Gagal Geledah Kantor PDIP, Bukti Pelemahan KPK
Berita

Gagal Geledah Kantor PDIP, Bukti Pelemahan KPK

ICW mendesak Presiden Joko Widodo agar tidak "buang badan" saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK yang baru. Selain itu, penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama Presiden untuk menyelamatkan KPK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ketua KPU Arief Budiman dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bersama penyidik KPK saat menunjukkan barang bukti suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Foto: RES
Ketua KPU Arief Budiman dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bersama penyidik KPK saat menunjukkan barang bukti suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum melakukan pengeledahan terhadap Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski diketahui beberapa penyidik KPK sudah mendatangi Kantor DPP PDIP pada Kamis (10/1/2020) kemarin, namun tindakan penggeledehan ini tak berhasil dilakukan lantaran ada penolakan dari petugas keamanan termasuk belum adanya izin Dewan Pengawas KPK. Ironisnya, KPK akhirnya dijadwalkan untuk melakukan penggeledahan baru pekan ini.

 

Kasus ini menjadi kasus pertama pasca berlakunya UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sejak awal dinilai cenderung melemahkan ketimbang menguatkan KPK. Sebagian kalangan mengkritik peristiwa batalnya KPK menggeledah kantor DPP PDIP tersebut terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisoner KPU Wahyu Setiawan karena diduga menerima uang suap sebesar Rp400 juta dari Caleg PDI Perjuangan Harun Masiku dan pihak swasta bernama Saeful yang diduga staf Sekjen PDI Perjuangan (Hasto).

 

“Apa yang terjadi hari ini membuktikan bahwa KPK sudah dilemahkan. Tinggal kita tunggu respon pemerintah, maka tuntutan Perppu KPK berkaitan dengan pelemahan ini dalam rangka memperkuat (menjadi relevan, red),” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaedi Mahesa di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1/2020). Baca Juga: OTT Tanpa Izin Dewan Pengawas KPK, Bolehkah?

 

Desmond menilai pengungkapan kasus dugaan suap Wahyu Setiawan yang diduga melibatkan beberapa politisi PDIP ini pimpinan KPK bisa merasakan sendiri bagaimana sentralnya fungsi Dewan Pengawas KPK. Hal ini, tegas Desmond, membuktikan KPK menjadi dilemahkan akibat materi muatan UU 19/2019 yang tidak bagus. Semestinya, kata dia, kewenangan menangkap, menggeledah, dan menyita barang bukti dikembalikan ke Komisioner KPK.

 

“Gagalnya KPK menggeledah kantor DPP PDIP karena panjangnya alur perizinan penggeledahan. Ujungnya, KPK tak mampu menggeledah institusi partai yang sedang berkuasa itu. Ini tergantung keberanian Ketua KPK Firli dan kawan-kawan termasuk Dewan Pengawas,” tegasnya.

 

Dia menerangkan meski akhirnya Dewan Pengawas KPK memberi izin kepada penyidik pada Jumat (10/1/2020), namun masalahnya penggeledahan diumumkan bakal dilakukan pada pekan ini. “Nah ini sudah tentu substansi penggeledahan tentang barang bukti boleh jadi sudah dihilangkan. Kalau seperti ini tidak terselesaikan, semakin betul jangan berharap lagi dengan KPK,” katanya.

 

Mempersulit KPK

Terpisah, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan menilai implementasi UU 19/2019 dalam kasus dugaan suap Wahyu Setiawan mempersulit kinerja KPK. Terdapat dua peristiwa penting yang harus dicermati dalam peristiwa OTT Wahyu Setiawan ini.

 

Pertama, KPK faktanya terbukti lambat melakukan penggeledahan di kantor DPP PDIP. Ini disebabkan berlakunya Pasal 37B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas. Padahal, dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak manapun.

 

“Logika sederhana sebenarnya, bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat dan cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas? Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan, bahkan menghilangkan bukti-bukti,” ujarnya.

 

Kedua, tim KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut (obstruction of justice). Padahal, menghalang-halangi proses hukum dapat diancam pidana penjara 12 tahun dengan menggunakan Pasal 21 UU 31/1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. “Semestinya, setiap pihak bersikap kooperatif dengan proses hukum yang dilakukan KPK,” kata Kurnia.

 

“Melihat kondisi ini dapat disimpulkan narasi penguatan yang digaungkan Presiden dan DPR hanya bualan semata. Pasalnya, berlakunya UU 19/2019 justru mempersulit penegakan hukum yang dilakukan KPK dalam pemberantasan korupsi (penindakan).”

 

Dia pun mendesak Presiden Joko Widodo agar tidak "buang badan" saat kondisi KPK semakin lemah akibat berlakunya UU KPK yang baru itu. Selain itu, penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama Presiden untuk menyelamatkan KPK. “KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum,” pintanya.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengklarifikasi terkait tim KPK yang dikabarkan gagal menggeledah Kantor DPP PDIP Jakarta terkait operasi tangkap tangan Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE).

 

"Soal pertanyaan KPK batal dan gagal menggeledah PDIP sebetulnya bahwa tim penyelidik KPK itu tak ada rencana untuk menggeledah. Karena itu kan pada tindakan penyidikan, nah ini kan sementara masih dalam penyelidikan," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (10/1/2020) kemarin.

 

Saat mendatangi kantor DPP PDIP itu, ia mengungkapkan bahwa tim KPK juga sudah dibekali dengan surat tugas yang lengkap. "Kemudian sebetulnya tim lidik teman-teman tadi itu hanya ingin mengamankan lokasi jadi kaya model police line, tetapi ini KPK line dan sebetulnya mereka dibekali dengan surat tugas dalam penyelidikan, itu lengkap surat tugasnya," kata Lili.

 

Selain itu, kata dia, tim KPK saat itu sudah berkomunikasi dengan pihak keamanan di Kantor DPP PDIP. "Tetapi security kemudian mencoba menghubungi atasan mereka dan terlalu lama. Dan karena teman-teman ini harus berbagi untuk mencari, menempatkan KPK line di tempat objek-objek lain, sehingga kemudian ini ditinggalkan (oleh penyelidik KPK)," kata dia.

 

Seperti diketahui, KPK telah mengumumkan empat tersangka terkait kasus suap terkait penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 yang melibatkan Komisioner KPU dan sejumlah politisi PDIP ini. Sebagai penerima, yakni Wahyu dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sedangkan sebagai pemberi yakni kader PDIP Harun Masiku (HAR) dan Saeful (SAE) dari unsur swasta.

 

Dalam kasus ini, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun Masiku agar ditetapkan sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu (PAW) menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu. Proses PAW ini sebelumnya uji materi Pasal 54 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA). 

 

Permohonan ini dikabulkan MA pada 19 Juli 2019 yang menetapkan partai (PDIP) adalah penentu suara dan siapa pengganti antar waktu berdasarkan kader terbaik. Penetapan MA ini menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan HAR (diduga Harun Masiku, red) sebagai pengganti caleg yang meninggal itu. Namun, KPU tak sependapat dengan usulan PDIP itu karena KPU berpegang teguh pada hasil urutan perolehan suara terbanyak.   

Tags:

Berita Terkait