FPJP dan Bailout Century Rugikan Negara Rp7,4 Triliun
Berita

FPJP dan Bailout Century Rugikan Negara Rp7,4 Triliun

KPK percepat penuntasan kasus Century.

NOV
Bacaan 2 Menit
FPJP dan Bailout Century Rugikan Negara Rp7,4 Triliun
Hukumonline
Ketua BPK Hadi Purnomo menyerahkan laporan hasil penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Panjang (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik ke KPK. Laporan ini diserahkan untuk melengkapi penyidikan kasus Century yang sedang dilakukan KPK.

Hadi mengatakan, laporan tersebut memuat dua hal. Pertama, mengenai kronologis permintaan penghitungan kerugian negara dari KPK. Kedua, mengenai dugaan pelanggaran serta penghitungan kerugian negara dalam pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Penghitungan kerugian negara itu diminta secara resmi oleh Ketua KPK. Pertengahan April 2013, pimpinan KPK meminta bantuan tenaga ahli untuk menghitung kerugian negara dan memberikan keterangan ahli. Kemudian, 18 Oktober 2013, BPK melakukan pemeriksaan investigatif untuk menghitung kerugian negara.

Pemeriksaan BPK dibantu juga dengan sejumlah dokumen yang diserahkan KPK. Pada 3 Desember 2013, BPK dan KPK melakukan pembahasan terakhir. Baru pada 20 Desember 2013, BPK menyelesaikan hasil penghitungan kerugian negara. Setelah itu, BPK menyerahkan laporan hasil penghitungan kepada KPK.

Hadi menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan terdapat penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pemberian FPJP pada 14, 17, dan 18 November 2008 dari Bank Indonesia (BI) ke Bank Century. “Pemberian FPJP ini menyebabkan kerugian negara Rp689,394 miliar,” katanya.

Kesimpulan kedua, telah terjadi penyimpangan dalam proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Akibat penetapan itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus menggelontorkan dana talangan (bailout). Kerugian negara yang diakibatkan mencapai Rp6,742 triliun.

“Nilai itu merupakan keseluruhan penyaluran penyertaan modal sementara oleh LPS kepada Bank Century selama periode 24 November 2008 sampai 24 Juli 2009. Perhitungan negara selengkapnya diuraikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kerugian negara yang diserahkan kepada Ketua KPK Abraham Samad,” ujar Hadi.

Selanjutnya, mengenai penyetoran dana tambahan Rp1,5 triliun dari LPS ke Bank Century, BPK tengah melakukan pemeriksaan. Hadi melanjutkan, pemeriksaan itu dilakukan terhadap laporan keuangan LPS dan BI tahun 2013. BPK akan memeriksa apakah tambahan dana itu dibayarkan atau tidak.

Hadi tidak mau mengungkapkan secara detail mengenai pelanggaran dan siapa pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus Century. Ia berpendapat, kasus Century sudah memasuki penyidikan, sehingga ada beberap hal yang tidak boleh diungkap. Semuanya sudah terangkum dalam LHP yang diserahkan ke KPK.

“Siapa melakukan apa terlihat dalam LHP. Hanya saja, kami tidak mungkin menerangkan satu persatu karena ada aturan yang melarang. Perlu diketahui bahwa ini merupakan dua peristiwa hukum yang berlainan. Satu pemberian FPJP, dan kedua, pemberian bailout kepada Bank Century tahun 2008,” tuturnya.

Ketua KPK Abraham Samad mengaku penyidik akan mendalami LHP yang diserahkan BPK. Untuk sementara, Samad belum dapat menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan kasus Century. Ia berharap LHP BPK dapat mempercepat penyidik dalam menuntaskan kasus Century. Apalagi kasus Century menjadi perhatian publik.

Meski demikian, penetapan Budi Mulya sebagai tersangka, menurut Samad, merupakan pintu masuk bagi KPK untuk membongkar kasus Century secara utuh. “Jadi, bukan akhir dari kasus Century. Ini merupakan awal. Silakan ikuti terus perkembangannya, evaluasi dan kritik terus KPK supaya KPK tetap on the track,” katanya.

Samad memastikan, KPK tidak akan membiarkan jika ada pihak lain yang terbukti terlibat dalam kasus ini. KPK tetap melakukan pendalaman dan bersikap transparan untuk menuntaskan kasus Century. Publik akan melihat secara utuh kasus Century ketika perkara Budi Mulya sudah mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

KPK telah melakukan penahanan terhadap mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa dan Moneter Bank Indonesia (BI) Budi Mulya. Sebenarnya, ada seorang lagi yang dianggap bertanggung jawab. Orang itu adalah mantan Deputi BI Siti C Fadjriah. Namun, KPK belum mengeluarkan Sprindik, mengingat kondisi kesehatan Siti.

Pemberian pinjaman ke Bank Century –sekarang bernama Bank Mutiara- bermula saat bank Centuri mengalami kesulitan likuiditas pada Oktober 2008. Manajemen Bank Century kemudian mengirimkan surat kepada BI pada 30 Oktober 2008 untuk meminta fasilitas repo aset sebesar Rp1 triliun.

Bank Century tidak memenuhi syarat mendapatkan FPJP karena kesulitan likuiditas yang sudah mendasar akibat penarikan dana nasabah dalam jumlah besar terus-menerus. Rasio kecukupan modal (CAR) Century juga tidak mencukupi atau 2,02 persen. Syarat mendapat bantuan adalah CAR minimal delapan persen.

Atas dasar itu, BPK menyimpulkan BI tidak tegas terhadap Bank Century. Sebab, diduga mengotak-atik peraturan yang dibuat sendiri agar Bank Century bisa mendapat FPJP, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR delapan persen menjadi CAR positif.

BPK menduga perubahan itu hanya rekayasa agar Bank Century mendapat fasilitas pinjaman karena menurut data BI, posisi CAR bank umum per 30 September 2008 ada di atas delapan persen, yaitu 10,39 hingga 476,34 persen, dengan satu-satunya bank yang CAR-nya di bawah delapan persen, yaitu Bank Century.

BI akhirnya menyetujui pemberian FPJP kepada Bank Century sebesar Rp502,07 miliar karena CAR Bank Century sudah memenuhi syarat PBI. Namun, belakangan BI memberi tambahan FPJP Rp187,32 miliar sehingga total FPJP yang diberikan BI kepada Bank Century berjumlah Rp689 miliar.

Posisi CAR Century ternyata sudah negatif 3,53, bahkan sejak sebelum persetujuan FPJP. Dengan demikian, BPK menilai BI melanggar PBI No.10/30/PBI/2008 yang mempersyaratkan CAR positif. Selain itu, jaminan FPJP Bank Century yang hanya 83 persen juga melanggar PBI No.10/30/PBI/2008.
Tags:

Berita Terkait