Garuda Digugat Gara-Gara Tak Memberi Makanan Ringan
Utama

Garuda Digugat Gara-Gara Tak Memberi Makanan Ringan

Pihak Garuda beralasan tidak memberi makanan ringan karena para penumpang telah memasuki pesawat dan akan segera take off.

CR-26
Bacaan 2 Menit
PT Garuda Indonesia Airlines Tbk. Foto: Sgp
PT Garuda Indonesia Airlines Tbk. Foto: Sgp

PT Garuda Indonesia kembali digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena tidak memberi makanan ringan kepada penumpang pesawat saat mengalami keterlambatan penerbangan. Gugatan tersebut telah dilayangkan ke PN Jakarta Pusat dengan Nomor 198/Pdt.G/2018/PN.JKT.PST oleh David Tobing yang merupakan penumpang sekaligus Ketua Konsumen Indonesia (KKI).

 

Dalam keterangannya, David merasa dirugikan karena tidak mendapatkan kompensasi berupa makanan ringan atas keterlambatan penerbangan selama 70 menit pada pesawat dengan rute Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta–Batu Besar Hang Nadim, Batam. Baca Juga: Putusan MA Sola Outsourcing Penjualan Tiket Pesawat Jadi Perdebatan

 

Padahal, penerbangan yang dilakukan pada hari Selasa (27/3/2018) tersebut seharusnya sudah lepas landas pada pukul 09.10 WIB. Namun, penerbangan tersebut mengalami beberapa kali keterlambatan hingga kemudian baru melakukan block off meninggalkan tempat parkir pesawat (apron) pada pukul 10.20 WIB dan baru lepas landas (take-off) pada pukul 10.45 WIB.

 

Akibat peristiwa tersebut, menurut David, para penumpang seharusnya mendapatkan kompensasi berupa makanan ringan karena pesawat Garuda Indonesia yang ditumpanginya mengalami keterlambatan penerbangan selama lebih dari 60 menit atau kategori dua.

 

Pemberian kompensasi kepada para penumpang memang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Indonesia Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Isi peraturan tersebut mengharuskan maskapai penerbangan bertanggung jawab memberikan kompensasi sesuai dengan kategorinya.

 

Dalam kasus ini, David menilai Garuda Indonesia harus bertanggung jawab kepada penumpang berupa makanan ringan karena keterlambatan penerbangan selama lebih dari 60 menit atau kategori dua.

Pasal 9 ayat (1) Permenhub 89 Tahun 2015  

(1) Badan Usaha Angkutan Udara wajib memberikan kompensasi sesuai dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa:

a. keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan;

b. keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan {snack box);

c. keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal);

d. keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box), makanan berat (heavy meaty;

e. keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);

f. keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket); dan

g. keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket)

 

Namun, hingga penumpang memasuki pesawat, pihak Garuda Indonesia tidak memberikan kompensasi tersebut. David menyayangkan sikap Garuda yang dinilai tidak bertanggung jawab memenuhi hak-hak penumpang.

 

Karena itu, Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan terbesar di Indonesia seharusnya menjadi contoh bagi maskapai penerbangan lain untuk taat hukum dengan melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak penumpang selaku konsumen ketika terjadi keterlambatan penerbangan (flight delayed) sesuai Permenhub 89 Tahun 2015. “Dalam kasus ini memberikan makanan ringan akibat keterlambatan penerbangan selama 70 menit,” kata David.

 

Pengacara publik spesialis perlindungan konsumen ini juga menilai, pihak Garuda Indonesia telah lalai memberi informasi yang benar mengenai keterlambatan dan kepastian penerbangan yang seharusnya diberitahukan kepada penumpang paling lambat 45 menit sebelum jadwal keberangkatan. Menurutnya, kewajiban tersebut kerap diabaikan maskapai penerbangan, sehingga penumpang tidak mendapat kepastian mengenai perubahan jadwal penerbangan.

 

“Modusnya bermacam macam, ada yang memberikan informasi sepenggal-penggal. Misalnya, disampaikan pertama akan terlambat 25 menit, namun setelah 25 menit berlalu disampaikan lagi akan terlambat 25 menit lagi. Atau ada yang menaikan penumpang ke pesawat agar ‘ditenangkan’ terlebih dulu, tetapi di dalam pesawat masih menunggu puluhan menit baru berangkat,” ungkapnya.

 

Lebih jauh, dia mengatakan definisi keterlambatan adalah perbedaan waktu antara jadwal keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasinya. Waktu keberangkatan atau kedatangan yaitu pada saat pesawat block off meninggalkan tempat parkir pesawat (apron) atau block on dan parkir di apron bandara tujuan. Konsumen berhak atas informasi yang jelas tentang jadwal keberangkatan dan jadwal tiba di tempat tujuan.

 

"Jadi kalau ada keterlambatan keberangkatan ataupun keterlambatan kedatangan di tempat tujuan, penumpang harus diberikan kompensasi baik waktu sebelum berangkat ataupun setelah tiba di tempat tujuan,” kata David.

 

Atas kondisi tersebut, David mengatakan Garuda Indonesia telah melanggar beberapa ketentuan dalan Permenhub 89 Tahun 2015. “Saya mengajukan gugatan ini selain untuk menuntut hak-hak saya selaku konsumen juga sebagai pendidikan bagi seluruh pelaku usaha penerbangan agar tidak mengabaikan kewajibannya dan hak-hak konsumen,” katanya.

 

Dalam petitum gugatannya, David meminta pengadilan menyatakan Garuda Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Garuda untuk memberikan makanan ringan kepada penumpang.

 

Sedang menginvestigasi

Menanggapi gugatan tersebut, pihak Garuda Indonesia sedang menginvestigasi mengenai kronologis penyebab keterlambatan tersebut. Vice President Corporate Secretary & Investor Relations Garuda Indonesia, Hengki Heriando mengatakan keterlambatan penerbangan biasanya dipengaruhi kesiapan lalu lintas pesawat di bandara.

 

“Saat ini kami masih melakukan investigasi kronologis kejadiannya seperti apa? Info yang saya dapat saat ini, penumpang sudah masuk ke pesawat. Pesawat untuk bisa pushback juga bukan hanya dari Garuda saja, tetapi menunggu instruksi dari Air Traffic Control (ATC),” kata Hengki kepada Hukumonline.

 

Menurut Hengki, pihak maskapai tidak wajib memberi kompensasi atas keterlambatan tersebut. Namun, Hengki mengaku Garuda kerap memberi kompensasi kepada para penumpang meski terjadi keterlambatan di bawah 60 menit. “Walaupun keterlambatan setengah jam kami juga memberi kompensasi minuman ringan kepada semua passanger. Dalam praktiknya, keterlambatan yang disebabkan di luar airline, seperti bencana alam dan cuaca kami pun tetap memberikan kompensasi,” terangnya.

 

Dalam kasus ini, Hengki beralasan tidak memberi makanan ringan karena para penumpang telah memasuki pesawat. Dia khawatir kalau keterlambatan menjadi satu jam, maka penundaan menjadi lebih lama. “Kalau kami buat jadi keterlambatan satu jam delayed-nya jadi makin lama. Enggak mungkin juga kami bagikan di dalam, orang udah mau take off, masa kami bagikan makanan (ringan) di dalam,” dalihnya.

Tags:

Berita Terkait