Galang Pansus Peraturan KPU Larang Eks Napi Nyaleg Dinilai Berlebihan
Berita

Galang Pansus Peraturan KPU Larang Eks Napi Nyaleg Dinilai Berlebihan

Substansi pembatasan larangan mantan koruptor nyaleg semestinya memang ditegaskan/diatur dalam UU Pemilu.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang isinya antara lain melarang mantan narapidana kasus korupsi nyaleg menuai polemik. Ancaman bakal digulirkannya pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket sudah mulai disuarakan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Namun, sebagian kalangan di parlemen menilai rencana tersebut berlebihan.

 

Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai langkah KPU dalam membuat aturan larangan mantan napi korupsi nyaleg sebagai ikhtiar dalam menciptakan parlemen yang bersih. semestinya, aturan tersebut didukung oleh semua kalangan. Meski Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) belum mengundangkannya menjadi peraturan yang sah dan dicatatkan dalam lembaga negara, tetap mesti dihormati.

 

Bila terdapat partai yang mengajukan kadernya yang notabene pernah menjadi narapidana kasus korupsi misalnya, kemudian ditolak KPU, maka dapat mengajukan proses gugatan ke Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu). Lembaga Bawaslu nantinya memutuskan apakah dibenarkan tidaknya penolakan tersebut oleh KPU. Proses peraturan KPU yang sudah ditetapkan KPU mesti tetap diawasi dan dicermati publik, meski niatnya positif bagi kebaikan parlemen.

 

Menurut Zulkifli, pembentukan Pansus Angket Peraturan KPU tidaklah diperlukan. Mantan Menteri Kehutanan era Presiden Susilo Bambang Yudhyono itu menilai partai yang memaksakan kadernya yang mantan napi korupsi misalnya, untuk maju pencalegan bakal dinilai publik perihal pro pemberantasan korupsi, atau sebaliknya. Menurutnya bila terdapat banyak caleg yang berstatus mantan narapidana korupsi bakal berujung lembaga DPR menjadi sasaran cibiran masyarakat.

 

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menambahkan semangat Peraturan KPU 20/2018 sebagai upaya pencegahan untuk menjaga marwah lembaga legislatif. Setidaknya, memberi efek jera bagi mantan narapidana untuk tidak dapat mencalonkan sebagai anggota legislatif. Nah semangat tersebut bagi Fadli mesti dituangkan dalam aturan tertulis dan menjadi payung hukumnya.

 

Karena itu, rencana pembentukan Pansus Angket Peraturan KPU tak boleh sembarangan. Lagi pula, mengatasi persoalan yang masih menuai polemik tersebut dapat dilakukan koordinasi dengan para pemangku kepentingan. Yakni Kemenkumham, Bawaslu, KPU dan DPR. “Kita kaji dululah, dan masih bisa dikomunikasikan bisa melakukan hal-hal lain. Kita hargai semangatnya,” kata Fadli. Baca Juga: KPU: Tanpa Pengesahan Menkumham Peraturan KPU Tetap Berlaku

 

Terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai penolakan sebagian kalangan DPR terhadap Peraturan KPU 20/2018  dengan alasan prosedur membingungkan. Padahal substansi dari Peraturan KPU terkait larangan napi korupsi nyaleg menjadi acuan DPR dalam membuat prosedur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

 

“Mereka ngotot menolak Peraturan KPU hanya karena menyalahi prosedur. Padahal sebagai regulator, urusan prosedur ini juga menjadi tanggung jawab DPR,” kritiknya.

 

Menurutnya, substansi pembatasan larangan mantan koruptor nyaleg semestinya ditegaskan melalui UU Pemilu dengan tidak menyerahkan urusan pembatasan angka ancaman hukuman 5 tahun ke atas dan ke bawah. Padahal, DPR belakangan menolak dan menyudutkan KPU dengan alasan tidak konsistennya dalam mensinkronkan substansi dengan prosedur.

 

Dia menilai menjadi ricuh dan gaduh ketika DPR mendorong untuk menggunakan hak angket mempertanyakan Peraturan KPU, khususnya larangan mantan napi nyaleg. “Jangan sampai Hak Angket yang mestinya sangat berwibawa pada dirinya direndahkan dan dijadikan ‘mainan politik murahan’ oleh DPR,” ujarnya.

 

Koordinasi bahas implementasi

Ketua DPR Bambang Soesatyo berharap agar Kemendagri dan Kemenkumham berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu dengan menggelar rapat bersama membahas implementasi Peraturan KPU 20/2018. Bambang berpandangan asas hukum nebis in idem, seseorang tidak boleh dihukum dua kalinya dengan kasus yang sama, agar dapat disamakan persepsi terhadap interpretasi mantan narapidana yang sudah melaksanakan hukuman terhadap kesalahan yang dilakukannya.

 

“Terhadap mereka (mantan narapidana), tidak dapat dikenakan peraturan yang menghukum perbuatan mereka yang sudah mendapat hukuman, agar asas keadilan bagi warga terhadap haknya dapat dilaksanakan,” pintanya.

 

Selain itu, Komisi II DPR mesti mendorong KPU agar dapat melaksanakan tugasnya dalam melakukan penyeleksian calon anggota legislatif yang berintegritas, bersih dan tidak cacat moral. Dengan begitu, kualitas dari lembaga legislatif sesuai harapan masyarakat luas. Bagi semua kalangan, agar dapat mematuhi UU Pemilu. Setidaknya dalam membuat aturan tidak lagi bertentangan dengan UU di atasnya.

 

“Sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi perjalanan bangsa ini ke depan manakala kita melakukan pembiaran terhadap lembaga yang melanggar UU dengan alasan apapun,” ujarnya.

 

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai ngototnya KPU menerapkan Peraturan KPU 20/2018, khususnya aturan larangan mantan napi korupsi maju pencalegan menjadi bumerang. Dengan begitu bakal dapat dilakukan investigasi melalui hak angket. Menurutnya, membuat aturan yang tidak merujuk dalam UU terkait menjadi persoalan.

 

“Tidak boleh membuat kekacauan dalam hierarki hukum nasional. Semua pembatasan hak itu levelnya harus UU, tidak bisa dibikin peraturan lembaga-lembaga internal begitu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait