Persetujuan Indonesia dan Hongkong
Ancaman bagi Pelanggar Hukum yang Kabur
Berita

Persetujuan Indonesia dan Hongkong
Ancaman bagi Pelanggar Hukum yang Kabur

Jakarta, hukumonline. Jika Eddy Tanzil atau Tommy Soeharto ternyata berada di Hongkong, mungkin masih ada secercah harapan untuk mengembalikannya ke Indonesia. Dalam waktu dekat jika tidak ada halangan, DPR akan meratifikasi persetujuan antara pemerintah Indonesia dan Hongkong untuk penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>Persetujuan Indonesia dan Hongkong </b></font><BR>Ancaman bagi Pelanggar Hukum yang Kabur
Hukumonline

Pada Senin (22/1) pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra memberikan keterangan pada rapat paripurna DPR mengenai rancangan Undang-undang tentang pengesahan persetujuan antara pemerintah republik Indonesia dan pemerintah Hongkong untuk penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri.

Persetujuan antara Indonesia dan Hongkong ini sebenarnya sudah ditandatangani  pada 5 Mei 1997 di Hongkong. Namun, baru sekarang dimintakan ratifikasinya pada DPR untuk disahkan menjadi Undang-undang.

Yusril Ihza Mahendra, seusai rapat paripurna menyatakan bahwa apabila perjanjian tersebut sudah disahkan oleh oleh DPR menjadi undang-undang, maka dalam tigapuluh hari pemerintah Indonesia harus memberitahu pemerintah Hongkong bahwa perjanjian ini efektif berlaku.

Menurut Yusril, selama ini banyak terjadi kasus-kasus di mana orang yang berstatus sebagai tersangka maupun dalam proses persidangan di pengadilan atau bahkan yang sudah dipidana atau yang melarikan diri ke luar negeri, antara lain ke Hongkong.

Bukan perjanjian ekstradisi

Yusril menjelaskan, karena pemerintah Indonesia tidak mempunyai perjanjian penyerahan pelaku tindak pidana, maka pemerintah Hongkong tidak punya kewajiban untuk menyerahkan mereka ke sini. Sebaliknya setelah ratifikasi ini, pemerintahan Indonesia memberitahukan pada pemerintah Hongkong.

"Kita sudah undangkan dan sudah disetujui DPR, maka efektif berlaku dan kita bisa minta ekstradisikan warga negara Indonesia yang diduga berada di Hongkong yang melakukan kejahatan di sini. Sebaliknya Hongkong juga bisa melakukan hal yang sama," ujar Yusril.

Yusril juga mengatakan bahwa perjanjian antara Indonesia dan Hongkong ini tidak dapat disebut sebagai perjanjian ekstradisi. Hal itu disebabkan karena ekstradisi itu merupakan perjanjian antar dua negara, sedangkan Hongkong bukan merupakan negara yang berdaulat penuh. Apalagi pada saat perjanjian itu ditandatangani Hongkong masih berstatus jajahan Inggris.

Halaman Selanjutnya:
Tags: