Banyak kalangan akademisi maupun praktisi yang berkecipung dalam dunia hukum administrasi dan hukum pemerintahan menyebutkan bahwa masalah pokok Peratun tidak terlepas dari lemahnya UU No. 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pokok permasalahannya meliputi : Pertama, kesalahan terhadap konsepsi Peratun itu sendiri, yang oleh UU No. 5 tahun 1985 hanya khusus mengenai keputusan tata usaha negara. Sementara Peratun pada umumnya tidak dimasukkan dalam UU ini. Kedua, hukum acara Peratun tidak mencerminkan tujuan dan fungsi Peratun itu sendiri. Dan, ketiga, kualifikasi profesionalitas hakim Peratun masih sangat umum.
Pemecahan terhadap persoalan Peratun tersebut adalah segera melakukan pembaharuan atau revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1985. Revisi tesebut berkaitan dengan aspek hukum acara Peratun, sehingga meningkatkan wibawa keputusan Peratun.
Banyak putusan Peratun ternyata tidak mempunyai kekuatan memaksa. Seperti kasus gugatan TUN terhadap 7 mahasiswa Universita Indonesia yang diskors rektor. Ternyata putusan selanya maupun dalam putusan akhirnya diabaikan Rektor UI untuk tidak dilaksanakan. Ini bukti kelemahan Peratun yang tidak berwibawa di depan pejabat TUN.
Perluasan objek Peratun
Selama ini, objek Peratun hanya dibatasi pada tindakan-tindakan hukum pejabat tata usaha negara, sebagaimana disebutkan pada pasal 1 butir 1 sampai dengan butir 4 UU No. 5 Tahun 1985.
Pasal 1 butir 4 UU No.5 Tahun 1985, menegaskan bahwa sengketa putusan TUN hanyalah sengketa terhadap keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah yang bersifat konkret, individual, dan final.
Menurut Paulus E. Lotulung, pakar hukum administrasi yang juga hakim agung pada Mahkamah Agung, obyek Peratun seharusnya tidak hanya dibatasi pada tindakan-tindakan hukum TUN saja, sebagaimana yang diatur pasal 1 butir 1 sampai 4. Namun, lebih luas yang juga mencangkup tindakan-tindakan hukum publik.