Formula Tepat Melakukan PHK Secara Hukum
Pelatihan Hukumonline

Formula Tepat Melakukan PHK Secara Hukum

Jika tidak ingin keputusan PHK menimbulkan konflik yang berkepanjangan maka hendaknya perusahaan memperhatikan koridor hukum yang berlaku dengan prinsip kehati-hatian.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Juanda Pangaribuan saat menjadi pemateri di pelatihan yang diadakan oleh hukumonline dengan tema
Juanda Pangaribuan saat menjadi pemateri di pelatihan yang diadakan oleh hukumonline dengan tema "Tata Cara Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Tentag Ketenagakerjaan", di Jakarta, Selasa (8/5). Foto: RES

Setiap pekerja memiliki hak-hak yang harus dihormati oleh perusahaan, sehingga tidak dibenarkan jika perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan secara sewenang-wenang. Ada koridor-koridor hukum yang mengatur batasan sejauh mana seorang karyawan memang patut untuk di PHK.

 

Sebaliknya, ada pula kondisi tertentu seorang karyawan tidak diperbolehkan untuk di PHK secara hukum. Sehingga, jika tidak ingin keputusan PHK menimbulkan konflik yang berkepanjangan maka hendaknya perusahaan memperhatikan koridor hukum yang berlaku dengan prinsip kehati-hatian.

 

Dalam Pelatihan Hukumonline 2018 bertajuk “Tata Cara Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003”, Selasa (8/5), praktisi hukum Hubungan Industrial, Juanda Pangaribuan, menjelaskan ada 5 rambu-rambu hukum yang harus diperhatikan secara cermat oleh suatu perusahaan sebelum mengambil langkah PHK terhadap karyawan.

 

Pertama, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kedua, Peraturan Perusahaan (PP). Ketiga, Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Keempat, Perjanjian Kerja (PK) dan Kelima, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

 

“Pada prinsipnya, PHK tidak terjadi tanpa adanya kesalahan, pelanggaran atau keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam hukum otonom (hukum yang berasal dari pelaku hubungan kerja seperti perjanjian kerja) maupun heteronom (hukum yang berasal dari pemerintah),” jelas Juanda.

 

Pasal 61 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 telah diatur kondisi-kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan berakhirnya suatu hubungan kerja. Di antara kondisi yang dimaksud seperti meninggalnya pekerja, berakhirnya jangka waktu PK, adanya putusan Pengadilan Hubungan Industrian (PHI) yang berkekuatan hukum tetap dan adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam PK, PP, PKB yang dapat mengakibatkan berakhirnya hubungan kerja.

 

Berdasarkan ketentuan tersebut, Juanda menyimpulkan terdapat 3 garis besar alasan perusahaan melakukan PHK, berupa: 1. PHK Demi Hukum, yakni ketika pekerja meninggal dunia, pensiun serta berakhirnya PKWT pertama. 2. PHK karena putusan Pengadilan. 3. PHK karena kehendak pekerja (mengundurkan diri atau dikualifikasi mengundurkan diri).

 

Untuk kasus pekerja yang seringkali membolos, kata Juanda, jika mangkirnya itu selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut tanpa adanya keterangan secara tertulis, maka pekerja tersebut dapat diputus hubungan kerjanya.

 

(Baca Juga: Perusahaan Harus Aktif Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial)

 

Akan tetapi yang penting digarisbawahi dalam hal ini adalah soal cara melakukan penghentian hubungan kerja dengan tidak langsung mengeluarkan surat PHK, melainkan merujuk kepada surat-surat peringatan sebelumnya yang sudah dikeluarkan untuk melakukan kualifikasi mengundurkan diri terhadap pekerja yang bersangkutan.

 

“Jika perusahaan langsung mengeluarkan surat PHK tanpa dilatarbelakangi surat peringatan tersebut, maka yang terjadi adalah perselisihan dikemudian hari. Saran saya, rujuk surat-surat yang sudah dikeluarkan, gunakan redaksi (mengingat saudara sudah mangkir berkali-kali maka saudara dikualifikasi mengundurkan diri),” jelas Juanda.

 

Adapun beberapa alasan PHK yang terlarang berdasarkanPasal 153 UU No. 13 Tahun 2003 dijabarkan Juanda sebagai berikut:

No.

