Freddy Harris: Tak Aktif di Media Sosial, tapi Berinovasi Digital
Utama

Freddy Harris: Tak Aktif di Media Sosial, tapi Berinovasi Digital

Mengaku tak aktif di media sosial, tapi melakukan reformasi birokrasi lewat inovasi berbasis digital.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris saat menjawab pertanyaan dalam sesi wawancara yang diadakan oleh ILUNI FHUI, 'Festival of Alumni Leadership Camp', Sabtu (27/3).
Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris saat menjawab pertanyaan dalam sesi wawancara yang diadakan oleh ILUNI FHUI, 'Festival of Alumni Leadership Camp', Sabtu (27/3).

“Saya tidak (aktif) media sosial. Karena saya tahu sistem media sosial seperti apa. Data-data cukup rentan jadi malas. Takut di hack, gambar juga nanti di hack, jadi enggak punya. Saya punya Instagram hanya sebagai syarat, tapi tidak aktif dan saya lock”. Demikian pernyataan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris saat menjawab pertanyaan pembuka dalam sesi wawancara yang diadakan oleh ILUNI FHUI, dalam “Festival of Alumni Leadership Camp”, Sabtu (27/3).

Freddy adalah pakar di bidang kekayaan intelektual dan cyber law. Dengan latar belakang itu tentunya dia paham betul risiko apa yang akan dihadapi jika memutuskan untuk berselancar di dunia maya lewat media sosial. Namun jangan salah sangka, Freddy bukanlah tipikal personal yang anti teknologi atau menolak kehadiran dunia digital. Buktinya, sebelum menjabat sebagai Dirjen KI, Freddy pernah menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) pada periode 2010-2016 hingga akhirnya menjabat sebagai Dirjen AHU pada periode 2016-2017. Kala itu sejumlah penghargaan diraih pada masa kepemimpinannya.

Misalnya saat masih memimpin Ditjen AHU, Freddy sukses mendapatkan peringkat pertama Inovasi Pelayanan Publik dari Kemenpan RB tahun 2014, peringkat pertama Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)  dengan nilai 95,77 skala 100 pada 2015 dan 2016, peringkat pertama Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kemenpan RB nilai 92,7 skala 100 tahun 2016 dan 2017, Penghargaan Kementerian Keuangan dalam Akses Kementerian/Lembaga PNBP Terbaik tahun 2016, Penyajian Laporan Keuangan Terbaik SAI (Sistem Akuntansi Pemerintah) di tahun 2016 dan Peringkat Pertama Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) nilai 3.85 skala 5 tahun 2017.

Freddy menegaskan bahwa tujuan utama saat ia memutuskan untuk mengabdi di Kemenkumham adalah pembenahan birokrasi. Pelayanan publik haruslah dipermudah, memutus rantai pungutan liar dan memberikan dampak secara ekonomi untuk negara. (Baca: Dilantik Jadi Dirjen Kekayaan Intelektual, Ini 7 Program Kerja Freddy Harris)

“Prinsipnya begini pelayanan publik yang baik adalah dengan mempermudah segala macam urusan, tapi selalu terjadi persoalan karena fakta di lapangan enggak mudah. Susah kalau ada pungli. Karena kita di dunia akademik kita cutting aja (pungli), kalau di Ditjen itu banyak pungli dan dapat duit. Tapi kita enggak mau, layanan publik harus kita perbaiki,” kata Freddy.

Kala itu, Freddy mulai melakukan pembenahan birokrasi, salah satunya menghapus syarat domisili untuk mendirikan PT. Bahkan dia mengaku sempat dimusuhi oleh berbagai pihak tatkala mengganti mekanisme pendaftaran fidusia menjadi sistem online. “Waktu itu biroktrasi carut marut, dimusuhi orang tapi enggak apa-apa, nothing to lose. Termasuk fidusia, saya mikir itu kok susah banget mau daftar fidusia. Saya mau tarik ini jadi online, saya sampai berantem sama Sekjen,” akunya.

Meski melawan arus, Freddy merasa puas karena kebijakan yang dia ambil disambut baik oleh masyarakat. Freddy mengatakan dirinya sempat diremehkan tatkala menyampaikan agenda reformasi birokrasi dalam pidato pertama saat menjabat sebagai Dirjen KI, namun hal tersebut justru menjadi suntikan untuk membuat sebuah capaian.

“Kalau melakukan perubahan pasti melawan arus. Ketika di Dirjen KI saja, pidato pertama saya dbilang paling bertahan satu bulan saja, dianggap dirjen boneka, tapi saya lebih suka underestimate dari pada overestimate, dan saya bisa buat capaian. Orang itu harus dilayani karena kita public serve, ya kita harus servis, hasilnya kita sejahtera pendapatan negara naik maka kita mendapatkan reward,” katanya.

