mencontoh negara Ukraina mereformasi kultur hakim. Potong generasi, munculkan hakim-hakim muda berintegritas. Presiden tak boleh diam membiarkan negara terjebak dalam kondisi korup.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Hakim agung Prof. Topane Gayus Lumbuun. Foto: SGP
Hakim agung Prof. Topane Gayus Lumbuun. Foto: SGP
“Carut marut yang menggemparkan, saya berpikir presiden harus segera menerbitkan Perppu untuk pembenahan lembaga MA dan pencari keadilan”. Pernyataan itu keluar dari bibir hakim agung Prof Topane Gayus Lumbuun dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (26/5).  Nada geram akibat lembaga tempatnya bernaung seperti tertampar akibat serangkaian ulah oknum hakim dan PNS berada di lingkaran korupsi.

Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi bagi pencari keadilan berada di titik nadir. Belum rampung rentetan kasus yang menyandung Kasubdit Kasasi dan PK Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA, Andri Tristanto Sutisna, Sekretaris Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, kemudian menukik ke arah Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, wajah lembaga itu kembali dicoreng ulah Kepala PN Kepahiang Bengkulu Janner Purba dan hakim ad hoc Tipikor Bengkulu Toton.

Hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ di muka bumi, mestinya terhindar bukan sebaliknya mendekat perbuatan tercela, bahkan pidana. Gayus menilai beruntunnya penangkapan ‘warga’ lembaga peradilan menjadi sebuah kegoncangan besar dalam dunia peradilan. Betapa praktik mafia peradilan dipertunjukkan secara gamblang di hadapan publik. Persoalan penataan kelembagaan menjadi bagian permasalahan yang mesti dibenahi. Ironisnya, kata Gayus, di saat Janner tertangkap KPK, ia sedang dalam status promosi oleh Tim Promosi dan Mutasi (TPM) Mahkamah Agung.

Mekanisme penunjukkan seseorang pemimpin PN dan Pengadilan Tinggi (PT) di daerah mestinya ditentukan berdasarkan pengalaman jam terbang kedinasan dan jejak rekam mulai dari tingkat bawah. Selain itu, pimpinan MA mesti tegas dalam mengatur administrasi. Pola seperti itulah mestinya dilakukan ketat dalam mempromosikan termasuk memutasi seorang hakim.

“Hakim itu cerdas, hakim tinggi dan hakim agung jarang ketangkap, kecuali sial saja. Tukang parkir bisa saja menjadi perantara,” ujar mantan anggota Komisi III DPR itu.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, Indonesia mestinya mencontoh negara Ukraina. Pecahan negara Uni Sovyet itu berhasil melakukan reformasi lembaga peradilan dari praktik judicial corruption. Ukrania melakukan survey ke publik dan hasilnya 71,6 persen menyatakan hakim-hakim di negara tersebut berlaku korup. Dengan tindakan radikal, 5 ribu dari 10 ribu sekian hakim terindikasi korup diwajibkan menjalani tes ulang menjadi hakim.

“Hasilnya Ukraina sekarang menjadi negara di eropa yang lembaga peradilannya sangat baik. Reformasi peradilannya lebih berkembang ketimbang politiknya,” ujarnya.

Sementara, MA di Indonesia sebenarnya telah membuat blue print pembaharuan peradilan, antara lain telah membuat sistem informasi perkara di MA. Meski tidak rinci, setidaknya masyarakat dapat mengetahui dan memantau perkembangan penanganan perkara. Namun di bidang kultural, MA masih jauh dari kata reformasi.  Pekerjaan rumah lembaga pimpinan Hatta Ali memang segudang. Tak saja penanganan perkara, namun pembenahan internal menjadi pekerjaan berat.

“Fenomena di MA itu fenomena gunung es. DPR juga geregetan melihat MA dalam reformasi kultural ini minimal sekali. MA belum pernah melakukan pemecatan hakim agung. Kalau DPR pernah memecat anggota dewan. Kalau tidak dipecat minimal dinonpalukan,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Anggota Ombudsman Laode Ida menilai miris kondisi dunia peradilan di Tanah Air. Oknum hakim di lembaga peradilan yang mestinya memberikan pelayan terhadap masyarakat pencari keadilan justru mengkhianati amanah yang diberikan UU. Pembenahan lembaga peradilan mesti dimulai dari proses rekrutmen secara transparan. Bahkan, perkara di Mahkamah Agung mestinya dimulai dengan cara terbuka. Hal itu ditengarai dapat membuka ruang tawar menawar di belakang meja.

Ironisnya, perkara yang ditangani MA tidak ada batasan waktu. Sebagai pelayan masyarakat mestinya MA membuat ukuran dan standar penyelesaian setiap perkara. Dengan begitu, masyarakat pencari keadilan tidak menunggu terlampau lama dalam mendapatkan kepastian dan keadilan hukum.

“Pelayanan MA harusnya memberikan pelayanan publik yang standar dan terukur. Berapa lama perkara itu diputus. Saya kira lembaga yang tidak memberikan standar pelayanan publik adalah lembaga peradila,” ujarnya.

Mantan Wakil Ketua DPD periode 2009-2014 itu mengatakan negara mesti membuat terobosan radikal seperti halnya Ukraini. Indonesia pun sedang mengalami darurat penegakan hukum. “Amputasi dari atasannya. Para hakim ini disingkirkan saja dahulu, kemudian munculkan hakim muda yang berintegritas. Presiden tidak boleh diam dan membiarkan negara terjebak dalam kondisi korup,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait