Memahami Gaslighting dan Kemungkinan Jerat Hukum Bagi Pelakunya
Terbaru

Memahami Gaslighting dan Kemungkinan Jerat Hukum Bagi Pelakunya

Gaslighting adalah salah satu bentuk kekerasan psikis. Istilah ini mulai akrab di telinga beberapa waktu belakangan ini. Lalu, adakah sanksi hukumnya?

Tim Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi gaslighting. Sumber: pexels.com
Ilustrasi gaslighting. Sumber: pexels.com

Sering dengar istilah gaslighting dalam sebuah hubungan? Bentuk kekerasan psikis yang satu ini sering kali diacuhkan korban. Padahal, akibatnya sangat besar dan merugikan. Apa itu gaslighting?

Pengertian Gaslighting

Gaslighting adalah kekerasan psikis berupa tindakan atau upaya manipulasi pikiran yang menyebabkan seseorang meragukan perasaan atau peristiwa yang dialaminya. Dalam psikologi gaslighting adalah kekerasan emosional yang menyerang kondisi psikologis atau emosional korban dan membuatnya merasa tidak percaya diri, tidak yakin, dan membuat korban terus mempertanyakan sudut pandang atau kewarasan mereka.

Laura Thomas dalam jurnal Gaslight and Gaslighting menerangkan bahwa istilah gaslighting muncul pada 1938, terinspirasi dari lakon Gas Light karya Patrick Hamilton yang difilmkan oleh Alfred Hitchcock.

Gas Light mengisahkan seorang suami manipulatif yang mencoba membuat istrinya merasa kehilangan akal sehat. Sang suami melakukan upaya-upaya perubahan kecil di lingkungan sekitar mereka, sekecil meredupkan api pada lampu gas.

Tidak hanya itu, ia juga melecehkan istrinya, mengendalikannya, juga memisahkan istrinya dari keluarga dan teman-temannya. Akibatnya, sang istri percaya bahwa dirinya gila dan tidak yakin akan dirinya sendiri. Sang istri terus merasa tidak nyaman dan tidak yakin mana yang benar atau salah. 

Tindakan pengendalian yang dilakukan dengan sikap manipulatif, seperti dalam lakon Gas Light inilah yang dimaksud dengan arti gaslighting. Kemudian, pelakunya dikenal sebagai gaslighter.

Contoh Gaslighting

Kekerasan psikis jenis ini bisa terjadi kepada siapa saja dalam jenis hubungan apa pun. Bisa dilakukan orang tua pada anaknya, dilakukan pasangan, dilakukan suami ke istrinya, atau bahkan gaslighting diri sendiri, dan lain sebagainya. Untuk memperjelas, contoh-contoh gaslighting adalah sebagai berikut:

Contoh gaslighting dalam hubungan percintaan: menyangkal semua hal yang dituduhkan pasangan dan menolak ajakan korban untuk berdiskusi; “Nggak gitu. Itu cuma perasaan kamu, doang!”

Contoh gaslighting dalam pertemanan: meremehkan emosi korban dan menuduhnya selalu bereaksi dengan berlebihan; “Ih, baper banget deh lo. Kan gue cuma nanya, nggak usah sewot kali.”

Contoh gaslighting dalam hubungan rumah tangga: meyakinkan korban bahwa dirinya adalah orang linglung, suka mengada-ada, dan sulit mengingat sesuatu; “Nggak usah buat-buat omongan deh. Kamu selalu gitu, inkonsisten. Apa-apa lupa dan suka buat-buat omongan sendiri!”

Contoh gaslighting pada anak oleh orang tua: meyakinkan korban bahwa dirinya tidak bisa mengambil keputusan sendiri dan apa yang dilakukannya selalu salah; “Jangan gitu, nggak baik buat kamu. Pilih ini aja, duh kamu kebiasaan deh nggak bener tiap ngerjain sesuatu.”

Apakah Gaslighting Melanggar Hukum?

Sebagian hubungan tidak dapat diakhiri dengan mudah. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban.

Sebagai bentuk kekerasan psikis yang merugikan korban, terdapat sejumlah ketentuan hukum yang mungkin menjerat pelaku gaslighting. Jerat hukum ini disesuaikan dengan bentuk hubungan antara pelaku dan korban.

Sebagai contoh, jika antara pelaku dan korbannya terikat hubungan keluarga, pelaku mungkin dijerat dengan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pasal 5 UU PKDRT menerangkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga.

Dilanjutkan dalam Pasal7 UU PKDRT, kekerasan psikis yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Apa sanksi atau jerat hukum dari gaslighting dalam rumah tangga? Pasal 45 ayat (1) UU PKDRT menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp9 juta.

Kemudian, Pasal 45 ayat (2) UU PKDRT juga menerangkan bahwa apabila tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, pelaku kekerasan psikis dipidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp3 juta.

Ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU PKDRT ini merupakan delik aduan. Artinya, pelaku hanya dapat diproses apabila terdapat pengaduan dari korban.

Gaslighting juga dapat menyasar anak sebagai korbannya, dan termasuk pada kekerasan kepada anak. Pasal 1 angka 16 UU 35/2014 mengartikan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Merujuk definisi tersebut, gaslighting pada anak juga termasuk perbuatan pelanggaran hukum. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Bilamana melanggar, Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 menerangkan bahwa sanksinya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.

Pasal 80 ayat (4) UU 35/2014 menambahkan bahwa pidana akan ditambah sepertiga dari ketentuan jika penganiayaan atau kekerasan dilakukan oleh orang tua korban.

Cara Mengatasi Gaslighting 

Ada beberapa cara yang bisa seseorang lakukan untuk mengatasi gaslighting, antara lain:

  1. Menyimpan bukti 

Simpanlah “bukti” atau hal-hal yang sekiranya penting. Apabila mulai ragu dengan diri sendiri, termasuk mulai mempertanyakan segala hal, bukti-bukti yang disimpan bisa membantu dalam pengambilan keputusan. Bukti tersebut juga bisa menjadi pengingat akan pencapaian panjang yang sudah dilalui agar korban tidak terus merasa rendah diri.

  1. Cari opsi lain 

Jangan langsung percaya pada penilaian satu orang, terlebih jika penilaian tersebut malah memojokkan. Carilah orang lain yang bisa diajak diskusi. Cari sebanyak-banyaknya insight agar korban mendapat penilaian yang objektif serta saran yang membangun.

  1. Menentukan batas

Setiap hubungan harus memiliki batas. Utarakan pada setiap lawan bicara bahwa ada batas yang telah ditentukan dan tidak boleh dilanggar. Katakan bahwa setiap pelanggaran batas bukan hal yang bisa diterima.

  1. Menjaga jarak

Cara ini mungkin berat untuk dilakukan. Namun, menjauhkan diri dari sumber masalah adalah cara paling baik untuk melindungi diri sendiri.

  1. Akhiri hubungan

Bila menjaga jarak tidak efektif dilakukan, tidak ada pilihan selain mengakhiri hubungan toksik tanpa akhir.

Tags:

Berita Terkait