Alasan PHK yang Terlarang

Keterangan

1.

Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter

Selama tidak lebih dari 12 bulan secara terus menerus, maka dilarang di PHK

2.

Berhalangan melakukan pekerjaan karena memenuhi kewajiban terhadap negara

3.

Pekerja menjalankan ibadah

Untuk mensiasati agar pekerja tidak mengakal-akali mengambil izin berkepanjangan dengan dalih ibadah, maka perusahaan hendaknya membuat kesepakatan atau aturan tertentu melalui aturan hukum otonom antara perusahaan dengan pekerja secara tidak bertentangan dengan UU.

4.

Pekerja menikah

5.

Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau sedang menyusui bayi

6.

Pekerja mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja lain dalam satu perusahaan, kecuali diatur lain dalam PK, PP atau PKB.

Frasa pengecualiannya telah dibatalkan MK melalui PMK No. 13/PUU-XV/2017

7.

Pekerja mendirikan, menjadi anggota/pengurus SP, melakukan kegiatan SP diluar maupun didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PK, PP atau PKB

8.

Pekerja mengadukan pengusaha kepada pihak berwajib mengenai perbuatan yang melakukan tindakan kejahatan

9.

Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan

10.

Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja

Yang menurut surat keterangan dokter Jangka waktu penyembuhan nya, belum dapat dipastikan

 

“Dalam hal perusahaan melakukan PHK dengan alasan terlarang sebagaimana diatur dalam pasal 153 tersebut, berdasarkan pasal 153 (2) UU a quo maka PHK tersebut dapat batal demi hukum,” terang Juanda.

 

Masih dalam beleid yang sama, konsekuensi perusahaan melakukan PHK dengan alasan tersebut dapat mengakibatkan pekerja harus dipekerjakan kembali oleh perusahaan. Selain itu, pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh mengatur bahwa bahwa bilamana perusahaan melakukan PHK dengan alasan pekerja mengikuti serikat buruh, maka dapat diancam pidana penjara paling singkat 1 tahun, paling lama 4 tahun dan/atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp500 juta.

 

PHK Batal Demi Hukum

Suatu PHK dapat dikatakan batal demi hukum menurut Juanda dikarenakan beberapa hal. Pertama, jika pelaksanaan PHK menyimpang dari pasal 151 (3), pasal 168 (lihat pasal 170 dan pasal 155 ayat (1)). Kedua, jika perusahaan melanggar larangan PHK dalam pasal 153 ayat (1) sebagaimana dijabarkan pada tabel di atas.

 

Akibat hukum yang muncul jika suatu PHK dinyatakan sah demi hukum jelas akan merugikan pihak pengusaha sendiri, jelas Juanda. Di sini pengusaha tidak hanya dituntut untuk mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan, bahkan juga diwajibkan untuk membayar seluruh upah dan hak yang memang seharusnya diterima oleh pekerja.

 

“Dalam penerapan norma prinsip kehati-hatian memang sangat dituntut agar tidak menyulut boomerang yang merugikan perusahaan sekaligus di sisi lain tetap dapat melindungi para pekerja,” tukas Juanda.

 

Terlebih lagi, kata Juanda, tindakan PHK akan menyulut perselisihan antar pihak perusahaan dengan pekerja bilamana pekerja menolak di PHK, pekerja menolak alasan PHK, pekerja menolak kompensasi PHK, Pekerja keberatan dengan cara melakukan PHK atau Bipartit gagal mencapai kesepakatan hingga bahkan Pengusaha bertahan pada keinginan untuk melakukan PHK.

 

Pada akhirnya, Juanda mengakui bahwa meruncingnya konflik hubungan industrial memang seringkali disebabkan karena adanya ketimpangan pengetahuan di antara pekerja dengan manajemen. Di sisi lain, ada kelemahan perusahaan dalam mengimplementasikan norma, sehingga terkadang berujung pada penerapan yang keliru.

 

“Minimnya pengetahuan pekerja soal hukum ketenagakerjaan seringkali mengakibatkan PHK terjadi tanpa adanya perlawanan dari pihak ketiga, itulah mengapa tidak semua tindakan PHK yang berujung pada perselisihan,” kata Juanda.

 

Tags:

Berita Terkait