Revisi UU NO. 5 Tahun 1985
Upaya Peningkatan Wibawa
Fokus

Revisi UU NO. 5 Tahun 1985
Upaya Peningkatan Wibawa

Sepuluh tahun sejak diaktifkan pada 14 Januari 1991, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau yang disering disingkat Peratun tetap saja menghadapi persoalan. Khususnya, persoalan yang berkaitan dengan eksekusi putusan Peratun.

Tri/Apr
Bacaan 2 Menit

Oleh karena itu, setelah meneliti hukum acara yang ada dalam UU No. 5 tahun 1985, ternyata banyak sekali kelemahan-kelemahannya, khususnya pasal-pasal yang memberikan perlidungan kepada rakyat. Ini penting, karena sengketa Peratun adalah sengketa antara dua belah pihak yang memiliki kedudukan yang tidak seimbang.

Pasal-pasal tersebut meliputi pasal mengenai kopentensi ralatif (pasal 54 ayat 1), mengenai upaya administrasi (pasal 48), mengenai alat bukti (pasal 100), dan mengenai pelaksanaan putusan pengadilan (pasal 100). Kesemuanya, perlu sekali adanya pembenahan.

Pasal 54 ayat 1 menyebutkan bahwa gugatan sengketa TUN diajukan di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat. Pasal ini tentunya tidak memberikan perlindungan kepada rakyat terhadap penggunaan kekuasaan pemerintahan karena gugatan seharusnya diajukan di tempat kedudukan tergugat. Apalagi dikaitkan dengan ketentuan pasal 51 ayat 3.

Di dalam pasal 51 ayat 3 diatur bahwa Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang sebelumnya telah diproses di tingkat badan TUN itu sendiri.

Sebuah sengketa TUN baru dapat diajukan ke pengadilan apabila telah ditempuh upaya administrasi yang ada pada institusi TUN tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 48). Sehingga sebagai prinsip dan tujuan dibentuknya Peratun, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat.

Selain itu, sengketa TUN bukanlah sengketa perdata biasa antara penggugat dan tergugat yang diatur dalam HIR, di mana kedudukan penggugat dan tergugat adalah seimbang. Sementara sengketa TUN adalah sengketa antara pihak yang mempunyai kedudukan derajat yang berbeda, antara pengguggat selaku rakyat biasa melawan tergugat yang adalah pejabat atau aparatu TUN. 

Mengenai alat bukti yang diatur dalam pasal 100, khususnya mengenai alat bukti keputusan TUN yang dijadikan objek sengketa, masih sulit mencari alat ukur keabsahan aturan hukum tertulis dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Ini penting sekali karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki pegangan tertulis tentang AAUPB.

Tags: