Formulasi Penyusunan Kontrak Perdagangan Karbon
Kolom

Formulasi Penyusunan Kontrak Perdagangan Karbon

Model perdagangan karbon dibagi menjadi tiga model yakni, model cap and trade, model karbon offset, dan model pembayaran berbasis kinerja.

Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Conference of The Parties ke-27 (COP 27) The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diadakan di Sharm El Sheikh membawa peluang besar bagi Indonesia. Dengan modal dua aturan hukum terkait dengan perdagangan karbon yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional dan aturan turunannya yakni Peraturan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Peraturan LHK) Nomor 21 Tahun 2022 Tentang Tata Laksana Nilai Ekonomi Karbon.

Latar belakang terbitnya dua aturan hukum terkait dasar pelaksanaan perdagangan karbon menjelang COP 27 tersebut sebenarnya dalam konteks politik hukum telah dimulai sejak rezim Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Selanjutnya 10 tahun kemudian ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protokol Kyoto dalam UNFCCC.

Lahirnya Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 menjelang COP 27 dalam perspektif economic analysis of law merupakan modal yang strategis bagi Indonesia. Dengan isu yang berkembang di COP 27 dan fakta bahwa hutan di Indonesia merupakan salah satu hutan yang terluas di dunia maka adanya perdagangan karbon merupakan sesuatu yang segera akan terjadi.

Optimisme pada segera terbukanya aktivitas perdagangan karbon di Indonesia selain dengan mengacu pada Lahirnya Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 adalah dengan diperolehnya pembiayaan dari World Bank’s Forest Carbon Partnership Facility sebesar US$20,9 juta dari total komitmen US$110 juta pada skema reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD+) di Kalimantan Timur dan Indonesia hingga saat ini merupakan satu satunya negara Asia Pasific Timur yang telah menerima pembiayaan tersebut.

Baca juga:

Esensi Kontrak

Jika Mengacu pada Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja bahwa perdagangan karbon dapat diselenggarakan oleh pihak swasta yang telah mendapat perizinan berusaha penguasaan hutan (PBPH). Hal ini artinya dengan luasan hutan yang ada di Indonesia setelah dikurangi dengan komitmen wajib (National Determined Contribution/NDC) maka masih terdapat banyak peluang untuk melakukan perdagangan karbon oleh swasta melalui pasar voluntary sehingga kontrak (perjanjian) perdagangan karbon menjadi hal yang esensial dalam perdagangan karbon.

Dalam Pasal 1 Perpres Nomor 98 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pada dasarnya hak atas karbon dimiliki dan dikuasai oleh negara, sehingga terkait dengan hal ini pihak swasta yang akan melakukan perdagangan karbon baik di dalam maupun luar negeri sesuai Pasal 48 ayat (3) tersebut wajib melakukan registrasi secara nasional, aturan registrasi tersebut secara detail telah ditetapkan dalam Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022. Demikian pula Pasal 49 Perpres Nomor 98 Tahun 2021 memberi batasan bahwa penyelenggaraan perdagangan karbon melalui mekanisme perdagangan luar negeri tidak boleh mengurangi NDC. Hal ini artinya bahwa ada batasan volume perdagangan karbon yang diizinkan bagi pemegang izin PBPH.

Sebelum melakukan penyusunan (drafting) perjanjian perdagangan karbon (carbon trading) para lawyer dan para pihak terlebih dahulu perlu memahami definisi dari carbon market itu sendiri. Wayan Dharmawan (2022), menjelaskan bahwa carbon market atau pasar karbon adalah pasar yang terbentuk karena adanya permintaan akan hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara ton Co2. Selanjutnya mekanisme berbasis pasar adalah mekanisme kebijakan dan atau aturan yang menggunakan aturan pasar, harga atau variabel ekonomi lain untuk menyediakan insentif perdagangan karbon.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa objek dari kontrak perdagangan karbon adalah transaksi atas hasil pengurangan emisi yang telah disertifikasi dalam bentuk kredit karbon (satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon), artinya dalam hal ini yang diperdagangkan adalah crediting unit carbon.

Model perdagangan karbon dibagi menjadi tiga model yakni pertama model cap and trade, yakni pelaku usaha akan mengurangi emisi yang ditetapkan sesuai batas (emission cap). Artinya klausul yang harus ada pada model ini adalah perhitungan alokasi izin emisi sesuai batas atas emisi yang akan dilepaskan, kelebihan dari batas yang ditentukan (defisit) maka pelaku usaha tersebut akan membeli dari pelaku usaha lain yang emisinya tidak terpakai (surplus).

Model yang kedua adalah karbon offset yakni pada perjanjian model ini yang menjadi objek adalah hasil penurunan emisi atau peningkatan penyerapan emisi, yang biasa disebut sebagai kredit karbon yang tidak akan terjadi jika tidak dilakukan upaya aksi dan mitigasi oleh pelaku usaha.

Model yang ketiga adalah pembayaran berbasis kinerja atau disebut result based payment (RBP) adalah model insentif finansial yang diberikan pada negara dan atau pelaku usaha atas hasil capaian pengurangan emisi yang telah diverifikasi, model perjanjian ini lebih condong kepada model perjanjian pembiayaan berdasarkan satu proyek pengurangan emisi contohnya pembiayaan bank dunia di Kalimantan timur.

Klausul yang esensial lainnya di dalam kontrak perdagangan karbon adalah terkait dengan dengan project description yang sekurang-kurangnya harus memuat uraian dan jaminan validitas project developer dan project design yang memuat lembaga verifikator yang memuat misalnya secara internasional Verra, Gold Standard, Plan Vivo dan beberapa lembaga lainnya sedangkan secara nasional harus melalui proses verifikasi dan validasi sesuai Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 sehingga dapat diperoleh estimasi verified carbon unit (VCU) yang menunjukkan volume carbon satu entitas usaha yang dapat diperjual-belikan).

Saat ini rata rata entitas usaha belum melakukan registrasi nasional mengingat aturan Peraturan LHK Nomor 21 Tahun 2022 relatif masih baru, demikian pula jika transaksi dilakukan pada proyek yang belum lengkap perizinannya maupun proses sertifikasi VCU belum selesai maka perlu ada klausula condition precedent (prasyarat pendahuluan) agar sebelum masuk pada definitive agreement (perjanjian utama) terkait jual beli unit karbon tersebut maka kondisi tersebut dapat dipenuhi.

Pada perjanjian jual beli unit karbon ini biasanya jika bersifat jangka panjang (long term contract) disepakati klausula pre-payment yang artinya ada pembayaran sejumlah uang di muka yang yang diperhitungkan saat penjualan karbon pada entitas yang bersangkutan (pada sertifikat yang menerangkan VCU maka akan tertera volume karbon yang dapat diperdagangkan setiap tahunnya, satu periode sertifikat umumnya beberapa tahun). Mengingat kondisi ini maka para pihak perlu merumuskan klausula offtake condition dan harga (pricing) mengingat jual beli bisa dilakukan dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Selain itu klausul delivery and payment (pengiriman dan pembayaran) juga perlu diatur secara spesifik mengenai kondisi-kondisi yang mungkin timbul sehubungan dengan dua hal tersebut mengingat hal ini penting karena menyangkut pengiriman objek dan pembayaran objek. Klausul ini menjadi esensial karena menyangkut penyerahan (levering) objek sesuai kaidah hukum terkait jual beli. Klausula esensial lainnya dalam kontrak jual beli karbon adalah representative and warranties khususnya terkait jaminan validitas objek serta dalam kaitannya dengan kondisi pelanggaran dalam transaksi jual beli ini (even of default) juga perlu dirumuskan secara mendetail beserta segala konsekuensinya.

Klausul lain yang perlu diperhatikan dan didefinisikan secara khusus adalah klausula Material Change in Law, klausul ini menjadi penting mengingat resiko perdagangan karbon masih cukup tinggi termasuk resiko akibat terbit atau perubahan aturan yang ada. Selebihnya klausul standar lain seperti force majeur, dispute settlement maupun exclusivity dan confidentiality perlu diatur dalam kontrak jual beli karbon.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor di Bidang Hukum Investasi, Pembiayaan dan Korporasi, Mengajar Pada International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

 

Tags:

Berita Terkait