“Dan respons masyarakat baik, kerana kalau pelayanan kepada masyarakat baik maka pendapatan negara juga meningkat dan cara ini saya ulang lagi di Ditjen KI,” tambahnya.

Di Ditjen KI, Freddy mencoba melakukan formula yang sama untuk membenahi birokrasi. Dia memanfaatkan teknologi digital untuk mempermudah masyarakat dalam mendaftarkan merek, hak cipta dan sebagainya. Semua pendaftaran Kekayaan Intelektual (KI) kini dialihkan ke sistem online. Tak hanya untuk memperbaiki dan mencegah pungli, inovasi digital ini pun rupanya bermanfaat saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.

Saat baru menjabat sebagai Dirjen KI, Freddy mengaku prosedur pengurusan paten, merek, maupun pendaftaran hak cipta cukup susah. Pihaknya juga menerima keluhan saat terjadinya pembatasan selama pandemi Covid-19. Demi memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat, Freddy beserta jajarannya membangun sistem online yakni Intellectual Property Online (IPROLINE). Tak hanya itu, inovasi lainnya yang juga dibangun adalah Loket Virtual (Lokvit).

Dengan sistem yang sudah ia bangun, Freddy meyakini bahwa hampir 98 persen persolan pungli dan birokrasi yang berbelit-belit sudah bisa diatasi. Namun Freddy mengatakan yang paling penting bagi ASN adalah memahami fungsi untuk melayani publik dan menjaga integritas.

“Kita sudah dapat ASN yang ckup bagus, harus kasih koridor supaya tidak tertular, kadang saya suka bilang, ‘u masuk tanpa sogokan harus jaga integritas’, memang itu enggak gampang tapi harus kita lakukan,” ungkapnya.

Inovasi Pendidikan

Selain menjabat sebagai Dirjen KI Kemkumham, Freddy juga menjabat sebagai dosen sekaligus Dekan Fakultas Hukum di salah satu Universitas swasta di Indonesia. Menariknya, Freddy melakukan inovasi terkait kurikulum pendidikan.

Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberikan kebebasan perguruan tinggi untuk menentukan kurikulum, Freddy adalah salah satu pihak yang mengambil langkah cepat untuk melakukan perubahan tersebut.

Seperti apa inovasinya? Sebagai dekan, Freddy hanya mewajibkan mahasiswa untuk belajar hukum selama lima semester dengan jumlah kredit 3 untuk masing-masing mata kuliah. Hanya ada dua fokus pembelajaran yakni cyber law dan HKI. 

“Karena saya di sana dekan dan memang guru besar belum ada, jadi saya ubah kurikulumnya. Meraka hanya belajar hukum 5 semester dan semua kreditnya 3. Jadi enggak banyak pecahan mata kuliah yang enggak penting. Selama ini ‘kan banyak mata kuliah enggak penting yang dalam profesi dan implementasi tidak digunakan bahkan sampai 15 tahun. Dalam 5 semester itu hukum yang dipelajari terkait cyber law dan HKI.

Kemudian dua semester mahasiswa dipersilahkan untuk mengambil mata kuliah di luar FH sesuai minat di dua fakultas, yakni Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Komputer. Lalu untuk semester delapan adalah magang dan tugas akhir.

Terkait tugas akhir, Freddy mengaku dirinya menghapus konsep skripsi dan mengganti dengan konsep jurnal. Dalam hal ini mahasiswa cukup menulis tugas akhir seperti jurnal yang kemudian jurnal tersebut bisa didaftarkan sebagai hak cipta.

“Selama ini nulis skripsi sampai 100 halaman, tapi tidak pernah dibaca, isinya 100 ya cuma memenuhi formalitas. Dengan tugas akhir 15 halaman, 2 halaman pendahuluan, 11 halaman isi, dan dua halaman kesimpulan dan daftar Pustaka, mahasiswa bisa menuangkan ide. Misalnya UU ITE salah, lalu apa yang benar, jabarin. Dan dengan jurnal itu daftarkan di hak cipta, mahasiswa akan dapat ijazah S1, sertifikat kempetensi dan setifikat HKI, dan mudah-mudahan ini bisa berjalan dengan baik,” papar pria kelahiran 1966 ini.

Di era serba digital dan hukum yang terus bergerak dinamis, Freddy menilai seorang sarjana hukum tidak bisa hanya mengusai satu bidang saja. Jika tak ingin tergerus zaman, seseorang harus bisa menjadi spesialis dan berbeda. “Saya pesannya kemajuan bisa dicapai dengan hanya perubahan dan perubahan mindset harus dilakukan. Kalau tidak, kita tidak akan bisa merubah apa-apa,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait