Gagas Sistem Online Evaluasi Regulasi, BPHN Butuh Dukungan
Berita

Gagas Sistem Online Evaluasi Regulasi, BPHN Butuh Dukungan

Terobosan untuk mengevaluasi regulasi yang berjumlah puluhan ribu menjadi lebih cepat dan efektif. Tapi, masih terkendala anggaran.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) terus melakukan perbaikan dalam rangka penyusunan/pembentukan peraturan perundang-undangan agar lebih efektif. Salah satunya, BPHN tengah merumuskan sebuah sistem evaluasi secara online atas penerapan peraturan perundang-undangan, khususnya penerapan UU yang jumlahnya sudah puluhan ribu.

 

“Saya sebagai Kepala BPHN sedang buat terobosan mengubah sistem evaluasi menjadi sistem online. Karena selama ini evaluasi masih manual dengan manusia. Kita lagi cari support dana,” ujar Kepala BPHN Prof Benny Riyanto saat dihubungi di Jakarta, Senin (18/2/2019).

 

Benny menerangkan melalui sistem evaluasi regulasi secara online ini nantinya proses evaluasi terhadap puluhan ribu peraturan yang ada menjadi lebih efektif dan efisien. Sebab, selama ini kekuatan cara kerja manusia terbatas. Hanya saja, untuk mewujudkan atau membangun sistem evaluasi ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara anggaran dana BPHN sendiri tak cukup membuat sistem tersebut.

 

Karena itu, Prof Benny akan berupaya mencari sponsor bila program ini tidak bisa ditutupi dari APBN. “Kita sedang cari dana dan belum dapat untuk membuat sistem analisis evaluasi online ini,” ujarnya.

 

Selama ini, praktik penyusunan perancangan UU mulai hulu hingga hilir dilakukan oleh BPHN dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen PP Kemenkumham). Misalnya, BPHN sebagai hulu melakukan penyelarasan antara naskah akademik dan RUU agar norma-norma dalam draf RUU tidak lepas dari nakah akademik dan dasar filosofinya.

 

“Sebelum RUU lahir, dibahas dulu oleh Ditjen PP Kemenkumham dan selesai di tingkat harmonisasi,” kata dia.

 

Tujuannya harmonisasi mencegah terjadinya benturan atau pertentangan norma baik secara vertikal dan horisontal serta tumpang tindih sebuah UU. Ketika RUU disahkan DPR menjadi UU dan berlaku, BPHN memiliki kewenangan mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan UU. Di BPHN, lanjutnya, memiliki unit yang bernama Pusat Analisis dan Evaluasi Regulasi.

 

“Setiap UU yang berlaku masuk dalam filter analisis dan evalusi untuk kemudian disaring melalui dimensi yang ada. Setelah itu, terbit rekomendasi soal apakah UU tersebut layak terus berlaku, direvisi, atau dicabut dengan beragam sebab mulai sudah diatur UU lain, tumpang tindih, dan lain-lain,” ujarnya.

 

Dia melanjutkan lembaganya mengemban prioritas nasional di bidang peraturan perundangan. Namun, BPHN belum didukung sistem teknologi informasi yang memadai. “Untuk mewujudkan sistem online analisis dan evaluasi ini kita berharap Bapennas dan Dirjen Anggaran Kemenkeu dapat memberi support dana,” harapnya.

 

Menyambut baik

Terpisah, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati menyambut baik gagasan BPHN ini untuk membangun sistem data hasil analisa evaluasi UU secara tepat sebagai rujukan kementerian/lembaga. “Termasuk membubarkan atau tidaknya lembaga pemerintah nonkementerian. Jadi menurut saya tool-nya juga harus diperbaiki,” ujarnya.

 

Menurutnya, di era keterbukaan informasi, sistem digital dalam melakukan monitoring, analisis, dan evaluasi peraturan perundang-undangan menjadi kewajiban. “Semua kementerian mesti punya akses proses pembuatan hingga evaluasi peraturan perundang-undangan yang nantinya dilakukan oleh badan legislasi di internal pemerintahan. Apalagi, masing-masing kementerian sudah memiliki website tersendiri. Mereka harus tetap meng-upgrade regulasi-regulasinya sendiri-sendiri,” ujarnya.

 

Terpisah, Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi Rahmat menilai ide gagasan Prof Benny positif. Namun, sistem evauasi online ini dilakukan setelah tahap pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR tidak maksimal. “Semestinya penerapan instrumen sistem ini sebelum UU atau aturan lainnya diberlakukan, bukan setelah berlaku. Ini namanya regulatory impact assesment,” ujarnya.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara ini menambahkan pembuatan RUU atau aturan di bawahnya harus konsisten dan merujuk UU No.12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar peraturan dibuat memiliki daya guna dan manfaat. “Tetapi, monitoring dan evaluasi pun dapat dilakukan sebelum dan sesudah peraturan tersebut diberlakukan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait