Gandeng GHP Law Firm, Hukum Bisnis Internasional Universitas Prasetiya Mulya Bekali Mahasiswa Pemahaman UU PDP
Terbaru

Gandeng GHP Law Firm, Hukum Bisnis Internasional Universitas Prasetiya Mulya Bekali Mahasiswa Pemahaman UU PDP

Universitas Prasetiya Mulya telah menjadikan subjek digital and cyber security law sebagai mata kuliah wajib.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
 Usai kegiatan diskusi interaktif, mahasiswa Hukum Bisnis Internasional Univesitas Prasetiya Mulya berfoto bersama di Kantor GHP Law Firm, Selasa (28/6/2023). Foto: JAN
Usai kegiatan diskusi interaktif, mahasiswa Hukum Bisnis Internasional Univesitas Prasetiya Mulya berfoto bersama di Kantor GHP Law Firm, Selasa (28/6/2023). Foto: JAN

Kegiatan diskusi interaktif antara mahasiswa dan praktisi hukum membahas pentingnya implementasi pelindungan data pribadi digelar hasil  kolaborasi Fakultas Hukum (FH) Universitas Prasetya Mulya bersama GHP Law Firm. Tujuan acara tersebut memberikan pemahaman mendalam bagi mahasiswa terkait isu privasi dan pelindungan data pribadi pasca disahkannya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

Partner dari Guido Hidayanto & Partner (GHP) Law Firm, Naufal Fileindi  sebagai pemateri kegiatan diskusi tersebut mengatakan, aktivitas masyarakat saat ini tidak dapat dilepaskan dari teknologi internet yang membutuhkan data pribadi seseorang. Kegiatan bisnis seperti e-commerce, fintech, e-money mengharuskan seseorang menyerahkan data pribadi kepada pengendali data seperti korporasi, sebelum dapat digunakan penggunanya.

Kehadiran UU 27/2022 menjadi penting sebagai aturan main dalam penggunaan data pribadi seseorang. Terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dipatuhi, khususnya bagi setiap pihak seperti subjek, pengendali dan prosesor data. Selain itu, terdapat sanksi saat pelanggaran pelindungan data pribadi terjadi. Naufal menekankan pentingnya bagi korporasi memerhatikan aturan sanksi yang terdapat pada UU 27/2022.  

“Sanksi bisa macam-macam, bahkan ada pidananya juga. Yang perlu diperhatikan adalah adanya sanksi denda, meskipun dari segi nominal tidak market practice, tetapi uang tetaplah uang, dan hal tersebut harus menjadi perhatian perusahaan,” ujarnya kepada Hukumonline, Selasa (28/6/2023).

Baca juga:

Pengaturan sanksi diatur dalam Pasal 67 UU 27/2022. Seperti ayat (1) menyebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000”.

Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengunglapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000”.

Sementara ayat (3) menyebutkan, “Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000”.

Nah melihat betapa besarnya kebutuhan terhadap pelindungan data pribadi, Naufal menyampaikan GHP Law Firm memiliki divisi yang fokus pada layanan hukum digital dan kekayaan intelektual. Menurut Naufal transformasi teknologi digital yang semakin masif mengakibatkan aktivitas masyarakat beralih dari fisik menjadi virtual sehingga aspek hukum semakin tinggi dibutuhkan.

Hukumonline.com

Ridha Aditya Nugraha memberikan plakat secara simbolis kepada Partner dari Guido Hidayanto & Partner (GHP) Law Firm, Naufal Fileindi. Foto: JAN

Dia menekankan pentingnya bagi lawyer agar terus mengikuti perkembangan mempelajari teknologi baru yang sedemikian cepat pergerakannya. Dengan demikian lawyer dapat memahami cara kerjanya secara baik. Pengetahuan tersebut sangat dibutuhkan saat lawyer memberikan nasihat hukum kepada kliennya.

“Harus banyak belajar dan mengerti digital technology. Misalnya, mau kasih advice soal peer to peer (P2P) lending, crypto asset tapi enggak pernah menggunakannya maka tidak akan bisa. Jadi, mau enggak mau (lawyer, red) harus jadi pelakunya,” ujarnya.

Sementara itu, dosen Hukum Bisnis FH Universitas Prasetiya Mulya, Ridha Aditya Nugraha menekankan pentingnya pengajaran digital law maupun cyber security law kepada mahasiswa disiplin ilmu hukum. Bahkan, Universitas Prasetiya Mulya telah menjadikan subjek digital and cyber security law sebagai  mata kuliah wajib. Dengan kesempatan bertemu praktisi hukum pada bidang tersebut, maka mahasiswa dapat belajar secara langsung mengenai aturan main pelindungan data pribadi.

“Tujuan kami adalah untuk menciptakan jaringan langsung antara mahasiswa dan praktisi hukum, serta memperkenalkan mereka satu sama lain. Kami ingin menghubungkan antara akademisi dan praktisi, sehingga kita dapat saling belajar dan berbagi pengetahuan,” ujarnya.

Ridha Aditya menekankan dengan munculnya berbagai kasus soal pelindungan data pribadi maka pihak universitas dapat berperan dalam kajian riset akademis yang dapat membantu perkembangan hukum. Dia berharap mahasiswa yang memiliki minat dengan disiplin ilmu hukum digital dan keamanan siber dapat langsung berkontribusi bagi masyarakat saat lulus kuliah.

“Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini memasuki dunia pendidikan di tengah maraknya kebocoran data dan saat UU PDP disahkan. Mereka merupakan generasi yang secara langsung terlibat dalam proses perubahan dari rancangan menjadi hukum positif. Mereka siap untuk memanfaatkan momentum ini, karena menjadi data protection officer merupakan peluang yang luas jika mau memanfaatkan momentum ini,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait