Fleksibel Menggaet Investor, Kontrak Kerja Sama Migas Mesti Berkepastian Hukum
Berita

Fleksibel Menggaet Investor, Kontrak Kerja Sama Migas Mesti Berkepastian Hukum

Beberapa tahun terakhir kontribusi migas terhadap postur APBN secara keseluruhan sudah di bawah 10 persen.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan kemudahan kepada pelaku usaha sektor migas untuk memilih skema bagi hasil antara gross split atau cost recovery. Kemudahan itu diberikan untuk memikat perhatian pengusaha berinvestasi di sektor hulu migas, terutama terkait produksi migas melalui kontrak kerja sama.

 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, mengungkapkan baik menggunakan skema gross split ataupun cost recovery, yang paling penting adalah mengutamakan tata kelola migas yang pasti dan konsisten.

 

“Tata kelola migas ini harus didasarkan atas kepastian hukum dan keadilan. Pelaku usaha tidak serta merta harus diberikan fleksibilitas kontrak demi menggaet investasi sebanyak-banyaknya. Harus terukur, penerapan skemanya,” ungkap Bisman saat dihubungi hukumonline, Rabu (22/1).

 

Bisman menyebutkan, pada tahun 2016 pemerintah memberlakukan skema cost recovery kepada pelaku usaha. Skema tersebut digadang-gadang akan memberikan keuntungan yang banyak bagi negara. Akan tetapi, skema tersebut malah gagal dan menimbulkan polemik.

 

Menurut Bisman, pengeluaran negara saat itu untuk cost recovery senilai US$ 10,4 miliar atau setara dengan Rp 138 triliun. Sementara, penerimaan negara dari investasi tersebut hanya sebesar Rp 110,4 triliun saja. Kenyataan ini menunjukkan kecenderungan adanya indikasi penyelewengan. Hal itu terlihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan yang tak sebanding dengan penerimaan yang didapatkan.

 

Audit BPK saat itu melaporkan adanya penyimpangan cost recovery di Chevron Pasific Indonesia, Pertamina EP, CNOOC SES Ltd dan Premier Oil Natuna Sea B.V. Menurut laporan BPK, terdapat dana Rp 4 triliun berupa biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery. Bisman menilai, hal ini adalah salah satu contoh kelemahan sistem cost recovery, dapat menimbulkan kerugian besar bila suatu negara belum siap menerapkan skemanya dengan segala konsekuensinya.

 

“Kenyataan itu menunjukkan bahwa sebenarnya bisa jadi kemudahan investasi diberikan, tetapi investor malah mengesampingkan prinsip good and clean government, ” ujar Bisman.

 

Ia menjelaskan salah satu problem utama dalam skema cost recovery di negara dengan indeks demokrasi yang masih belum mapan dan sistem penyelenggaraan ketatanegaraan yang pengelolaan institusinya relatif marak praktik KKN adalah kuatnya pengaruh moral hazard. Dorongan itu menyimpan potensi buruk bagi tata kelola migas dan mendorong berkembangbiaknya perilaku korup bila segera tak diatasi.

 

“Oleh sebab itu, kita perlu cermati untung rugi dari fleksibilitas penerapan cost recovery atau gross split. Dapat dilihat dari sudut pandang kemanfaatan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tata kelola yang bersih dan partisipatif serta berkelanjutan” ujar Bisman.

 

(Baca: Perjalanan Panjang Menanti Pengesahan RUU Migas yang Terus Molor)

 

Ia menilai, sebenarnya saat ini Indonesia belum siap dengan tata kelola migas yang menggunakan skema cost recovery. Salah satunya karena latar belakang tadi, indeks korupsi masih tinggi, selain karena ketidaksiapan pemerintah dalam memaksimalkan pendapatan negara dari diterapkannya skema ini. Sementara di sisi lain, skema gross split relatif telah ditinggalkan oleh banyak negara dalam tata kelola migas.

 

“Tantangannya adalah, ke depan ESDM harus melakukan kajian lebih mendalam. Skema bagi hasil cost recovery atau gross split harus memperhatikan berbagai aspek, baik itu kesiapan SDM dalam pengelolaannya, kesiapan demokrasi, bahkan kesiapan moral hazard sekalipun” tegas Bisman

 

Sementara itu Ahli Energi Abdul Nasir mengungkapkan, dari sisi penerimaan negara dari sektor Migas, Pemerintah Indonesia sudah harus bisa menyesuaikan diri dengan kontribusi sektor migas yang semakin kecil. Nasir mengungkapkan beberapa tahun terakhir kontribusi migas terhadap postur APBN secara keseluruhan sudah di bawah 10 persen.

 

“Bahkan di tahun 2016 hanya berada di kisaran 3 persen dari total penerimaan negara. Jadi sebenarnya sudah relatif kecil keuntungan penerimaan negara dari sektor migas,” ujar Nasir.

 

Menurut Nasir Indonesia sudah kehilangan momentum jika masih mengharapkan pendapatan yang besar dari sektor migas. Ia membandingkan dengan tahun 70-80an, migas memiliki peranan yang sangat signifikan untuk capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

 

“Kalau kita lihat program pemerintah di tahun 70-80 an dengan menggunakan dana dari hasil migas itu kita kenal yang namanya sekolah inpres yang lumayan berkontribusi dalam pemerataan pembangunan di daerah-daerah terpencil,” ungkap Nasir.

 

Ia kemudian membandingkan dengan situasi beberapa negara produsen migas yang masih banyak bergantung terhadap sektor ini. Menurut Nasir, migas di sebagian negara-negara produsen masih memberikan konstitusi penting bagi pembangunan ekonomi di berbagai negara.

 

Selanjutnya, jika dilihat dari aspek ketersediaan energi, migas di berbagai kesempatan selalu mendapat predikat terkait dampak negatif dari degradasi lingkungan, emisi karbon, dan sebagainya. Namun menurut Nasir hal ini sulit untuk menggeser kebutuhan energi dunia terhadap Migas.

 

Untuk Indonesia saja, sampai hari ini migas masih menyuplai hampir 60 persen dari total energi suplay. Prosentase rigidnya kurang lebih 40 persen minyak dan 20 persen gas. Ia menyebutkan, menurut prediksi lembaga riset dalam beberapa dekade ke depan, misalnya di tahun 2040, migas masih menopang suplai energi dunia. Untuk itu masih akan dominan menjadi sumber energi.

 

Dari sisi nilai ekonomi yang lain dalam hal ini sebagai bahan baku sektor industri terutama petrokimia, Nasir menyebutkan konsumsi migas sangat tinggi. Ia memprediksi pertumbuhan konsumsi migas untuk industri petrokimia akan menjadi raja baru di masa mendatang.

 

“Kalau kita gabungkan dia sebagai supplay energi dan sebagai bahan baku di sektor petro kimia, maka nilai ekonominya di 20-30 tahun mendatang akan tetap tinggi,” ujar Nasir.

 

Saat ini Kementerian ESDM menawarkan dua skema kontrak, cost recovery dan/atau gross split kepada calon investor. Sebab pemerintah berencana melelang 12 wilayah kerja (WK) atau blok migas di tahun ini. 12 blok migas itu merupakan 10 blok migas konvensional dan 2 blok migas non konvensional.

 

Tags:

Berita Terkait